Perlindungan Negara Terhadap ABK Indonesia Sebagai Respon Atas Pandemi COVID-19

Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang No.17 / 2018 awak kapal diartikan sebagai orang yang bekerja di kapal oleh pemilik kapal atau operator kapal untuk melakukan tanggung jawab yang sesuai dengan pekerjaan yang ada di kapal. Dengan visi dan misi “Nawa Cita”, presiden Joko Widodo menegaskan kembali tanggung jawab Indonesia sebagai negara untuk memberikan perlindungan kepada bangsa dan juga perlindungan bagi WNI yang berada di luar Indonesia melalui pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang dikenal dengan “Bebas dan Aktif “.

Menurut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BPN2TKI) Indonesia dikenal sebagai penyumbang tenaga kerja maritim terbesar ketiga di dunia yang tercatat. Indonesia sendiri terdapat sekitar 254.186 orang Indonesia yang bekerja sebagai pekerja maritim pada tahun 2015 (Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2016).

Sejak COVID-19 menjadi pandemi global, banyak negara yang memutuskan untuk membatasi akses negaranya atau bahkan pemerintah setempat  memutuskan untuk melakukan lockdown di negaranya. Hal ini jelas menjadi tantangan sulit bagi Indonesia dalam memberikan dan memastikan perlindungan bagi ABK Indonesia. Namun cara bagaimana Indonesia dapat membangun kordinasi yang baik dengan negara lain untuk mendapatkan akses terhadap negara tersebut yang menjadi tantangan sulit.

Terlebih ketika pandemi COVID-19 terjadi, Pemerintah Indonesia sangat diharuskan untuk membangun kordinasi dan kerjasama yang baik dengan negara lain untuk mendapatkan akses dan mendapatkan informasi terkini mengenai ABK Indonesia yang tengah berlayar di wilayah negara tersebut dan terjebak dikarenakan COVID-19. Yang menjadi point dalam hal ini adalah adanya respon yang berbeda-beda di tiap negara terhadap situasi dan kondisi COVID-19 yang dikarenakan adanya kewajiban pemerintah lokal yang harus menyesuaikan dengan kondisi nasional negaranya.

Dalam proses pemulangan ABK Indonesia yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19, diketahui tidak semua ABK Indonesia bisa pulang kembali ke kampung halamannya melalui jalur legal. Menurut pihak berwenang dari Indonesia, beberapa ABK Indonesia diketahui menggunakan jalur ilegal saat kembali ke Indonesia melalui Sumatera Utara dan Kepulauan Riau.

Pada 15 April 2020, pihak keamanan maritim Indonesia menangkap 47 pekerja migran yang hendak kembali ke Indonesia melalui Johor Baru dengan jalur ilegal (Pinandita, 2020). Dari keterangan para pekerja migran, mereka terpaksa pulang melalui jalur ilegal karena tidak adanya protokol yang jelas mengenai kepulangan bagi mereka dan perlindungan dari Pemerintah Indonesia saat mereka berada diluar negri.

Dengan kata lain, pemerintah Indonesia sangat perlu menjalin komunikasi lebih lanjut dengan pemerintah dari negara terkait dan melakukan koordinasi yang lebih baik dengan KBRI terkait agar lebih transparan dan efektif dalam mengumpulkan data. Dengan begitu, pemerintah Indonesia dapat mengeluarkan dan mengimplementasikan protokol sementara sebagai respon cepat atas pandemi COVID-19.

Di Jerman, pekerja maritim Indonesia yang bekerja di TUI Cruise juga mengalami dilema akibat dampak dari  COVID-19. Sebagai respon atas penyebaran virus COVID-19, Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Jerman dan pemilik kapal pesiar untuk memulangkan seluruh ABK Indonesia di kapal pesiar tersebut.

Sebelum para ABK dipulangkan, pemerintah Indonesia melalui KBRI Berlin dan pemerintah Berlin bekerja sama untuk memastikan ABK Indonesia negatif COVID-19 sebelum dipulangkan untuk menghindari penyebaran virus tersebut di Indonesia maupun di Berlin sendiri. Pada tanggal 20 Mei 2020, menurut Bapak Oegroseno selaku Duta Besar RI untuk Jerman, para ABK Indonesia telah melewati tes PCR dan semua ABK dinyatakan negatif.

Sejak pandemi COVID-19 menyebar di Jerman pada pertengahan Maret 2020, semua kapal pesiar baik yang sedang bersandar atau berada di wilayah perairan Jerman terpaksa berhenti beroperasi dan menunggu protokol pemulangan untuk kembali ke Indonesia sesuai dengan hasil test kesehatan. Berkat koordinasi yang cukup baik, pemerintah Indonesia berhasil memulangkan ABK Indonesia sebanyak 1.241 orang yang bekerja di TUI Cruise (Kementerian Luar Negeri RI, 2020).

Republik Dominika yang terletak di Kepulauan Karibia memiliki pendekatan berbeda dalam menyikapi kasus ini. Pasalnya, Indonesia belum memiliki perwakilan resmi di negara tersebut. Untuk melindungi WNI, pemulangan ABK Indonesia yang merupakan pekerja di kapal milik Meinschiff TUI Cruises telah dilakukan oleh KBRI Havana.

Tercatat ada 7 orang Indonesia terjebak di Republik Dominika saat kapalnya berlabuh di Santo Domingo, Republik Dominika. Dalam kasus ini, KBRI Havana memperluas koordinasi dan melakukan pendekatan yang tidak hanya ditujukan kepada pemerintah setempat, tetapi juga terhadap pemilik kapal yang menjadi instrumen utama dalam melindungi pekerja maritim Indonesia (Kemlu RI, 2020).

Dengan menganalisis rentannya pemberian perlindungan bagi ABK Indonesia oleh pemerintah Indonesia, dapat disimpulan bahwa Indonesia perlu membangun koordinasi yang baik dengan negara lain dalam membantu pendataan ABK Indonesia yang sedang berada di wilayah negara tersebut.

Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa ketika dilaut lepas atau ketika kapal sudah keluar dari wilayah laut Indonesia, maka kekuatan hukum Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap ABK Indonesia yang ada sekarang sangat rentan untuk dilanggar. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia dapat melakukan diplomasi kooperatif.

Dimana cara tersebut bisa menjadi cara yang lebih aman dan efektif bagi Indonesia untuk mempererat koordinasi dengan negara lain dalam pemberian perlindungan terhadap ABK Indonesia yang sedang berlayar, terutama ditengah pandemi COVID-19, menimbang sejak COVID-19 resmi diumumkan menjadi pandemi global oleh WHO, banyak negara yang memutuskan untuk menutup aksesnya bahkan melakukan lockdown untuk mencegah penyebaran COVID-19.

Dalam menanggapi COVID-19, upaya pemulangan ABK Indonesia menjadi pilihan yang baik bagi Indonesia, namun yang terpenting adalah pemerintah Indonesia harus dapat memastikan bahwa adanya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat (kementerian luar negeri Indonesia dan kementrian terkait), perwakilan Indonesia (kedutaan dan konsulat jenderal), pemerintah negara bersangkutan dimana tempat para pekerja terjebak dan pemilik kapal sebagai pemberi kerja yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan mengamankan pekerjanya.

Hal penting yang harus dilakukan adalah memastikan legalitas dan kapal yang akan membawa ABK Indonesia dan kondisi ABK Indonesia itu tersebut.

Editor : Annisa Dian N

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan