Hak-Hak Anak Buah Kapal sebagai Pekerja Migran Indonesia

Dalam tulisan sebelumnya untuk memperingati Hari Migran dan Hari Pekerja Migran Sedunia, saya pernah menulis soal kondisi pekerja migran yang bekerja di laut.

Pekerja migran yang dimaksud adalah Anak Buah Kapal (ABK) yang bekerja di kapal ikan. Tulisan tersebut didasarkan pada hasil wawancara tahap awal yang saya lakukan terhadap tiga mantan ABK di Jawa Tengah.

Apakah kalian tahu bahwa ABK memiliki hak-hak tertentu yang sudah dilindungi oleh undang-undang kita, yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI)? Hak-hak tersebut dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (1).

ABK berhak memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja, tata cara penempatan, dan kondisi kerja di luar negeri

ABK berhak untuk tahu seluruh informasi tersebut untuk dapat memahami sepenuhnya mengenai penempatan kerja yang dilakukan terhadap mereka, seperti apa kondisi kerja di luar negeri yang akan mereka masuki, apa saja risiko-risiko yang mungkin menimpa mereka, dan hal-hal lain terkait pekerjaan yang akan mereka ambil.

ABK berhak memperoleh akses peningkatan kapasitas diri melalui pendidikan dan pelatihan kerja

Pendidikan dan pelatihan kerja yang dimaksud bersifat wajib untuk diikuti oleh ABK dan nantinya bukti bahwa ABK telah mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja tersebut adalah dengan diterbitkannya sertifikat kompetensi kerja (lebih dikenal dengan sebutan Basic Safety Training atau BST).

ABK berhak mendapatkan pekerjaan di luar negeri dan memilih pekerjaan sesuai dengan kompetensinya

Bila ABK memilih pekerjaan sesuai dengan kompetensi atau keahliannya, diharapkan mereka dapat memberikan hasil kerja yang terbaik sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki.

ABK berhak memperoleh penjelasan mengenai hak dan kewajiban sesuai perjanjian kerja

Hal ini sesuai dengan Pasal 1 butir 14 dan Pasal 54 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa perjanjian kerja memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak (pengusaha dan pekerja/buruh).

Dalam hal ini, ABK merupakan pekerja/buruh dan berhak tahu hak dan kewajiban yang mereka miliki selama bekerja di kapal.

ABK berhak memperoleh dokumen dan perjanjian kerja

Dokumen yang dimaksud yakni: fotokopi buku nikah (bagi mereka yang telah menikah), surat keterangan izin pasangan (bila telah menikah), orangtua atau wali (bila belum menikah) yang diketahui oleh kepala desa atau lurah, BST, surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi (lebih dikenal dengan sebutan hasil medical check-up), paspor, visa kerja, perjanjian penempatan pekerja migran, dan perjanjian kerja (lebih dikenal dengan sebutan Perjanjian Kerja Laut atau PKL).

Keseluruh dokumen ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi seseorang ketika melamar menjadi ABK dan dokumen-dokumen tersebut berhak diperoleh atau dikuasai kembali oleh ABK.

ABK berhak menguasai dokumen perjalanan selama bekerja

Dokumen perjalanan yang dimaksud adalah paspor, buku pelaut, berikut PKL. Selama bekerja di atas kapal, ABK memiliki hak untuk memegang seluruh dokumen perjalanan tersebut.

ABK berhak menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianut

Hal ini sejalan dengan Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

ABK berhak memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan penempatan dan/atau kesepakatan kedua negara dan/atau perjanjian kerja

Standar upah yang berlaku didasarkan pada: standar upah yang berlaku di negara dimana ABK ditempatkan/bekerja, kesepakatan antara negara Indonesia dan negara dimana ABK ditempatkan/bekerja, dan/atau perjanjian kerja.

ABK berhak memperoleh akses berkomunikasi

ABK memiliki hak untuk berkomunikasi. Dalam konteks ketika bekerja di kapal ikan yang berlayar di tengah laut, ABK pada umumnya dapat berkomunikasi dengan keluarga maupun kerabat ketika kapal sandar di daratan.

ABK berhak berserikat dan berkumpul di negara tujuan penempatan

Hal ini sejalan dengan Pasal 28 dan Pasal 28E UUD 1945, serta Pasal 24 ayat (1) UU HAM yang menyatakan berserikat dan berkumpul merupakan hak setiap warga negara Indonesia.

ABK berhak memperoleh pelayanan yang profesional dan manusiawi serta perlakuan tanpa diskriminasi

Ini berarti, ABK tidak dapat diperlakukan secara diskriminatif, dipekerjakan secara paksa, diperlakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi seperti ditendang, dipukul, ditampar, dikenai tindakan kekerasan lainnya baik sebelum, selama, maupun setelah bekerja.

ABK berhak memperoleh pelindungan dan bantuan hukum atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabat

Bila ABK mendapatkan tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabat sebagaimana dijelaskan di atas, maka mereka berhak memperoleh pelindungan dan bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia dan negara dimana mereka ditempatkan/bekerja.

Menurut peraturan perundang-undangan Indonesia sendiri yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Pemberi bantuan hukum yang dimaksud adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

ABK berhak memperoleh jaminan pelindungan keselamatan dan keamanan kepulangan

Artinya, ABK berhak dijamin keselamatan dan keamanannya ketika pulang dari negara dimana mereka ditempatkan/bekerja hingga kembali ke negara Indonesia bahkan ke daerah asal atau kampung halamannya.

Dengan demikian, sebetulnya hak-hak ABK sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) telah dilindungi dengan tegas oleh UU PPMI. Apakah kalian punya kerabat, saudara, atau teman yang bekerja sebagai ABK atau baru mau melamar kerja menjadi ABK?

Yuk beritahu mereka soal hak-hak yang mereka miliki!

Cintai laut, cintai sesama!

Editor: AN.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan