Plastik Degradable: Seberapa Efektif dalam Mengurangi Jumlah Sampah?

Sampah plastik menjadi salah satu kontributor utama dalam menyebarkan polusi di lautan. Penelitian yang dilakukan (Jambeck et al., 2015) menyatakan Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik terbesar kedua di lautan setelah China.

Banyaknya jumlah sampah plastik sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk, ekonomi, dan pembangunan kota.

Gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat pun turut mempengaruhi jumlah timbunan sampah plastik melalui tingkat konsumsi produk makanan dan minuman kemasan yang semakin meningkat.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengenai penggunaan kantong plastik, terdapat lebih dari satu juta kantong plastik digunakan tiap satu menit dari 90.000 ritel di seluruh Indonesia.

Hal yang mengejutkan adalah sebesar 50% kantong plastik tersebut hanya dipakai sekali dan kemudian menjadi sampah tanpa melalui proses daur ulang.

Secara keseluruhan tercatat 9,85 miliar lembar sampah plastik dihasilkan setiap tahunnya.

Untuk menekan jumlah sampah plastik, dilakukan penerapan kantong plastik berbayar dan pengalihan kantong plastik biasa menjadi plastik lebih degradable. Lalu, seberapa efektif plastik degradable tersebut dalam mengurangi pencemaran lingkungan?

Sampah plastik di dasar lautan. / Foto: Sirachai Arunrugstichai / Greenpeace

Plastik biasa umumnya mengandung bahan polymer yang tersusun atas berbagai macam unit molekul kecil pembentuk senyawa (monomer), berumur panjang, dan sulit untuk diuraikan. Sedangkan plastik degradable terdiri atas tiga jenis, yaitu oxo-degradable, bio-degradable, dan compostable.

Pada artikel ini, penulis ingin membandingkan antara plastik oxo-degradable dan bio-degradable yang lebih banyak digunakan oleh masyarakat. Perbedaan mendasar antara oxo-degradable dan bio-degradable adalah melalui proses penguraiannya.

Di beberapa lembaran plastik degradable terdapat tulisan “kantong plastik ini akan hancur dengan sendirinya”, namun apakah pernyataan tersebut benar?

Plastik oxo-degradable mengalami proses penguraian secara oksidasi yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, seperti panas, sinar matahari, udara, dan kelembapan. Plastik ini umumnya sangat terbatas untuk bisa cepat terurai dikarenakan kekurangan oksigen dan jumlah zat aditif yang dikandung di dalamnya.

Namun sepanjang proses penguraiannya, sampah plastik oxo-degradable juga menimbulkan masalah baru dengan menyebabkan polusi lebih lanjut, seperti berkontribusi pada banjir, pencemaran air tanah, dan polusi udara. Tidak hanya itu, potongan sampah plastik tersebut juga berpotensi merusak rantai makanan dengan cara meracuni populasi hewan yang mengkonsumsi mikroplastik.

Berbeda dengan plastik oxo-degradable, plastik bio-degradable berasal dari bahan alami yang penguraiannya melalui proses mikroorganisme alamiah. Plastik bio-degradable disebut-sebut sebagai produk yang menggunakan teknologi ramah lingkungan dan lebih cepat teurai.

Namun berdasarkan hasil laporan PBB yang berjudul “Biodegradable Plastics and Marine Litter. Misconceptions, Concerns and Impacts on Marine Environments”menyebutkan plastik bio-degradable sulit terdegradasi di lingkungan lautan.

Hal tersebut disebabkan plastik bio-degradable hanya dapat terurai di kompos industri dengan temperatur 50°C, sedangkan kondisi di lautan tidak mencapai temperatur tersebut.

Selain itu, plastik juga tidak akan mengapung dan akan tenggelam sehingga sulit terurai oleh sinar UV. Akibatnya, sampah yang tenggelam di lautan akan berdampak terhadap biota laut dan mematikan habitat di lautan.

Plastik di Laut
Plastik di laut mengancam kehidupan biota. / Foto: Greenpeace

Pada kenyataannya, plastik oxo-degradable dan plastik bio-degradable tidak sepenuhnya efektif dalam mengurangi jumlah sampah di lautan. Kehadiran plastik tersebut masih menimbulkan pro dan kontra, berkontribusi sedikit dalam mengurangi jumlah sampah dan sebaliknya berpotensi dalam mencemari ekologis di lautan.

Masih banyak masyarakat yang keliru dengan strereotype plastik oxo-degradable dan plastik bio-degradable yang dapat terurai lebih cepat dengan sendirinya. Adanya produk tersebut semakin meningkatkan kecenderungan masyarakat untuk menggunakan kantong plastik.

Apa yang kita lakukan terhadap lingkungan adalah tindakan kriminal. Sebagai manusia, kita hanya terus mengkonsumsi tanpa berpikir apa dampak yang akan terjadi di masa mendatang. Sampai kapan lautan akan terus menjadi korban dalam menanggung jumlah sampah plastik?

Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi dalam mengurangi penggunaan kantong plastik menjadi salah satu langkah awal menekan jumlah sampah. Dengan gerakan sederhana menggunakan tas reusable ketika berbelanja, kita sudah turut berkontribusi dalam menyelamatkan lingkungan dari bahaya sampah plastik.***

Baca juga: Perusahaan Besar Dibalik Pencemaran Plastik dan Krisis Iklim

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan