Mengulas Perjalanan COVID-19 Hingga Skenario “New Normal”

Hai Sobat!

Semoga kabar kamu sehat dan bersemangat. Tidak terasa sudah hitungan bulan kita menghadapi masa pandemi ini.

Dari meja redaksi LautSehat.ID kami ingin mengajak sobat semua untuk mengulas dan berfikir sejenak terkait perjalanan dari penanganan dan dampak saat ini terkait COVID-19 serta masa depan ‘rumah’ kita.

Pandemi COVID-19

Kondisi mewabahnya COVID-19 secara global sejak November-Desember 2019 hingga saat ini telah menyita perhatian dan kepanikan kita semua.

Awalnya masih ada pihak bahkan sejumlah pejabat beberapa negara, termasuk di Indonesia, yang menanggapi secara enteng dengan lelucon. Tak sedikit juga yang meresponnya dengan kelakar.

Namun varian baru dari Virus Corona berjuluk SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2) yang menjadi pemicu COVID19 ini punya daya tular yang lebih cepat dari pendahulunya (SARS-CoV).

Sejak terdeteksi dan dikenali secara pasti di Wuhan (China) awal Desember 2019 silam, setidaknya hingga tulisan ini diterbitkan, menurut WHO wabah COVID-19 telah menjangkiti 8.242.999 orang yang tersebar di 216 negara.

Badan Kesehatan Dunia atau WHO juga pada 11 Maret 2020 telah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi. Di Indonesia, dua kasus awal COVID-19 resmi diumumkan oleh Presiden Jokowi dan Menteri (Kesehatan) Terawan pada 2 Maret 2020.

Saat ini per 19 Juni 2020 sudah terkonfirmasi di https://covid19.go.id/ ada 42.762 kasus orang positif Virus Corona penyebab COVID-19.

Peran BNPB

Sebelumnya, tertanggal 28 Januari 2020, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengeluarkan SK Kepala Badan No. 9.A. Tahun 2020 tentang Penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia.

Keputusan Kepala BNPB tersebut terutama didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Dalam Keadaan Tertentu.

‘Keadaan Tertentu’ yang dimaksud adalah: “suatu keadaan dimana status Keadaan Darurat Bencana belum ditetapkan atau status Keadaan Darurat telah berakhir dan/atau tidak diperpanjang, namun diperlukan atau masih diperlukan tindakan guna mengurangi Risiko Bencana dan dampak yang lebih luas.”

Perka BNPB 9.A/2020 tersebut menetapkan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Virus Corona berlaku selama 32 hari terhitung sejak 28 Januari 2020 sampai dengan 28 Februari 2020.

Berdasarkan Perka BNPB 9.A/2020 itu memungkinkan BNPB menggunakan Dana Siap Pakai (DSP) yang dicadangkan padanya seperti untuk mendukung dan melakukan sejumlah kegiatan seperti evakuasi ataupun pemulangan WNI dari luar negeri.

Presiden Joko Widodo secara resmi pada tanggal 13 April 2020 menetapkan COVID-19 sebagai bencana nasional. Penetapan itu dinyatakan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.

Walau dinilai telat, respon Presiden Jokowi dengan menetapkan Keputusan Presiden Nomor 7 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) pada 13 Maret 2020 telah menunjukkan tingkat kesadaran penuh dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan penanggulangan secara serius dan lebih terpadu.

Berselang beberapa hari kemudian Keppres 7/2020 itu pun diubah pada tanggal 20 Maret 2020 dengan Keppres 9/2020 dimaksudkan untuk lebih memperkuat integrasi koordinasi dan kinerja antar kementerian/lembaga serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Setelah sempat menjadi polemik mengenai langkah nyata apa yang akan ditempuh oleh Indonesia dalam penanggulangan COVID-19, Presiden Jokowi akhirnya pada 19 Maret 2020 mengisyaratkan lebih memilih kebijakan Tes Cepat (rapid test) dibandingkan menerapkan Karantina Wilayah (lockdown) secara ketat serupa yang diterapkan oleh Pemerintah China di Wuhan, Provinsi Huibei.

Opsi tidak lockdown ditegaskan kembali oleh Kepala BNPB sekaligus Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo pada 21 Maret 2020 melalui unggahan video di akun Twitter Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Agus Wibowo (Baca: Detik.Com).

Kendati demikian, jika kita mencermati secara jeli himbauan serta langkah pemerintah pusat dan sejumlah pemerintah daerah di Indonesia sejauh ini, maka kebijakan Karantina Wilayah (lockdown) secara lunak atau soft dan sebagian atau partial lockdown sebenarnya sudah diterapkan.

Hal tersebut ditandai dengan kebijakan menutup banyak tempat umum, sekolah dan universitas serta menerapkan kegiatan mengajar-belajar jarak jauh secara daring atau online dari rumah.

Himbauan bekerja dari rumah pun dijalankan. Kendati tidak semua jenis pekerjaan dan sektor kegiatan ekonomi yang bisa menerapkan kebijakan work from home (WFH), berkurangnya denyut-denyut kesibukan kota, terutama di Jakarta jelas terlihat dan bisa dirasakan. Tapi kini ada konsep dan skenario yang baru!

Konsep “New Normal?”

Belum genap dua bulan penetapan COVID-19 sebagai bencana nasional dan pernyataan perang melawan virus ini, ketika kurva korban yang terjangkit di Indonesia sedang pada puncaknya, Presiden Joko Widodo meminta masyarakat Indonesia untuk bisa berdamai dan hidup berdampingan dengan Virus Corona ini.

Istilah berdamai ini sering disebut sebagai “New Normal” dimana hidup berdampingan harus dilakukan karena virus ini tak akan segera menghilang dan tetap ada di tengah masyarakat. Secara cepat masyarakat harus berubah dan menyesuaikan diri kembali. Fasilitas umum sudah mulai di buka dengan protokol kesehatan yang baru.

Transformasi ini adalah untuk menata kehidupan dan perilaku baru, PSBB mulai dilonggarkan, Jokowi sudah memberikan izin untuk segera menerapkan kebijakan New Normal ini dengan berbagai syarat. Namun, siapkah kita menghadapi transisi ini?

Banyak sekali polemik yang terjadi ditengah wabah pandemi ini. New normal dilakukan dengan dalih memulihkan dan menyelamatkan ekonomi Indonesia. Tapi ternyata, di awal penerapan kebijakan ini kurva korban yang terjangkit malah semakin naik. Apakah bisa skenario ini disebut mengatasi krisis atau malah semakin bencana?

New Normal tidak serta-merta mengembalikan ekonomi dalam jangka pendek. Jutaan orang memang telah kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian. Membuka kembali akses tempat umum, kembalinya produktivitas dan aktivitas masyarakat belum tentu memulihkan ekonomi skala makro dan mikro dengan mudahnya.

Situasi di Indonesia cukup kompleks, ditengah krisis kesehatan dan krisis ekonomi ada juga krisis isu politik dan juga krisis kepercayaan masyarakat semakin meningkat terhadap pemerintahnya.

Semoga alam akan menemukan kembali cara memulihkan diri, begitupun manusia dan semua keadaan segera menjadi lebih baik #BetterNormal.

Menurut kamu untuk lebih baik, kita harus bagaimana sih? Mari berbagi gagasan dengan menulis di lautsehat.id!

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan