Corona Tidak Hanya ‘Mengancam’ Manusia, Tetapi Juga Laut Kita!

Saat ini mata dan telinga serta pikiran semua orang tertuju pada krisis global pandemi Virus Corona (COVID19) yang mengancam seluruh lini kehidupan manusia.

Per tanggal 11 April 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID19 (covid19.go.id) mengumumkan sebanyak 3.842 orang sudah positif terinfeksi COVID19 di Indonesia dengan korban yang meninggal mencapai 327 jiwa.

Sementara itu data Badan Kesehatan Dunia (WHO) per tanggal 12 April 2020 yang dilansir juga Pemerintah Indonesia mencatat secara global ada sebanyak 1.614.951 kasus  terkonfirmasi yang diantaranya merenggut jiwa 99.887 orang.

Tren peningkatan kasus COVID19 di Indonesia diperkirakan masih terus terjadi di sepanjang April hingga Mei 2020.

Ditengah kesibukan berperang melawan Virus Corona ini, beberapa negara sudah melaporkan bahwa COVID19 tidak hanya mengancam nyawa dan kesehatan manusia, tetapi juga berdampak besar terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, seperti berubahnya relasi sosial karena anjuran physical & social distancing, dinamika politik dan juga krisis ekonomi.

Apakah pandemi COVID19 juga berdampak terhadap lingkungan?

Beberapa negara mulai melaporkan bahwa penanganan Virus Corona mulai berdampak terhadap lingkungan karena melonjaknya sampah medis termasuk masker sekali pakai.

Salah satunya dari China sebagai sumber pertama berkembangnya COVID19. Hal ini terkait dengan meningkat jumlah sampah medis secara drastis terutama sampah masker sekali pakai yang digunakan oleh masyarakat dan juga oleh tenaga medis.

Dikutip dari laman Gridhealth.id (9 Maret 2020),  sampah medis terutama masker meningkat tajam. Di Kota Wuhan, sebagai pusat awal COVID19 merebak, dikumpulkan sebanyak 200-300 kilogram sampah masker setiap hari.

Otoritas Lingkungan dan Kesehatan setempat juga memperkirakan volume sampah medis di Wuhan secara keseluruhan meningkat empat kali lebih besar menjadi lebih dari 200 ton sehari pada saat puncak krisis.

Liputan6.com (25 Maret 2020) juga melaporkan bahwa China telah melewati fase puncak epidemi dan selama berperang melawan COVID19 dengan menghasilkan sampah medis sebanyak 182.000 ton sejak akhir Januari.

Kementerian Ekologi dan Lingkungan China menyebutkan bahwa, hingga Sabtu 21 Maret 2020, kapasitas pembuangan sampah medis di China mencapai 6.066,8 ton per harinya, naik dari 4.902,8 ton per hari sebelum wabah Virus Corona jenis baru ini merebak.

Bagaimana dengan Indonesia?

Detik.com (17 Maret 2020 16:42 WIB) melaporkan bahwa sampah medis selama pemulangan ABK kapal Diamond Princess sebanyak 69 orang telah menghasilkan sampah sebanyak 594 kilogram. Walaupun akhirnya sampah tersebut dapat ditangani oleh Balai Besar Teknik Kesehatan lingkungan dan Pengendalian Penyakit-Jakarta. Tetapi pada saat itu, tingkat penularan virus corona belum meningkat seperti saat ini. 

Meskipun belum ada data resmi berapa banyak sampah medis yang akan ditimbulkan ketika menghadapi COVID19 di Indonesia, tetapi kita bisa membayangkan bagaimana timbulan sampah medis pada saat ini dan beberapa waktu kedepan ketika kurva penyebaran Virus Corona ini terus meningkat. 

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kita menanganinya?

Bagaimana rumah sakit sebagai penanggung jawab utama pengelolaan sampah medis di rumah sakit. Juga bagaimana penanganan sampah di tingkat masyarakat seperti masker yang penggunaannya sedang meningkat tajam. 

Melihat dari pengalaman sebelumnya, penanganan sampah medis pada saat keadaan normal sering tidak maksimal dan tidak sesuai prosedur dan aturan yang telah ditetapkan.

Masyarakat sering kali menemukan sampah medis terbuang begitu saja di tempat pembuangan sampah dan bahkan di sungai, pantai dan laut. Padahal sampah medis termasuk B3 (Bahan Berbahaya dan beracun) yang butuh penanganan khusus.

Tentunya harus ada usaha lebih keras dari pemerintah sebagai penanggung jawab untuk memastikan penangan sampah medis, terutama sampah dari pasien yang positif terjangkit COVID19. 

Apa hubungannya dengan laut kita?

Meningkatnya kasus positif COVID19 di Indonesia yang sangat mengkhawatirkan, menyebabkan tingkat konsumsi atau penggunaan masker di Indonesia dan hampir di seluruh dunia.

Saat  ini sangat sulit menemukan masker di apotik dan toko-toko obat yang sehari-hari menyediakan masker. Pemerintah juga menyampaikan bahwa tenaga medis kekurangan alat pelindung diri (APD) termasuk masker.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melindungi diri dari Virus Corona, di ruang publik, hampir semua orang menggunakan masker sekali pakai. Dampaknya adalah meningkatkan penggunaan masker secara drastis dan juga menyebabkan  timbulan sampah masker akan meningkat.

Berkaca dari buruknya pengelolaan sampah di Indonesia menyebabkan banyak sekali sampah yang hanyut ke sungai dan laut. Menurut data dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), volume sampah laut di Indonesia saat ini menyentuh angka 0,27 hingga 0,9 juta ton sampah per tahunnya. 

Apakah penanganan COVID19 akan berdampak terhadap kehidupan laut?

Jika sampah-sampah medis baik yang di rumah sakit dan juga sampah yang ditimbulkan oleh masyarakat tidak terkelola dengan baik, laut akan menjadi tempat pembuangan akhir.

Hal tersebut tentunya menjadi ancaman yang serius dan untuk jangka panjang akan berdampak kepada ekosistem laut.

Kondisi tersebut juga berdampak terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di pesisir serta terhadap krisis iklim, di mana laut yang sehat adalah salah satu peluang bagi kita untuk mengurangi dampak krisis iklim yang sedang terjadi.

Untuk itu, kita menuntut pemerintah dan pihak terkait untuk serius mengelola sampah medis akibat penanganan virus corona agar dikelola dengan sebagaimana mestinya, sesuai dengan prosedur dan regulasi yang ada.

Disamping itu dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah untuk tidak membuang sampah masker dan sampah lainnya secara sembarangan.

Kita tidak ingin setelah masalah COVID19 selesai, kita dihadapkan dengan tambahan masalah baru yang tidak kalah serius, kerusakan sumberdaya laut yang mengakibatkan terganggunya perekonomian dan kesejahteraan nelayan dan karena rusak akibat sampah medis pasca ‘perang’ melawan COVID19.

Editor: AN.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan