Perbudakan ABK Indonesia di Kapal China

iuu fishing

Ingin mengikuti jejak tetangga yang dianggap sukses setelah bekerja menjadi anak buah kapal (ABK) di perusahaan ikan Korea Selatan, Joni Ramdani asal Tasikmalaya, Jawa Barat mendaftar menjadi ABK melalui perantara perusahaan jasa ABK di Facebook pada akhir 2019. Ia kemudian dibawa PT Puncak Jaya Samudra, sebuah perusahaan di Pemalang, Jawa Tengah, yang memasok ABK ke kapal ikan yang beroperasi di Fiji, Hawai, Afrika Selatan, Trinidad, Mauritius, Tonga, dan Samoa.

Joni yang belum berpengalaman dalam hal ini kemudian mengurus seluruh dokumen yang diperlukan, mulai dari paspor, buku pelaut, sampai pelatihan keamanan dasar. Semua itu diperoleh tidak secara cuma-cuma, tetapi masuk ke dalam daftar utang Joni kepada perusahaan.

Tidak sampai dua minggu, Joni diberangkatkan dengan satu rombongan ABK menuju Tanjung Priok. Selama dua pekan, ia dibiarkan tanpa kepastian sampai akhirnya tiba di Singapura. Namun, bukan kapal dari Korea Selatan yang dinaiki Joni, melainkan kapal asal China Han Rong 363. Di dalam kapal ini, terdapat 15 ABK asal Indonesia, 11 ABK Filipina dan Myanmar, serta 6 warga negara China.

Awalnya, Joni tidak merasa curiga dengan keberangkatan kapal berbendera Tiongkok tersebut. Namun, setelah kapal berlayar 10 mil dari pelabuhan, nama kapal Han Rong 363 tersebut dihapus dengan cat putih. Setelah itu, ABK asal Indonesia pun diperlakukan berbeda dengan ABK lainnya. Mulai dari makanan dan minuman yang dibedakan, jam makan yang berbeda, sampai jam kerja yang lebih panjang.

Lebih dari itu, para ABK asal Indonesia juga sering kali mendapatkan kekerasan fisik dari kapten atau mandor kapal. Jangankan untuk beristirahat cukup, bersandar saat bekerja saja tidak diperbolehkan. Jika ada ABK yang dianggap lambat dalam bekerja, maka kapten atau mandor tak segan-segan memukul mereka.

Photo by Greenpeace

Bukan cuma Joni, ABK asal Manado Adrisen juga mengalami hal serupa. Selain mengalami berbagai macam eksploitasi, mereka juga tidak mendapatkan gaji sama sekali. Sementara itu, ABK lain berinisial KH mengatakan bahwa ada praktik manipulasi saat ia direkrut oleh perusahaan perekrut ABK yang sama. 

Pelatihan kerja yang diterima para ABK berbeda dengan praktik di lapangan. Dalam perjanjian kerja, mereka dijanjikan akan menangkap ikan dengan menggunakan mesin. Kenyataannya, mereka mesti menangkap ikan secara manual dengan jam kerja 15 sampai 18 jam per hari.

Bukti Nyata Perbudakan Modern di Lautan 

Tidak sampai di situ. Perbudakan modern di lautan juga dibuktikan dengan adanya kematian empat orang ABK Indonesia di kapal China beberapa waktu lalu yang sempat menjadi sorotan pemberitaan media Indonesia. 

Menurut juru kampanye laut Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah Nasution, kondisi tersebut menunjukkan buruknya kondisi kerja di atas kapal dan membuktikan bahwa perbudakan di era modern masih banyak terjadi.

Sebelumnya, Greenpeace pernah melakukan investigasi terkait persoalan tersebut dan mendapati pengakuan korban berdasarkan wawancara dan analisis kontrak kerja. Dalam data yang dirilis Greenpeace pada 17 Maret 2020, terdapat enam perusahaan perekrutan dan penempatan ABK asal Indonesia (manning agency) yang diduga kuat melakukan perbudakan modern di kapal perikanan asing jarak jauh. Keenam perusahaan tersebut adalah:

  1. PT Puncak Jaya Samudra (PJS)
  2. PT Bima Samudra Bahari (BSB)
  3. PT Setya Jaya Samudera (SJS)
  4. PT Bintang Benuajaya Mandiri (BBM)
  5. PT Duta Samudera Bahari (DSB)
  6. PT Righi Marine Internasional (RMI)

Sementara itu, menurut laporan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Greenpeace Asia Tenggara yang berjudul “Jeratan Bisnis Kotor Perbudakan Modern di Laut”, terdapat 34 ABK Indonesia di 13 kapal asing yang mengalami perbudakan modern di lautan. Kapal-kapal asing tersebut adalah Fu Yuan Yu 054, Fu Yuan Yu 055, Fu Yuan Yu 056, Han Tong 1115/ Han Tong 112, Lu Rong Yuan Yu, Zong Da, Han Rong 353, Shin Jaan Shin, Da Wang, Lien Yi Hsing 12, Fwu Maan 88, Fu Yuan Yu 062, dan Chin Chun 12. 

Photo by Greenpeace

Dari 13 kapal tersebut, tujuh di antaranya bermasalah karena kasus kekerasan fisik, penipuan, penahanan dokumen identitas, jam kerja berlebihan, perbudakan utang, intimidasi dan ancaman, pemotongan upah, serta kondisi kerja yang merendahkan dan melecehkan martabat manusia. 

Kasus tersebut terjadi pada 22 ABK Indonesia yang berada di bawah naungan PT Puncak Jaya Samudra. Itu belum termasuk kasus 15 ABK Indonesia di Han Rong 363, yang dialami Joni Ramdani dan Adrisen Ulipi tadi. 

Sementara itu, tim pengacara publik dari Advocates for Public Interest Law (APIL) yang mewawancarai para ABK Indonesia juga mendapati bukti kuat adanya eksploitasi dan kemungkinan perdagangan orang di kapal-kapal ikan berbendera asing tersebut. 

Bahkan, berdasarkan Catatan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), terdapat 1.126 kasus pada 2017 yang diterima Kemenlu dan perwakilan di luar negeri. Angkat ini terus bertambah menjadi 1.256 pada 2018 dan seribu lebih kasus pada 2019.

Sayangnya, belum ada tindakan tegas dari pemerintah terkait pengungkapan praktik perbudakan ABK yang melibatkan perusahaan agensi di Indonesia ini. Bahkan, tidak ada satu pun penanganan yang berhasil dilakukan dari 74 kasus ABK yang pernah dilaporkan SBMI ke pihak kepolisian Indonesia.

Photo by Greenpeace

Kekosongan hukum terhadap perlindungan ABK inilah yang dinilai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai penyebab terjadinya eksploitasi dan pelanggaran HAM terhadap ABK Indonesia di kapal berbendera asing. 

Selain itu, LBH juga menilai belum ada koordinasi pengawasan yang sinergis antara Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, maupun Kementerian luar negeri terhadap pemilik kapal ikan maupun terhadap kondisi kerja ABK. 

Oleh karena itu, LBH Jakarta mendesak:

  1. Kepolisian NKRI untuk melakukan investigasi menyeluruh dan menghukum pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang;
  2. Kementerian Ketenagakerjaan untuk segera menyusun dan mengesahkan peraturan turunan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, yakni PP Penempatan dan Perlindungan Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan dengan melibatkan masyarakat, serikat buruh, dan organisasi pegiat pekerja migran Indonesia;
  3. Mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan; dan
  4. Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk bersinergi dalam melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia, khususnya para awak kapal perikanan yang bekerja atau dipekerjakan di luar negeri dengan memberikan sanksi tegas kepada pemilik kapal yang melanggar hukum.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan