Senandung Syair Alam di Institut Kesenian Jakarta

Tanggal 15 Juli 2019 pukul 17.00 suasana kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di kawasan Cikini Menteng Jakarta Pusat masih terlihat seperti biasanya.

Beberapa mahasiswa/i keluar masuk pintu gerbang kampus sementara yang lainnya duduk di warung dan areal kampus sambil ngobrol dan memainkan handphone.

Hari itu di lantai 4 ruang serbaguna Pascasarjana Fakultas Film dan Televisi  (FFTV), Urban Arts Forum mengadakan diskusi yang membahas karya seniman kreatif dan inovatif bernama Teguh Sapta Dewa (TSD).

Laras tali jiwa adalah sebutan yang diberikan TSD untuk gitar buatannya yang mirip dengan alat musik tradisional Kalimantan, Sape.

Gitar laras tali jiwa sudah dimodivikasi TSD menjadi diatonis barat. Dibutuhkan waktu riset selama kurang lebih 10 tahun untuk memodivikasi nada-nada sape yang non diatonis menjadi diatonis (baca do, re mi, dst).

Sisi lain yang merupakan kekuatan dari gitar laras tali jiwa adalah konsep filosofis tentang keterarahan pada keharmonian alam.

Karena alam telah menulis harmoninya maka keterarahan sikap hidup yang estetis adalah “berlayar” mengikuti harmoni yang sudah ditulis itu.

Hasil perenungan panjang TSD yang dituangkan secara simbolik melalui gitar laras tali jiwa berbentuk perahu yang mirip alat musik tradisional Kalimantan, Sape.

Sumber Foto: Instagram @yayasankelola

Begitulah kesimpulan yang saya dapatkan setelah sering ngobrol sejak tahun 2015 silam dengan seniman asal Jawa yang sudah memutih seluruh rambutnya.

Sejarah menyimpan begitu banyak legenda terkenal yang menyenandungkan estetika alam.

William P. Malm seorang ahli musik dari Amerika menulis dalam bukunya yang berjudul “Music Cultures of the Pacific, the Near East, and Asia” bahwa sekitar tahun 1697 S.M. seorang raja di Cina bernama Huang Ti mengutus Ling Lun agar pergi ke arah sebelah barat untuk memotong pipa-pipa bambu.

Setelah itu, raja itu meminta petunjuk para pemusiknya dan ahli astrologinya membuat kembali panjang pipa dan nada-nada milik kerajaan yang disesuaikan dengan semua unsur alam dan supranatural.

Percerminan dari alam ini pada seni yang tertinggal menjadi dasar pemikiran tentang musik Cina pada masa sekarang ini. Dalam konteks inilah, musik memiliki kaitan erat dengan unsur-unsur estetis yang terdapat di alam.

Pukul 17.16 seorang alumnus S2 IKJ yang bertugas sebagai moderator dalam acara itu mempersilahkan kami untuk tampil.

Saya melangkah ke depan dengan memakai baju LautSehat.ID hadiah dari Greenpeace beberapa waktu lalu.

Sebelum membawakan musikalisasi puisi yang telah kami persiapkan, terlebih dulu saya menyampaikan isu persoalan global seperti pemanasan global, perubahan iklim, dan sampah plastik yang kini mengancam kehidupan umat manusia dan hubungannya dengan perenungan panjang TSD dalam karyanya itu.

Setelah itu, saya memainkan gitar laras tali jiwo mengiringi Budi Marioto. Budi Marioto adalah teaterawan, memulai kiprah di bengkel teater sejak tahun 1987. Telah beberapa kali berkarya dengan seniman asal Jerman, Jepang Polandia dan seniman/wati di tanah air.

Syair alam di senandung Budi Marioto dengan suara yang menggelegar dalam ruangan itu, begini bunyinya :

ADA

Pemanasan global, perubahan iklim terjadi di mana-mana

Di Canada, New York, Eropa, Indonesia, dan seluruh dunia

Sampah plastik mengepung kehidupan kita

Ada di kali

Ada di jalanan

Ada di sawah

Ada di gunung

Ada di laut

Ada di udara

Ada di pikirkan

Ada di penciuman

Ada di kehidupan

Apa kita akan terkubur oleh pemanasan global ?

Apa kita akan terkubur oleh perubahan iklim ?

Apa kita akan terkubur oleh sampah ?

Mari kita – jiwa menyapa jiwa

Menengadah ke angkasa

Bersenandung bersama alam

Semerdu gitar laras tali jiwo

                                                                                           (Karya : Budi Marioto)

Usai membawakan musikalisasi puisi itu para penonton pun bersorak-sorai sambil bertepuk tangan.

Saya pun melangkah kembali ke tempat duduk dengan sebuah harapan. Semoga karya laras tali jiwa TSD memberikan inspirasi bagi seniman/wati di kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada khususnya dan generasi muda pada umumnya.

Sehingga nantinya, semakin banyak bermunculan karya-karya kreatif dan inovatif yang ikut juga memberikan keterarahan pada pengetahuan tentang keharmonian alam dan rasa cinta yang sebesar-besarnya pada alam itu sendiri.

Dengan begitu maka laut kita akan tetap sehat, udara kita semakin bersih, dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim bisa kita kurangi bersama-sama.

Di akhir acara saya mengajak TSD dan Budi Marioto foto bersama, sambil saya memegang gitar laras tali jiwa. Semoga semangat laut sehat terus bersenandung di kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Semoga!

Editor: AN.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan