Kerja Paksa di Kapal Ikan Asing

Ingatkah kapan terakhir kali Anda menikmati sushi bersama keluarga, teman ataupun kolega? Hidangan khas asal Jepang yang sangat digemari anak muda ini memiliki cita rasa yang sangat menggoda disamping juga memiliki kandungan gizi yang tinggi. Lezatnya sushi yang kita konsumsi tidak seindah kisah dibalik proses mendapatkan bahan bakunya. Bahan berkualitas premium yang dijajakan oleh restoran sushi menyimpan kisah kelam dan kerja paksa, khususnya bagi buruh migran Indonesia yang bekerja untuk kapal-kapal penangkap ikan asing jarak jauh. Sebagian kapal-kapal tersebut berasal atau dikuasai pemilik asal Taiwan.

Kisah Pilu Kerja Paksa

Kisah pilu ini dimuat dalam laporan bertajuk Choppy Waters: Forced Labour and Illegal Fishing in Taiwan’s Distant Water Fisheries yang diluncurkan Greenpeace East Asia pada 19 Maret 2020. Dalam laporan tersebut, Greenpeace East Asia melakukan investigasi dan komunikasi terhadap 10 awak kapal Indonesia yang bekerja pada kapal penangkap ikan asing jarak jauh serta melihat langsung empat awak kapal yang bekerja di dua kapal milik Taiwan dan satu milik Jepang. Lebih lanjut, laporan tersebut menunjukkan bahwa “masih ada resiko tinggi dalam kapal penangkap ikan Taiwan”. Resiko tersebut ditunjukkan dengan mengacu pada beberapa indikator yang kerja paksa yang ditetapkan oleh International Labour Organization (ILO) yakni: lembur yang berlebihan, ikatan hutang, dan penahanan dokumen identitas.

Kerja Paksa dan Perbudakan di Laut

Hasil lainnya menunjukkan bahwa eksploitasi buruh masih terjadi, meskipun penerapan proses rekrutmen yang lebih ketat telah dilakukan. Sistem “dua-tingkat” yang dimiliki oleh Taiwan juga menjadi penyebab mengapa eksploitasi buruh tetap terjadi. Terakhir, terdapat hubungan antara penangkapan ikan secara ilegal (illegal, unreported, unregulated fishing / IUU Fishing) dengan kerja paksa yang dialami oleh buruh migran yang ditunjukkan dengan adanya “pengambilan sirip hiu” yang disertai “pemindahan anak buah kapal dan sirip hiu” yang terjadi antar kapal penangkap ikan.

Kerja Paksa cermin lemahnya Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Siapa di Balik Perbudakan Modern Kapal-Kapal Penangkap Ikan Jarak Jauh?
Sebuah laporan investigasi bertajuk “Jeratan Bisnis Kotor Perbudakan Modern di Laut: Pengungkapan Daftar Perusahaan Perekrutan dan Penempatan Anak Buah Kapal (ABK) Asal Indonesia yang Diduga Kuat Menjadi Korban Kerja Paksa dan Perbudakan Modern di Kapal Perikanan Asing Jarak Jauh” yang diterbitkan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) bekerjasama dengan Greenpeace Indonesia juga di bulan Maret 2020 mengungkap enam perusahaan perekrut dan penempatan tenaga kerja Indonesia (Manning Agency) yang terlibat dalam usaha yang tergolong sebagai bentuk perbudakan modern ini. Laporan tersebut merupakan pendalaman atas laporan Seabound yang dirilis oleh Greenpeace Asia Tenggara berkolaborasi dengan SBMI pada Desember 2019.

Dalam laporan tersebut, dijelaskan bahwa manning agency yang merekrut dan menempatkan Anak Buah Kapal (ABK) di kapal ikan luar negeri bertanggung jawab atas maraknya pelanggaran. Keenam perusahaan yang terkait ke dalam laporan Seabound adalah : (1) PT. Puncak Jaya Samudra (PJS); (2) PT. Bima Samudra Bahari (BSB); (3) PT. Setya Jaya Samudera (SJS); (4) PT. Bintang Benuajaya Mandiri (BBM); (5) PT. Duta Samudera Bahari (DSB); dan (6) PT. Righi Marine Internasional (RMI). Perusahaan tersebut dikatakan “memiliki kaitan kuat” dengan kapal-kapal ikan asing yang melakukan kerja paksa. Lebih lanjut, mengacu pada laporan Seabound mengatakan terdapat 13 nama kapal ikan luar negeri atau asing yang menjadi tempat para ABK tersebut bekerja.

Dalam merekrut calon ABK, manning agency memiliki beberapa modus sebagai iming-iming agar pencari kerja mau bergabung dengannya: gaji besar, suasana nyaman, bonus tinggi, kemiskinan dan jeratan hutang. Tidak hanya melakukan sosialisasi, manning agency juga mengadakan sistem sponsor untuk mengajak masyarakat bergabung sebagai ABK. Dengan iming-iming tersebut para ABK juga tidak hanya rentan menjadi korban kerja paksa tetapi juga menjadi target dan komoditas perdagangan orang.

Sebagaimana tercantum pada laporan, manning agency tersebut dinyatakan “telah melakukan sejumlah pelanggaran” terhadap pekerjanya, yakni dilihat dari masing-masing dokumen Perjanjian Kerja Laut (PKL). Dari hasil wawancara dengan ABK yang bekerja untuk kapal ikan asing jarak jauh, terdapat empat masalah yang dikeluhkan dan terkait dengan beberapa indikator kerja paksa ILO yaitu: penipuan (melibatkan 11 kapal asing); pemotongan upah (melibatkan sembilan kapal ikan asing); kerja lembur berlebihan (melibatkan delapan kapal ikan asing); penganiayaan fisik dan seksual (melibatkan tujuh kapal ikan asing).

Pemerintah Ada Di Mana?
SBMI menuding pemerintah lalai dan gagal melindungi hak dan keselamatan ABK Indonesia. Ditambahkan pula, kegagalan mendasar pemerintah nampak pada lambatnya penerbitan aturan turunan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang semula ditargetkan selesai pada November 2019. Lebih lanjut, pemerintah dinilai lemah dalam mengawasi perusahaan manning agency yang menyebabkan rentannya ABK Indonesia, sehingga mudah dieksploitasi dan akhirnya menjadi korban perbudakan modern di atas kapal ikan asing jarak jauh.

“Sudah banyak korban dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Ada sekitar 257 kasus terkait ABK Indonesia di basis data kami, belum lagi di serikat lainnya. Jadi, wajar saat ini kita meragukan keseriusan dan kapasitas pemerintah untuk melakukan pengawasan sekaligus evaluasi, dan penertiban terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga melakukan eksploitasi terhadap ABK Indonesia,” ujar Hariyanto Suwarno, Ketua Umum SBMI.

“Seharusnya pemerintah dapat bergerak cepat melakukan penertiban terhadap Perusahaan Penempatan Pelaut Perikanan yang melakukan perekrutan tanpa memiliki izin usaha, sebagaimana diatur dalam pasal 54 UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang mengatur besarnya modal dan deposito, sehingga dalam melakukan bisnis penempatan ABK berjalan secara serampangan dan eksploitatif. Bahkan diduga kuat perusahaan-perusahaan ini telah mengeksploitasi hak-hak ABK dan melakukan pelanggaran tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Kerja Paksa dan Perbudakan di Laut

Pemerintah tidak hanya perlu cepat, tetapi juga harus lebih berani melakukan penelusuran dan penindakan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan UU 21/2007,” terang Eddy Purwanto, Staf Bantuan Hukum untuk SBMI.

Sementara itu Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia mengatakan bahwa upaya eksploitasi yang dialami ABK Indonesia di kapal ikan asing jarak jauh sebagai perbudakan modern. “Perbudakan modern di atas kapal ikan tersebut juga erat kaitannya dengan kegiatan perikanan ilegal dan merusak yang menyebabkan kondisi stok ikan dan ekosistem laut semakin terancam”.

Editor: AN.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan