Kota Tegal dalam Lingkaran Perusak Ekosistem Laut

Setiap kota pastinya memiliki icon atau jargon, yang tentunya icon tersebut diambil dari kearifan lokal, budaya masyarakat atau basis ekonomi produksi mayoritas masyarakat.

Hal tersebut merupakan nilai-nilai dari perkembangan corak produksi yang digali dari kesejarahan masyarakat daerah tersebut. Pastinya semua orang tidak asing lagi, salah satu kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah pesisir pantai utara yaitu Kota Tegal.

Setiap orang yang melintasi dari jalur pantura ketika memasuki kota Tegal akan disajikan tulisan melalui media Gapura “SELAMAT DATANG DI TEGAL KOTA BAHARI”.

Istilah Kota Tegal Bahari saya pernah dengar pada saat acara diskusi Sejarahwan Pantura, namanya bapak Wijanarko, Istilah Tegal Bahari ini diambil dari sejarah kehidupan masyarakat kota Tegal pada Abad ke 10.

Pada waktu itu kekuasaan ekonomi masih di kuasai bangsa Tionghoa. Sehingga nenek moyang kita atau masyarakat dahulu memilih untuk melaut menjadi nelayan dan menggantungkan keberlanjutan hidupnya dari hasil laut.

Keadaan masyarakat kian semakin berkembang sehingga banyak jasa-jasa pembuatan perahu dan kapal baik skala kecil dan skala besar atau dengan istilahnya galangan-galangan kapal.

Sehingga pada tahun 1980 icon kota Tegal Bahari dipopulerkan oleh pemerintahan kala itu hingga saat ini. Jargon Bahari tersebut diartikan oleh pemerintah kota Tegal “BERSIH AMAN HIJAU ASRI RAPI”.

Sehingga dari kesejarahan masyarakat kota Tegal hingga saat ini di bagian pesisir pantura Kota Tegal masyarakatnya mayoritas bekerja di laut sebagai nelayan.

Lantas nelayan seperti apakah yang ada di Kota Tegal?

Nelayan yang ada di Kota Tegal ketika dilihat sebagian ada nelayan tradisional. Nelayan tradisonal yang dimaksud adalah nelayan yang masih menggunakan sampan, layar, dan kapal-kapal nya tidak menggunakan mesin. Serta alat tangkapnya menggunakan jaring.

Lalu apakah semua nelayan di Kota Tegal masih bercorak tradisional? menurut bapak Muslih yang juga bertempat tinggal di pesisir kota Tegal  nelayan tradisional di Kota Tegal kian hari semakin berkurang, bisa dilihat di kampung nelayan banyak perahu-perahu yang tidak jalan.

Sebagian perahu-perahu yang akhirnya membuka jasa transportasi untuk memancing, dan keliling pantai. Pak Muslih juga mengatakan hal ini disebabkan karna sejak jaman 1990-an banyak galangan kapal yang memproduksi kapal-kapal besar.

Jika kalian berkunjung bisa diliat di pelabuhan kota Tegal dan pelabuhan perikanan kota Tegal rata-rata kapal disitu berukuran tiga puluh sampai lima puluh GT.

Begitu pun Bapak Muslih yang dulunya juga nelayan dan sekarang jadi burjuis kecil alias buka warung kopi. Apa iya sih benar di pelabuhan Perikanan Kota Tegal, kapal-kapalnya besar, lalu besarnya seberapa sih?

Ketika masuk di pelabuhan Kota Tegal akan disajikan pemandangan yang indah kapal-kapal yang kebanyakan berukuran tiga puluh hingga lima puluh GT, serta nelayan yang sedang bongkar ikan atau nelayan  yang bersiap untuk berangkat melaut.

Memang sangat indah ketika melihat kapal besar, dan tentunya pembuatan kapal tersebut juga pastinya membutuhkan biaya yang sangat mahal dan angkanya sangat fantastis dari 200 juta hingga 3,5 milyar rupiah.

Wow! dengan harga kapal segitu artinya para nelayan Kota Tegal sangat kaya karena mampu membeli kapal dengan harga tersebut. Tentunya dengan kapal tersebut produktivitas hasil tangkap semakin banyak dan jarak berlayar juga sangat jauh.

Bisa diartikan berarti mayoritas masyarakat pesisir Kota Tegal tidak bercorak tradisional lagi akan tetapi sudah canggih dilihat dari jenis dan ukuran kapalnya.

Tetapi ketika dilihat kenapa ketika lagi bongkar ikan dan berangkat melaut di dalam satu kapal ada lima sampai sepuluh orang di dalam satu kapal tersebut.

Akhirnya saya menayakan salah satu nelayan beliau Pak Mardi, “Pak kok itu dalam 1 kapal ada banyak orang?” Kemudian Pak Mardi menjawab. ” Oya mas itu ABK, anak buah Kapal karna pasti di setiap kapal disini ada timnya yang sudah memiliki tugas masing-masing, karena kami melaut membutuhkan waktu satu-tiga bulan Mas.”

Entah apa rasa kepo-ku pun muncul dan aku kembali bertanya. “Pak ini kalau berlayar ke daerah mana saja pak?” dan Pak Mardi menjawab “Oya Mas, kami biasanya melaut sampe ke daerah Sumatera dan Kalimantan”.

Setelah saya kulik lebih dalam, Pak Muslih merupakan salah satu ABK kapal dari seorang pemilik kapal yang juga menjabat sebagai ketua kelompok nelayan, para haji-haji kaya, dan juga ada yang anggota DPRD Kota Tegal.

Beliau juga cerita menangkap ikan menggunakan alat tangkap cantrang. Sebelumnya nelayan kota Tegal sempat demonstrasi karena pelarangan penggunaan cantrang.

Beliau membenarkan adanya aksi para ABK dan juga organisasi nelayan protes ke pemerintahan pusat, karna kebijakan Menteri Susi yang melarang cantrang.

Rasa penasaran saya tidak berhenti dan pembicaraan diskusi pun terus berlanjut. Hampir semua kapal yang manyoritas berukuran tiga puluh hingga lima puluh GT menggunakan alat tangkap cantrang.

Cantrang merupakan alat tangkap yang dalam pengoperasiannya bersifat aktif dan menyentuh dasar perairan dengan menebar tali selembar secara melingkar, dilanjutkan dengan menurunkan jaring cantrang tersebut.

Alat tangkap cantrang pernah menjadi kontroversi karena kebijakan Menteri Susi kala itu menerbitkan Peraturan Menteri KP Nomor 71 tahun 2016 terkait Pelarangan Cantrang dan alat tangkap merusak lainnya.

Peraturan tersebut tentu membuat pro dan kontra. Salah satu kontranya muncul aksi-aksi nelayan protes atas kebijakan tersebut, karena akan merugikan para nelayan.

Aksi-aksi nelayan kota Tegal yang sampai melakukan aksi di Jakarta dan para nelayan sempat juga menolak kedatangan Menteri Susi di Kota Tegal.

Namun melihat penguasa kapal di Kota Tegal, yang hanya dikuasai segelintir orang tersebut, batinku bertanya!

Siapa yang dirugikan atas kebijakan pelarangan cantrang ? Nelayan atau segelintir orang tersebut?

Yang jelas lingkaran tersebutlah yang akan dirugikan atas kebijakan dan bukan nelayan, karena nelayan-nelayan tradisional kenyataannya sudah sangat minoritas di Kota Tegal, dan bukan ABK yang disalahkan.

Lingkaran tersebutlah yang membuat prespektif ABK tidak termajukan karena mereka mau tidak mau harus patuh terhadap si pemilik kapal.

Padahal cantrang yang operasinya sampai ke dasar laut dapat mengakibatkan perusakan ekosistem laut, hancurnya kehidupan dasar laut, dan tertangkapnya tanpa terkecuali semua hewan laut.

Jelas ini akan merugikan ekosistem dan masa depan laut kita. Kota yang kaya akan sumberdaya ikan tetapi harus menelan pahit kenyataan bahwa rakyatnya masih banyak yang miskin dan tidak sejahtera.

Kembali lagi dengan icon Kota Tegal Bahari, sejarah nenek moyang kita seorang pelaut kini di Kota Tegal sudah hilang corak nelayan tradisionalnya dan jauhnya prinsip-prinsip menjaga laut.

Tidak adanya lagi hubungan timbal balik antara nelayan dengan laut. Karena ke-BAHARI-an kota Tegal dimonopoli oleh lingkaran segelintir orang tersebut.

Editor : Annisa Dian N

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan