Lautku Berpagar Besi

Aku tak melihat laut…

Aku malu berpura-pura, tidak ada yang aku banggakan dari sebuah karya yang menyatakan bahwa negeriku adalah negeri yang indah.

Karna ya mungkin suatu saat kalian bakal tahu bahwa pulau-pulau yang indah itu bukanlah milik kita lagi dan kita sebagai warga negara harus membayar mahal ketika ingin berkunjung di sebuah pulau kecil yang dulunya tak berpenghuni dan masih alami.

Masa kecilku yang penuh bahagia hidup bersama orang tuaku yang kerjanya hanyalah nelayan ikan berperahu sederhana tak bermesin kini tak kurasakan lagi.

Tanah kelahiranku kini telah tiada, dan telah diambil  alih oleh kerajaan beton dan besi yang berisikan kekayaan bumi untuk diolah menjadi kekayaan pribadi.

Mereka membuat pagar besi menjadikan laut seperti kolam uang dan menciptakan sebuah organisasi yang bertujuan memanipulasi agar tidak terlihat kekejaman yang mereka buat.

Penuh kebohongan dan trik…

Pabrik telah beroperasi dan kemasan menanti untuk menjadikan tampilan seolah-olah menarik. Menipu mata pembeli dan berujung menjadi sampah.

Kini laut yang kuharapkan menjadi nilai yang mahal, suatu harga investasi yang tinggi bagi mereka dan calo bertopeng lingkungan padahal mereka pengabdi negeri.

Aku tak bisa melihat lautku kembali. Pinggir pantainya dipenuhi cerobong asap yang setiap hari beroperasi.

Kendaraan bermuatan besar datang dan pergi. Polusi sudah seperti awan yang mendung menutupi pandangan kami. Satu persatu kami terbunuh dan pergi, sedikitpun tanpa pembelaan.

Bahkan kami didiskriminasi dan dijanjikan bahwa akan berkurangnya pengangguran di kota kecil yang penuh dengan kemunafikan.

Tahukah kamu sebagian dari kita tak ada yang benar dan murni untuk menyuarakan hak bumi, semua karena uang dan takut tak bergaji, mereka mementingkan kekayaan sendiri dan mementingkan pendidikan keluarganya.

Tak tanggung-tanggung pabila mereka sakit mereka rela berobat keluar negeri, sedangkan rakyat kecil untuk mengurus kesehatan saja dipersulit.

Mereka yang kecil tak berbadan hukum hanya berbadan kurus yang tak terurus.

Mereka terus menangis dan teriak untuk menyuarakan jagalah laut ini agar kami bisa bermain di atas pasir dan desiran ombak serta ikan yang menari-nari dibalik karang yang indah.

Laut barangkali terpaksa akan tetap tersenyum sambil memberikan sedikit makanan kepada kami.

Tak peduli lagi kata siapa yang harus ku ikuti, tapi aku tetap berdiri untuk tetap menyuarakan hak bumi karena kalau tidak kita, siapa lagi?

Oh… negeri atlantis yang  tenggelam oleh sampah dan pengerukan hasil bumi!

Saatnya kita berbenah diri dan menjaga apa yang telah diberi dimulai dari diri sendiri.

Jagalah keindahan dan kebersihan alam ini.

Jangan hanya menikmatinya saja!

Sumber foto utama: Media Greenpeace.

Editor: AN.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan