Cerita dari Kampung Halaman-ku di Pesisir

IMG20180615102145.jpg

Sebagai anak nelayan, melihat kumpulan kapal-kapal yang diparkir (tentu saja maksud saya diikat dengan tali) secara teratur di laut adalah biasa.

Tidak heran, ketika pergi ke tempat manapun yang menampilkan hamparan hijaunya tumbuhan, saya merasa sangat takjub.

Ternyata dunia tidak hanya memberikan keindahanya melalui laut, tetapi juga tanah-tanah yang luas diisi tumbuhan padi.

Namun saya lahir dan besar di pesisir, maka seindah apapun hal-hal yang terlihat hijau seperti hamparan padi, perkebunan teh di puncak ataupun hutan dengan segudang pohonnya; laut adalah hal yang selalu kurindukan.

“Laut adalah hal yang selalu kurindukan”.

Sepuluh tahun lalu, foto yang kalian lihat adalah laut yang amat bersih. Saya ingat betul belajar berenang bersama teman-teman sepulang sekolah disitu.

Hari-hari dihabiskan tidak lain untuk belajar bagaimana mengapung di laut dengan kaki yang mengepak-ngepak dan tangan yang menggapai-gapai tanpa perlu merasa capek.

Saat ini, anak-anak tidak lagi dapat menikmati rasanya belajar renang dilaut yang bersih. Alih-alih belajar berenang, anak-anak lebih banyak memilih menghabiskan waktu bersama gadget ditangan mereka; entah bermain media sosial atau bermain digital games.

Saya mengerti betul alasan mengapa anak-anak tidak belajar berenang; yakni: takut gatal-gatal. Jangankan membayangkan bagaimana rasanya gatal berenang di laut yang banyak sampah; melihat genangan sampahnya saja sudah berhasil membuat mata mual.

Maksudnya mata mual adalah diam-diam mengeluarkan air seolah-olah minta diucek kemudian seluruh tubuh bergetar sebagai respon syaraf yang merasa geli terhadap apa yang mata lihat.

Siapapun yang memiliki peran sebagai orang tua di sana, tentu menyuruh anak-anaknya untuk menjauhi laut (yang padahal amat dekat dengan kehidupan mereka).

Paling tidak, mereka membolehkan anak main dilaut jika naik di perahu yang mengantarnya menuju tengah laut yang tentu jauh dari keberadaan sampah.

Tempat yang saya maksud adalah daerah yang dikenal sebagai Ujung Bom atau Pasar Gudang Lelang. Terletak di kelurahan Kangkung, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Bandar Lampung.

Tempat yang saya sebut sebagai kampung halaman. Hampir sepuluh tahun hidup sebagai perantau, sedih rasanya ketika pulang harus dihadapkan pada realita bahwa pesisir laut yang dulu bersih sekarang sudah menjadi daratan oleh timbunan-timbunan sampah.

Rumah-rumah justru dibangun diatas timbunan sampah yang tentu saja menjadi sarang hidup tikus-tikus.

Sebagai masyarakat, berharap kepada pemerintah untuk setidaknya melirik kondisi kehidupan masyarakat pesisir di Pasar Gudang Lelang adalah wajar bukan?

Maksudnya, saya sadar bahwa perlu adanya kemandirian masyarakat pesisir untuk mengenali masalah dan potensi untuk menanggulangi problematika sampah plastik yang kian menggunung.

Namun tentunya perlu peran pemerintah (atau barangkali organisasi non pemerintah) yang ikut andil dan turut serta dalam memfasilitasi proses kemandirian masyarakat dalam menyelesaikan masalah mereka.

Jika pembiaran ini terus terjadi, maka sampah-sampah akan terus menimbun dirinya. Dan tikus-tikus berkembang biak.

Lalu anak-anak mungkin tidak memiliki masa depan yang baik, khususnya menikmati kehidupan laut di pesisir yang asri.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan