Lombok Pasca Gempa

Di bulan Desember 2018 saya berkesempatan pergi mengunjungi Lombok.

Sebuah pulau indah yang terletak di Nusa Tenggara Barat.

Pada Agustus 2018 silam pulau ini terkena bencana tsunami dan mengalami kerusakan yang cukup parah.

Puing puing pasca gempa masih sering saya lihat disana, walaupun demikian ekonomi disana berangsur membaik, turis dari mancanegara sudah mulai datang kembali ke Lombok.

Saya sempat mengunjungi ke Pulau Gili Trawangan, ketika saya turun dari kapal terlihat banyak puing-puing yang masih belum dibersihkan.

Namun saya menemukan banyak turis bule yg sudah lalu lalang disana, toko-toko, penginapan, fasilitas umum, sudah mulai normal.

Keesokan harinya saya berbincang dengan pedagang, dia berbicara tentang bagimana hebatnya gempa pada saat kejadian.

Banyak orang disana masih trauma masuk ke rumah, penghasilannya turun drastis  dan sempat mengeluhkan bantuan dari pemerintah pusat yang lambat sampai ke mereka.

Meskipun begitu, pemerintah telah merencakan percepatan rehabilitasi kerusakan lingkungan, perbaikan sarana fasilitas umum, dan pembangkitan aktivitas sosial dan budaya masyarakat.

Dengan demikian, diharapkan ekonomi rakyat di lombok semakin bangkit dan baik. Terlebih Lombok menjadi salah satu pulau yang menjadi pulau percontohan untuk melaksanakan konsep pembangunan berbasis ekonomi biru (blue economy).

Dikutip dari Mongabay.co.id, “Konsep ekonomi biru di Lombok bisa membangun sektor kelautan dan perikanan dengan mengedepankan prinsip–prinsip keberlanjutan, ramah lingkungan dan bebas limbah. Komoditas rumput laut sebagai basis usaha bagi masyarakat pesisir untuk pembudidaya ikan sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan.”

Lombok adalah daerah rawan gempa,  selain infrastrukturnya yang harus sigap gempa, orangnya juga harus siap setiap saat dalam menghadapi gempa.

Editor : Annisa Dian N.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan