Albatross Potret Krisis Kesadaran Manusia

Berawal dari acara Screening and Discussions “Waste Less Films Weekend” yang diadakan oleh Navakara pada tanggal 1 Maret 2019 lalu.

Film yang diputar pada hari itu adalah Albatross.

Chris Jordan dan Albatross The Film

Film ini diangkat dari peristiwa yang terjadi disalah satu pulau di Pasific Ocean. Selama 8 tahun Chris Jordan dan teman-temannya menggarap film ini.

Lebih tepatnya pada tahun 2008 Chris dan timnya mengunjungi Pulau Midway untuk melihat perkembangan isu plastik yang mulai berkembang saat itu.

Ia dan timnya menemukan beberapa fakta dan pada kunjungan berikutnya mereka mulai mengembangkan pembuatan film tersebut.

Film tersebut memiliki pengemasan cerita yang sangat baik dan memiliki pesan yang cukup dalam kepada setiap penonton untuk dapat sadar akan perbuatan manusia.

ourstory+5.jpg

Pada film tersebut memperlihatkan beberapa orang yang ingin mengamati aktifitas burung-burung di pulau tersebut.

Albatross di Pulau Midway

Burung Albatros dapat hidup dengan tenang dikarenakan tidak adanya predator di Pulau Midway.

Karena burung ini ketika berkembang biak akan menaruh terur di tanah bukan di dahan atau ranting pohon.

Sehingga burung ini akan mengalami lebih banyak resiko apabila ada predator di pulau tersebut.

Pulau ini dapat dikatakan hampir tidak berpenduduk.

Mungkin hanya beberapa orang saja yang berada di kawasan tersebut untuk menjaga beberapa gedung ataupun kendaraan yang ditinggalkan di daerah tersebut semasa Perang Dunia II ataupun Perang Vietnam.

Burung Albatros dapat hidup dan berkembang biak dengan tenang karena hampir tidak ada gangguan berarti dari hewan-hewan predator ataupun aktivitas manusia di pulau tersebut.

https://www.youtube.com/watch?v=iJnrABfEF1o

Ketika sudah datang musim kawin burung ini menarik perhatian lawan jenisnya dengan menari seperti mengerakan kepalanya naik turun.

Ketika bertelur mereka akan menggali tanah dan membentuknya sesuai dengan badan mereka.

Telur yang dihasilkan pun hanya satu dan akan mengerami telur tersebut selama enam minggu.

Selama masa mengerami tersebut induk tidak akan meninggalkan telurnya baik dalam kondisi apapun. Burung jantan akan pergi selama masa pengeraman tersebut untuk mencari makan di laut.

Ketika telur sudah mulai menetas akan butuh waktu dua hari agar dia bisa keluar dari telur tersebut.

Selama menuju dewasa burung ini hanya bergantung pada induknya untuk dapat bertahan hidup dalam hal ini memberi makan yang didapatkan di laut.

Burung ini tidak dapat memilih makanan yang baik dan buruk untuk anaknya di laut.

Burung ini menganggap apa yang ada di laut disediakan untuknya. Apapun bentuknya itu akan ia makan ataupun diberikan kepada anaknya.

Ancaman Plastik

Berawal dari hal inilah potret mengerikan itu terjadi. Laut saat ini tidak hanya dihuni oleh ikan ataupun biota laut lainnya.

Terdapat satu jenis baru yang menghuni lautan di seluruh dunia: PLASTIK.

PLASTIK salah satu unsur mematikan yang menghuni lautan saat ini.

Produksi, konsumi dan polusi plastik semakin mengalami peningkatan setiap tahun tersebar di seluruh belahan bumi ini.

Sebagai salah satu bahan yang sangat sulit untuk terurai, plastik selama ini dengan mudah pula menjadi sampah yang bertebaran di bumi. 

Burung Albatros untuk memenuhi makanannya hanya bergantung pada laut. Burung ini akan terbang di atas lautan dan ketika ia melihat sesuatu yang mengambang di lautan akan ia sergap untuk dimakan.

Sayangnya saat ini kebanyakan yang mengambang di laut adalah plastik. Bahan inilah yang menarik perhatian dari Burung Albatros.

Selama berhari-hari ia mencari makan untuk anaknya dan ketika ia kembali yang ia suapkan kepada anaknya adalah plastik.

Hanya menunggu hitungan hari untuk burung kecil tersebut menuju kematian yang tidak ia ketahui sebab mengapa ia bisa mati.

Karena untuk burung yang masih kecil belum memiliki kemampuan untuk memuntahkan apa yang ada didalam perutnya.

Untuk burung yang sudah dewasa ia dapat mengeluarkan apa yang ia makan dengan memuntahkannya.

Sayangnya tidak semudah itu untuk dapat mengeluarkan plastik-plastik yang telah termakan.

Butuh perjuangan untuknya dapat mengeluarkan plastik tersebut. Apabila ia tak dapat mengeluarkannya maka burung-burung ini akan menuju kematian yang ia tidak ketahui sebabnya.

ourstory+6.jpg

Sampah plastik yang dihasilkan oleh manusia telah membunuh hewan-hewan yang bergantung dengan laut, dalam hal ini adalah Burung Albatros menjadi korban dari kejahatan manusia.

Sampah yang dapat ditemukan dalam mayat burung ini berupa tutup botol, korek bahkan sikat gigi dan berbagai sampah plastik lainnya. 

Beberapa burung mati ketika ia sudah mulai menjadi dewasa yang akan terbang pada pertama kalinya untuk mencari makan sendiri.

Ketika ia akan terbang pertama kali burung ini membutuhkan bantuan dari alam terutama angin. Ia akan mengeluarkan makanan yang tidak bisa ia cerna seperti batu, krikil, karang dan plastik.

Ketika plastik tidak dapat keluar, burung ini tidak akan bisa terbang dan akan mati secara perlahan dikarenakan kelaparan.

Akhir-akhir ini sering kali dijumpai beberapa peristiwa kematian satwa seperti yang terjadi pada Burung Albatros. 

Seperti Paus yang mati di Wakatobi dan ditemukan 6 kg sampah plastik di dalam perutnya. Penyu yang mati terjerat tali kursi di Amerika serikat, hingga Paus Sperma yang mati di pantai Spanyol ditemukan 29 kg plastik di dalam perutnya.

Permasalahan pencemaran plastik ini terjadi di seluruh dunia.

Diperlukan kesadaran setiap manusia untuk dapat peduli terhadap aktivitas mereka yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan terhadap mahluk hidup yang lain.

Tidak ada kata terlambat untuk berubah!

Catatan Semua foto, terkecuali disebutkan/tertera langsung sumbernya, diambil dari AlbatrossTheFilm.Com

Editor: AN.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan