Negara, Desa, dan ABK Indonesia

Apa salah satu masalah dan ancaman terbesar yang dimiliki laut kita?

Perbudakan modern terhadap Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia.

Perbudakan modern ini memiliki kaitan erat dengan penangkapan ikan berlebih serta penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU fishing) dan mengancam keberlanjutan ekosistem laut.

Pada tanggal 20 Mei lalu, yang kebetulan bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) bersama dengan Greenpeace Indonesia menyelenggarakan diskusi publik secara daring dengan tajuk “Negara, Desa, dan ABK Indonesia”. Rekaman diskusi tersebut bisa ditonton kembali di sini.

SBMI dan Greenpeace Indonesia mengajak untuk menjadikan diskusi yang bertepatan dengan Harkitnas tersebut menjadi momentum untuk membahas dan menumpas perbudakan modern yang masih terjadi sehingga kebangkitan rakyat Indonesia tidak hanya menjadi sekedar narasi belaka.

Beberapa pembicara yang dihadirkan yakni perwakilan keluarga ABK, Sutipan, perwakilan keluarga ABK lainnya, Umiyatun, dan Sekjen SBMI, Bobi Anwar Ma’arif. Perwakilan Desa Demangharjo, Sorikhi, juga merupakan salah satu pembicara yang diundang agar dapat memberikan perspektif pelindungan ABK Indonesia berikut keluarganya yang diberikan oleh pemerintah desa, namun beliau ternyata berhalangan hadir.

Dalam cerita mereka, Sutipan dan Umiyatun menyatakan bahwa anak-anak mereka (Miftahul Anwar dan Rohman) pada awalnya melamar ke ke sebuah perusahaan penempatan yang menempatkan calon ABK di kapal ikan. Namun, setelah bertemu calo, mereka justru ditawari untuk bekerja di peternakan ayam potong untuk produksi sosis dan nugget di Polandia. Untuk pekerjaan ini, Miftahul Anwar dan Rohman harus membayar sebesar Rp15.000.000,00 per orang.

Setelah menunggu selama 6 bulan dan terus bertanya kapan akan diberangkatkan, mereka malah ditawari pekerjaan lain yakni pekerjaan di pabrik konstruksi bangunan di Jepang. Untuk pekerjaan ini pun, keduanya kembali diharuskan membayar sebesar Rp35.000.000,00. Di antara kedua periode tersebut, calo juga pernah meminjam uang secara pribadi sebesar Rp1.000.000,00 dan mereka juga dimintai uang lagi sebesar Rp3.000.000,00 untuk biaya medical check-up di Surabaya.

Dalam hal ini, baik calon ABK maupun keluarga tidak memperoleh informasi yang jelas mengenai pekerjaan yang akan mereka lakukan dan merupakan suatu tanda tanya besar mengapa perusahaan penempatan yang bergerak di bidang penempatan ABK di kapal ikan justru menjanjikan akan menempatkan di dua bidang lain yakni di peternakan ayam potong dan pabrik konstruksi bangunan.

Adapun ketika mereka akhirnya diberangkatkan ke luar negeri setelah mengeluarkan begitu banyak uang dan terombang-ambing penuh ketidakjelasan, mereka tidak pernah benar-benar bekerja di luar negeri. Mereka berangkat ke Surabaya untuk terbang ke Singapura, kemudian dari Singapura ke Malaysia melakukan perjalanan darat menggunakan bus selama 7 jam dan singgah di sebuah penginapan di Kuala Lumpur selama 2 hari, hingga akhirnya pulang lagi ke Surabaya.

Tidak adanya informasi yang jelas mengenai kondisi dan masalah ABK berikut juga kepulangannya jelas telah melanggar hak keluarga di Pasal 6 ayat (3) huruf a UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI).

Selain soal ketidakjelasan informasi, Sutipan dan Umiyatun juga menyatakan bahwa baik Miftahul Anwar dan Rohman tidak pernah diminta menandatangani perjanjian kerja. Dengan demikian, Sutipan dan Umiyatun tidak pernah menerima salinan perjanjian kerja, padahal hal ini juga merupakan hak keluarga sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c, sekaligus juga hak ABK sendiri di Pasal 6 ayat (1) huruf m.

Disambung oleh Bobi Anwar Ma’arif dari SBMI, sebetulnya akar permasalahan yang ada terkait dengan ABK Indonesia adalah tidak dilaksanakannya amanat peraturan perundang-undangan oleh pemerintah untuk menerbitkan keputusan menteri (Kepmen), peraturan menteri (Permen), maupun peraturan pemerintah (PP) yang berkaitan dengan penempatan dan pelindungan pelaut.

Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (6) PP 7/2000 tentang Kepelautan, Pasal 28 UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, Pasal 337 UU 17/2008 tentang Pelayaran, dan Pasal 90 dan Pasal 64 UU PPMI.

Adapun untuk solusi-solusinya sendiri, menurut Bobi, sebetulnya sudah lengkap dijabarkan dalam UU PPMI. UU PPMI mengamanatkan penerbitan PP Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan. Selain itu, adapun solusi-solusi lainnya yang juga terdapat dalam undang-undang yang sama yaitu:

  • Syarat negara tujuan (Pasal 31 UU PPMI), syarat pelaksana penempatan (Pasal 51 UU PPMI).
  • Syarat ABK (Pasal 5 UU PPMI), etika perekrutan yang meliputi tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa (Pasal 39 – 42 UU PPMI) .
  • Peningkatan peran atase (Pasal 10 UU PPMI), pengawasan (Pasal 76 UU PPMI), dan penegakan hukum (Pasal 37 dan Pasal 79 – 87 UU PPMI).

Hal diatas sebetulnya, jika seluruh pasal-pasal tersebut diimplementasikan dengan baik, maka permasalahan-permasalahan terkait ABK Indonesia bahkan diatasi, bahkan dicegah sejak awal.

Perbudakan modern terhadap ABK Indonesia adalah salah satu masalah dan ancaman terbesar yang dimiliki laut kita hingga saat ini. Tapi, ini tidak berarti perbudakan modern terhadap ABK Indonesia adalah salah satu masalah dan ancaman terbesar untuk selamanya, kalau kita semua mau bertindak.

Kenali dan pahami hak-hak ABK, kenali dan pahami hak-hak keluarga ABK, bersuara dan tuntut pemerintah untuk: 1) memenuhi hak-hak ABK dan keluarganya; 2) menerbitkan peraturan pelaksana UU PPMI yang menjamin pelindungan dan pemenuhan hak-hak ABK; serta 3) meratifikasi Konvensi ILO 188.

Mendukung pelindungan ABK Indonesia adalah mendukung kelestarian laut kita. Tandatangani petisinya disini  mari desak pemerintah untuk bersikap tegas melindungi hak para pekerja migran anak buah kapal Indonesia.

Selamat Hari Laut Sedunia !

Editor : Annisa Dian N

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan