Bagaimana Tuna Membentuk Diplomasi Regional

Dalam kurun waktu 30 tahun permintaan industri perikanan global terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO) dalam laporan 2015, hampir lebih dari 87% (21 juta ton) produk perikanan dikonsumsi oleh manusia. Pada tahun 2016, ikan tuna termasuk bagian penting dari produk perikanan yang diekspor dengan persentase mencapai 9% dari total pasar global.

Konsumsi ikan tuna diperkirakan dikonsumsi sebesar 0,45 kg per kapita atau 2,2% dari total konsumsi ikan. Masuk akal jika pasar tuna sendiri memiliki ruang tersendiri di pasar global. Angka ini juga diprediksi akan terus meningkat terkait dengan maraknya konsumsi tuna di seluruh dunia.

Selama ini perbedaan ekosistem alam dan kondisi laut berpengaruh langsung terhadap jenis dan jumlah ikan. Pengaruh dari hal-hal tersebut dapat dilihat dari adanya permintaan akan Tuna yang terus meningkat, namun disatu sisi Tuna hanya dapat ditemukan di laut negara bagian Pasifik dan hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor.

Pertama, ikan Tuna mempunyai tingkat migrasi yang tinggi sehingga dianggap sebaran spesies Tuna tidak merata. Kedua, sebagian besar spesies ikan Tuna, seperti Cakalang, Albacore, ikan Tuna sirip kuning, dan tuna mata besar ditemukan di zona ekonomi ekslusif (ZEE) negara kepulauan pasifik.

Oleh karena itu, dalam menangani masalah pemenuhan permintaan Tuna dari berbagai negara, para “stakeholders” membuat dan menetapkan perjanjian internasional antara negara produsen dan negara konsumen yang seringkali dikenal dengan istilah “Diplomasi Tuna” .

Diplomasi Tuna

Sejak tahun 1976 Diplomasi tuna telah dimulai untuk menangani masalah tuna. Landasan awal dari diplomasi ini adalah United Nations of the Law of the Sea (UNCLOS) yang memutuskan penentuan nasib sendiri negara-negara Kepulauan Pasifik dalam menghadapi negara-negara kekuatan seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Melalui UNCLOS, posisi negara-negara Kepulauan Pasifik yang kekuatannya lebih kecil dari negara kekuatannya memiliki hak mutlak atas ZEE mereka dan termasuk Tuna.

“Hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam, baik yang hidup maupun yang tidak hidup, dari perairan yang berada di sekitar dasar laut dan di dasar laut dan di bawah tanah, dan berkaitan dengan kegiatan lain untuk eksploitasi ekonomi dan eksplorasi zona, seperti produksi energi dari air, arus, dan angin ”
(UNCLOS, Bagian V, Pasal 56, poin 1.a)

Diplomasi Tuna menjadi bentuk baru untuk hubungan antara negara-negara Kepulauan Pasifik dengan negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa (EU). Sejak adanya pernjanjian Vessel Scheme Day (VSD) yang mendefinisikan kebijakan penangkapan Tuna dengan penetapan batasan Total Allowable Effort (TAE) dimana total hari penangkapan ikan Tuna di wilayah laut zona ekonomi eksklusif (ZEE) hanya diijinkan selama satu tahun untuk para anggota PNA.

Menurut Pacific Islands Forum Fisheries Agency (FFA), kesepakatan para pihak pada Perjanjian Nauru (PNA) dibentuk untuk memberikan batasan penangkapan Tuna dengan tujuan untuk melestarikan kelestarian Tuna itu sendiri. Para pihak dalam Perjanjian Nauru terdiri dari negara-negara Kepulauan Pasifik, yaitu negara federasi Mikronesia, Kiribati, Kepulauan Marshall, Nauru, Palau, Papua Nugini, Kepulauan Salomon dan Tuvalu (Pacific Islands Forum Fisheries Agency (FFA), n.d.).

Dalam perjanjian tersebut dijelaskan mengenai batasan penangkapan ikan dan persyaratan penggunaan “eco label”  untuk penangkapan ikan Cakalang. Selain untuk menjaga kelestarian dari ikan Tuna tersebut, perjanjian ini juga bertujuan untuk menjaga keberlangsungan produk Tuna di pasar global.

Dalam diplomasi Tuna ini, negara-negara yang terlibat adalah Jepang, China, Amerika Serikat, Uni Eropa (EU) dan Korea. Jepang dalam diplomasi ini berperan sebagai negara dengan penghasil Tuna terbesar. China sebagai negara pemegang pelabuhan yang menghubungkan jalur laut antara Asia dan Eropa. Kemudian, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Korea adalah negara-negara dengan konsumsi Tuna terbesar.

Menyadari jika negara-negara Kepulauan Pasifik juga memiliki kepentingan yang sama dalam penanganan masalah tuna, para pihak Perjanjian Nauru memutuskan untuk menerapkan VSD yang sesuai dengan pernyataan di atas, namun langkah ini dianggap tidak memberikan hasil yang akurat dengan pertimbangan adanya penangkapan ikan secara ilegal yang dilakukan oleh Amerika Serikat di wilayah negara bagian Kepualauan Pasifik pada tahun 1980-an.

Perjanjian Internasional

Mempertimbangkan adanya permintaan atas produk Tuna yang terus meningkat, kepentingan nasional dari masing-masing negara, kewajiban dalam menjaga kelestarian sumber daya alam tuna dan menciptakan pasar global yang berkelanjutan. Ada beberapa perjanjian internasional yang mencoba untuk melibatkan dialog antara pemangku kepentingan seperti Para Pihak Perjanjian Nauru dan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA).

Meskipun Para Pihak Perjanjian Nauru (PNA) dinilai memiliki hasil yang tidak akurat sebagai organisasi sub-regional, Para Pihak Perjanjian Nauru (PNA) dianggap berhasil dalam melibatkan dialog antara para pemangku kepentingan. Hal ini dilihat dari kenaikan biaya akses yang berkali-kali lipat antara tahun 2009 dan 2015 (The World Bank, 2017, hlm.9).

Alih-alih dari sisi ekonomi, menurut laporan bank dunia, Para Pihak Perjanjian Nauru (PNA) berhasil membantu melestarikan sumber daya alam Tuna dan mencegah peluang perubahan iklim lebih lanjut. Kesepakatan internasional lainnya yang menangani masalah Tuna adalah Compherensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara negara-negara Kepulauan Pasifik dan Uni Eropa.

Melalui perjanjian ekonomi ini,  negara-negara Kepulauan Pasifik dan Uni Eropa sepakat untuk mengekspor produk perikanan sebagai potongan ikan dalam keadaan alami mereka dan mengembangkan metode untuk memenuhi permintaan produk perikanan melalui “global sourcing opportunities”. Singkatnya, melalui CEPA baik Uni Eropa maupun negara-negara Kepulauan Pasifik lebih fokus menciptakan pasar tuna yang berkelanjutan tanpa merusak habitat asli Tuna itu sendiri.

Perlu ditekankan di dalam kesepahaman bahwa tren pasar tuna dunia ke depan akan semakin mengarah pada konsep keberlanjutan, keterlacakan dan juga kesejahteraan serta keadilan para pekerja atau anak buah kapal ikan .

Editor : Annisa Dian N

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan