Renungan: Laut, Maafkan Aku

Sore terasa begitu sendu ketika di ujung cakrawala langit sudah mulai menjingga. Sang mentari telah di ujung peraduannya. Manakala warna hitam mulai merayap dari kaki langit di ufuk timur melahap keriuhan semesta hari itu. Gemerlap gumintang menari di langit bimasakti ketika sang rembulan samar-samar menampakkan kegagahannya.

Dalam suasan sunyi seorang remaja tanggung duduk termenung menatap ombak laut selatan yang menggulung menggerus hitamnya pasir pantai. Membentuk garis membentang bak lukisan alam. Keriuhan alam sore menjelang malam tidak nyata terasa baginya. Remaja tanggung itu seolah ter-alienasi di tengah-tengah keramaian. Dirinya datang dalam suasana keriuhan, namun tampak tidak hadir dalam sebuah obrolan kehangatan semesta.

Laut dan pantai tidak lagi membuat hatinya tenang untuk kembali mengenang. Deburan ombak bagai sebuah symphony alam raya sudah tak lagi merdu menyapa telinga. Burung camar tampak enggan menari dan lari terbirit-birit di atas ombak tatkala pupil remaja itu telah persis memandangnya. Butiran air laut tersapu menerpa wajahnya. Sebuah kombinasi sempurna yang begitu menyesakkan dada.

Dalam suasana sedu sedan angannya melayang pada subuah perjalanan bersama seorang gadis. Sebuah perjalanan berlatar putihnya pasir pantai dan birunya air laut yang terhampar di bawah kaki langit berwarna biru pucat. Pikirannya tidak sedang bergulat dengan manisnya wajah gadis itu. Namun, ingatan itu mencoba melukis kembali dimana kala itu dia sudah tidak lagi merasakan betapa lembutnya belaian angin pantai.

Dia paksa otaknya untuk kembali mengingat, namun tidak satupun kepingan ingatannya bermuara pada butir kesalahan yang dia lakukan kepada laut kala itu. Dia hanya menikmati obrolan di atas sebuah batu berpayung pandan laut.

Apa salahku kepadamu wahai laut? Mengapa kau seolah tidak lagi menganggapku ada? Tanyanya berkecamuk dalam hati.

Angannya kembali jauh melesat menembus konstelasi ruang dan waktu. Jauh sebelum perjalanannya bersama sang gadis. Ingatannya kembali berusaha mengais kepingan tindakan di masa lalunya. Kepingan puzzle itu perlahan membentuk lukisan barisan tenda di atas bukit tetap di bibir pantai.

Sunset on Malaumkarta beach, across Um island in Sorong, West Papua.

Alunan lagu dan suara petikan gitar memenuhi ingatannya. Tiba-tiba latar berubah menjadi hembusan kehangatan mentari di ujung bukit. Garis pantai berbentuk love tergambar jelas bersanding air laut yang gemerlap. Sekejap latar berganti tumpukan bekas bakaran jagung, bungkus makanan ringan, kardus air meniral gelas, bungkus bumbu balado, tisu basah, dan lingkaran hitam sisa rumput yang terbakar.

Lamunannya terjaga ketika terdengar teriakan dari ujung samudera.

“Aku sudah menunggu saat-saat seperti ini. Saat dirimu termenung merefleksikan berbagai kode alam kepadamu. Sebenarnya bisa saja aku sapu jiwa dan ragamu untuk membalas berbagai perlakuanmu kala itu. Namun, balas dendam bukan pilihan yang arif dan bijaksana.

Aku sadar dan yang lain pun telah mengakui bahwa kau dan sejenismu adalah ciptaan Tuhanku yang paling sempurna. Superioritasmu sudah memenuhi alam raya. Namun bukan berarti kau bisa berbuat semena-mena. Kau adalah puncak dari rantai makanan dan sekaligus puncak piramida kehidupan.

Semua ciptaan Tuhan yang lain berada di bawahmu. Namun, itu bukan proklamir bahwa kau bisa semaumu memanfaatkan kami semua. Melainkan itu adalah isyarat Tuhan bahwa kau berkewajiban mengayomi dan menjaga kami. Kau bisa memanfaatkan kami untuk memenuhi kebutuhan dan nafsumu.

Tapi bukan dengan cara yang semena-mena. Kau punya nilai moral dan kami pun juga memiliki nilai moral. Kau perlu dihargai dan kami pun sama. Kau punya akal untuk berfikir dan hati untuk merasakan intuisi. Aku harap kau bisa mengambil hkmah dari semua ini. Segera perbaiki kesalanmu kepada alam raya dan kepada Tuhan-mu”.

Sebuah sentuhan di punggung mengagetkannya. Bersamaan dengan itu suara mesterius hilang berganti deburan ombak yang menggulung.

“Sudah cukup renunganmu bro. Mari kita pulang. Sudah waktunya kau perbaiki semuanya. Udara pantai di malam hari juga tidak baik untuk hati yang masih terkotori”.

Manusia hanya perlu mengingat dan memperbaiki. Maka semua kesalahan akan dapat menjadi sebuah pesan yang terpatri di dalam hati.

Salam Literasi!!!   Salam Lestari!!!

Editor : Annisa Dian N

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan