22 Jam Menuju Jakarta

Sabtu, 27 Januari 2019 kupijakan kakiku di stasiun kereta api Malang.

Sore itu aku dan temanku, Adsa, berencana untuk pergi ke Jakarta dengan menggunakan kereta api Majapahit yang akan menuju Stasiun Pasar Senen.

Waktu tempuh perjalanan ini akan memakan waktu kurang lebih 15 jam. Direncanakan, kereta ini akan berangkat pada pukul 18.30 dan akan tiba di Pasar Senen pukul 10.08 WIB.

Setelah 4 jam kereta berjalan terlihat rintikan air hujan yang lewat di jendela. Semakin lama bertambah deras. Seiring berjalannya waktu kami mulai merasakan kantuk dan akhirnya memejamkan mata.

Selang beberapa jam kami terbangun di saat kereta telah berhenti di stasiun Semarang. Kereta ini berhenti cukup lama hingga akhirnya memunculkan pertanyaan mengapa selama ini.

Akhirnya terdengar pengumuman di dalam kereta bahwa kereta belum bisa melanjutkan perjalanan dikarenakan ada banjir dan longsor di jalur kereta yang akan dilewati.

Untuk mengatasi hal ini kereta Majapahit akan memutar melewati Solo dan kemudian mengarah ke Cirebon.

Kereta mulai kembali berangkat kurang lebih jam 05.30 dan belum jauh kereta beroperasi, kami melewati kawasan pemukiman yang beberapa rumahnya terendam air kurang lebih setinggi mata kaki.

Alangkah terkejutnya kami ketika pemandangan genangan air tersebut mulai tergantikan dengan warna-warni tumpukan sampah yang berserakan di mana-mana dan dengan jumlah yang cukup besar.

Kami juga melihat beberapa rumah warga yang disekitarnya terendam sampah warna-warni tersebut.

Sampah-sampah tersebut 80% merupakan sampah plastik yang seperti kita ketahui sampah ini cukup sulit terurai dan membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk dapat terurai.

Sayangnya kami tidak bisa mendokumentasikan sampah-sampah tersebut dari dekat.

Ketika kami telah melewati pemandangan warna-warni sampah tersebut selang beberapa menit tiba-tiba kereta kembali berhenti. Terdengar pengumuman bahwa kereta akan melanjutkan perjalanan melalui jalur awal maka kereta akan kembali lagi ke stasiun Semarang.

Setelah melewati stasiun Semarang untuk kedua kalinya, kereta kami berhenti di pinggir pantai, menunggu giliran berangkat. Waktu tersebut dimanfaatkan orang-orang untuk menyegarkan diri.

Kami kembali terkejut ketika melihat air pantai yang coklat dan melihat beberapa sampah plastik di sekitar daratan pantai.

Apabila dilihat kembali kawasan tersebut berada jauh dari pemukiman warga dan bagaimana sampah-sampah tersebut ada dikawasan tersebut. Bagaimana sampah-sampah tersebut berada di sana?

_DSC3041.JPG

Ketika belum jauh dari pantai tersebut kami diperlihatkan hamparan air yang awalnya kami kira tambak ikan ataupun budidaya ikan, setelah kami perhatikan dengan seksama terlihat ada warna hijau di genangan air .

Hingga akhirnya kami melihat sawah padi yang terendam air, hal itu membuat kami sadar selama 30 menit yang kami lewati tadi bukanlah tambak atau tempat budidaya ikan melainkan banjir yang melanda daerah tersebut.

Selama kurang lebih 90 menit kami melewati persawahan yang terendam air yang cukup tinggi hingga membuat beberapa gubuk yang biasanya dibuat petani untuk beristirahat terendam air hingga hanya terlihat atap dari gubuk tersebut.

Kali ini kereta berjalan lebih cepat dan pihak PT Kereta Api juga memberikan makan siang sebagai kompensasi keterlambatan kami yang lebih dari 5 jam.

Pada pukul 3 sore kereta mulai memasuki daerah Jakarta dan selang beberapa menit kurang lebih sekitar jam 4 sore kereta kami sampai di Pasar Senen.

Mulai saatnya untuk kami berpetualang dan bertahan di kota ini selama 2 bulan kedepan.

Pemandangan-pemandangan yang kami temui waktu itu bagiku adalah permasalahan yang diciptakan oleh manusia sendiri dan berimbas pada seluruh mahluk hidup.

Cuaca ekstrim yang ada pada akhir-akhir ini adalah salah satu dampak dari tidak pedulinya manusia kepada perusakan lingkungan yang dapat meningkatkan suhu bumi yang akan menyebabkan cuaca ekstrim seperti hujan lebat, angin puting beliung dan kemarau yang berkepanjangan.

Diperlukannya perhatian terhadap lingkungan oleh setiap unsur masyarakat demi terciptanya lingkungan yang terjaga untuk masa depan yang akan datang.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan