Di Kei, Belajar dan Memahami dari Alam (Bag. 1)

Gagasan tentang adanya keteraturan di alam tidak hanya ditampilkan saat tarik tali atau wer warat tetapi dapat dilihat juga pada pertunjukan seni tradisional Kei yang dibawakan oleh siswa/i dari berbagai desa beberapa hari sebelum berakhirnya Festival Meti Kei 2016.

Setiap malam saya menyempatkan waktu untuk menyaksikan pertunjukan seni tradisional itu. Jarak panggung pertunjukannya hanya sekitar 50 meter dari kediaman saya di jalan Pemda Langgur Maluku Tenggara.

Sebelum pertunjukan di mulai saya berjalan menuju arah belakang panggung untuk melihat suasananya. Di belakang panggung para pemusik dan penari cilik menggunakan pakaian adat yang dilengkapi dengan seloi, gontong, panggayo, tombak dll. Pada zaman dahulu kala alat-alat itu biasanya digunakan oleh para nelayan ketika pergi menangkap ikan di laut. Malam itu suasana aktivitas menangkap ikan di laut sangat jelas terlihat.

Dari raut wajah para pemusik dan penari cilik terlihat rasa gembira dan bangga karena ikut memeriahkan pertunjukan malam itu. Sebagian dari mereka duduk dan yang lainnya berdiri. Mereka dengan sabar menunggu dipanggil naik ke panggung untuk menampilkan musik dan tarian tradisional Kei.

Suasana di belakang panggung sebelum pemusik dan penari melakukan pertunjukan

Pertunjukan tiap malam selalu dihadiri jumlah penonton yang cukup banyak, mereka sangat antusias dan terhibur. Di atas panggung yang tingginya sekitar setengah meter para pemusik dan penari cilik menampilkan aktivitas di laut yang di dalamnya tersimpan seperangkat pengetahuan tentang keteraturan di alam.

Pengetahuan tentang keteraturan di alam diekspresikan melalui beberapa teks-teks nyanyian dengan gaya logogenik, dilantunkan secara bersama-sama dalam gaya strofic dengan diiringi irama tiva dan gong gaya repetitif yang dimainkan oleh para pemusik. Pada saat yang sama, para penari cilik menari mengikuti irama musik dengan menggunakan seloi, panggayo, gontong dan lain-lain.

Ditegaskan William. P. Malm dalam “Music Cultures of The Pasicif, The Near East, and Asia” (1977) bahwa seni pada masyarakat yang belum mengenal tulisan tidak dipisahkan dari berbagai kehidupan.

Seni memiliki banyak peran dan fungsi untuk menjelaskan tentang alam (natural), di luar (supranatural), menyampaikan mitologi dan sejarah kelompok tertentu, serta cara berhubungan dengan alam semesta (termasuk laut). Pandangan yang sama disampaikan juga oleh Claire Holt dalam ”Art in Indonesia : Contonuities and Change” (1967).

Pandangan Malm dan Holt sejalan dengan peran dan fungsi pertunjukan seni tradisional Kei – suku di Indonesia Timur yang belum mengenal tulisan beberapa abad lalu. Dalam konteks ini, pertunjukan seni tradisional malam itu mengajak kita melihat dan mengenang kembali cara leluhur Kei menempatkan diri mereka dan berprilaku mengikuti keteraturan di alam (makro kosmos).

Merujuk pada teks-teks nyanyian, teknologi ramah lingkungan yang digunakan, serta gerakan tarian tersirat suatu pengetahuan bahwa tidak boleh mengeksploitasi kehidupan biota di laut secara massif karena makhluk hidup di laut mengalami siklus kehidupan (lahir, bertelur dan mati). Artinya, proses perkembangbiakan biota di laut berjalan secara teratur – ada hitungan waktunya.

Karena berbekal pengetahuan itulah maka saat melakukan aktivitas wer warat penangkapan hanya pada ikan besar bukan kecil guna menjaga populasinya (tidak punah). Ini artinya menjaga ketersediaan sumber makanan agar tetap ada. Selain itu, untuk melindungi abiotik lainnya karena ada ketergantungan antara abiotik dan biotik. Jika merusak yang satu akan menggangu keteraturan di laut.

Selain itu, pendapat bahwa pada bulan-bulan tertentu kondisi air laut akan surut atau meti (sebutan orang Maluku pada umumnya) adalah bukti adanya keteraturan di alam. Ketepatan leluhur Kei menentukan pada bulan apa saja terjadinya meti dari dulu sampai sekarang selalu benar – tidak pernah meleset. Ketepatan itu selalu benar karena leluhur Kei telah melakukan pengamatan terhadap cara kerja alam semesta secara berulang-ulang dalam kurun waktu yang cukup lama.

Pengetahuan tentang adanya keteraturan dan harus bersikap arif dan bijaksana terhadap alam diekspresikan dengan begitu apik dan mempesona oleh para musik dan penari cilik pada malam itu.

Sesekali terdengar suara riuh tepuk tangan penonton, lalu mereka bersama-sama bersorak-sorai rmemberikan semangat bagi para pemusik dan penari cilik.

Suasana pertunjukanya begitu indah, seindah ribuan cahaya bintang-bintang yang menghiasi langit malam itu. (*)

Berlanjut ke Bagian 2

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan