Racun dari Darat Mengancam Biodiversitas Laut

Kawarang dan Bekasi sebagai salah satu pusat industri memiliki pabrik-pabrik yang demikian besar dan banyak sekali. Berbagai bidang industri ada disana mulai dari otomotif, tekstil, kimia sampai kebutuhan sehari-hari.

Sebagai bagian dari industri besar, tentu ada sisa produksi yang tidak dipakai yang biasa kita sebut limbah. Limbah itu sendiri ada yang padat, cair maupun berbentuk udara yang harus dibuang.

Bagaimana proses pembuangan tersebut, tentu sudah ada proses yang wajib dilalui seperti menetralkan limbah-limbah yang tergolong B3 agar aman bagi manusia dan lingkungan. Tapi tidak semua perusahaan melakukan hal tersebut karena tingginya biaya pengolahan limbah-limbah industri.

Banyak limbah dibuang langsung ke lingkungan, seperti limbah cair langsung dibuang ke kali dimana kali tersebut mengalir ke laut. Limbah padat pun banyak yang dibuang sembarangan ke laut.

Racun dari darat inilah yang jumlahnya sangat banyak meracuni laut kita. Memang sebagian bisa terurai atau menjadi netral, tapi sebagian lagi mengendap berpuluh-puluh tahun baik didasar laut maupun di tubuh makhluk hidup di lautan dan akhirnya dimakan kembali oleh manusia.

Apakah berbahaya ?

Sebagian dari racun tersebut sangat berbahaya dan dapat mengakibatkan penyakit bagi manusia atau makhluk hidup lainnya dan dapat mematikan. Sebagai contoh adalah pencemaran Hg (raksa) di Jepang yang terkenal dengan Tragedi Minamata.

Industri kimia yang beroperasi di sekitar Teluk Minamata ini membuang limbah yang mengandung merkuri ke perairan teluk. Ibu-ibu yang mengkonsumsi makanan laut (sea food) yang diperoleh dari Teluk Minamata yang tercemar oleh merkuri melahirkan anak-anak cacat bawaan.

Selain itu kasus keracunan kadmium juga terjadi di Jepang yang terkenal dengan penyakit itai-itai dengan gejala sakit pada tulang dan keroposnya tulang. Secara alamiah, unsur logam berat terdapat di seluruh alam, namun dalam kadar yang sangat rendah.

Kadar logam berat akan meningkat apabila limbah perkotaan, pertambangan dan perindustrian yang banyak mengandung logam berat masuk ke lingkungan laut. Logam berat memasuki perairan alami melalui saluran pembuangan dan hanya sebagian kecil yang dipindahkan melalui cara-cara yang khusus.

Logam berat yang sangat beracun ini tahan lama dan banyak terdapat di lingkungan. Logam berat tersebut adalah raksa (Hg), timah hitam atau timbal (Pb), arsen (As), kadmium (Cd), kromium (Cr), dan nikel (Ni).

Dikutip dari Kementrian Kelautan dan Perikanan BPPP Tegal Logam berat yang masuk ke perairan laut secara alami berasal dari tiga sumber, yaitu:

1.Masukan dari daerah pantai (coastal supply), yang berasal dari sungai dan hasil abrasi pantai oleh aktivitas gelombang.

2. Masukan dari laut dalam (deep sea supply), meliputi logam-logam yang dibebaskan oleh aktivitas gunung berapi di laut yang dalam dan logam-logam yang dibebaskan dari partikel atau sedimen-sedimen oleh proses kimiawi

3. Masukan dari lingkungan dekat pantai, termasuk logam-logam yang ditransportasi ikan dari atmosfer sebagai partikel-partikel debu.

Pengaruh pada logam berat atau timbel sangat berbahaya bagi kehidupan biodiversitas bawah laut. Ekosistem bawah laut mengalami hambatan pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi.

Melindungi laut kita memang harus dimulai dari berbagai kegiatan manusia di darat, karena racun sebenarnya itu berasal dari tempat kita tinggal dan sampah serta limbah pada akhirnya akan berkumpul di laut seperti Tempat pembuangan akhir dimana disana sebenarnya sumber bahan makanan pokok yang bergizi dan memiliki protein tinggi .

Selamat hari Keanekaragaman Hayati, mari kita berbangga bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan hayati terbesar, jadilah pembela lautan dan dukung selalu aksi penyelamatan laut!

Editor : Annisa Dian N

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan