Sistem Buka Tutup Gurita di Pulau Langkai dan Lanjukang, Menghidupi Nelayan, Menghidupkan Ekosistem Laut

gurita

Umumnya ancaman eksistensi masyarakat dan lingkungan di pulau-pulau kecil perairan Spermonde adalah destructive fishing seperti bius dan bom, lalu dampak krisis iklim hingga industri ekstraktif tambang pasir laut. Hal itu tentu sangat berdampak terhadap keberlangsungan nelayan dan ekosistem laut.

Hal itu ditambah dengan penegakan hukum yang lemah untuk melindungi perairan Spermonde. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat yang dilontarkan Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia saat launching #savespermonde pada 2019 di Makassar. Ia mengungkap jika Spermonde adalah contoh nyata dari lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum oleh pihak berwenang.

Pulau Lanjukang dan Pulau Langkai merupakan pulau yang terletak di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pulau ini juga menjadi bagian dari perairan Spermonde yang kita tahu merupakan bentangan pulau-pulau meliputi Kabupaten Takalar, Makassar, Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Barru.

Tahun 2021 menjadi salah satu penanda di Pulau Langkai dan Pulau Lanjukang untuk pertama kalinya diterapkan penangkapan berkelanjutan melalui sistem buka tutup gurita yang ini diinisiasi oleh Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia.

Sistem buka tutup gurita pada dasarnya memberikan waktu gurita untuk berkembang dengan menetapkan area melalui penutupan sementara lokasi yang telah ditentukan. Sistem buka tutup tersebut disepakati oleh nelayan selama kurang lebih 3 bulan lamanya.

Di kedua pulau tersebut terdapat dua area yang menjadi lokasi sistem buka buka tutup. Area pertama dengan di lokasi yang disebut Taka Biring Baru dengan luas 116,64 hektar dan area kedua Taka Sallangang seluas 203,42 hektar.

Peta lokasi penangkapan gurita nelayan Pulau Lanjukang dan Pulau Langkai (kiri) dan Peta lokasi area sistem buka tutup gurita (kanan). / Sumber: Dokumen YKL Indonesia

Melalui rangkaian kegiatan terhitung sejak Mei 2021 hingga Oktober 2022 para nelayan mendapat manfaat dari penerapan sistem buka tutup tersebut. Bukan hanya manfaat ekonomi namun juga manfaat secara keberlanjutan ekosistem lautnya.

Gurita menjadi pilihan untuk penerapan sistem buka tutup lantaran memiliki potensi produksi yang besar. Di Sulawesi Selatan sendiri produksi ekspor gurita tahun 2017 mencapai 7.340,16 ton yang menjadikannya menempati urutan keempat produksi gurita terbesar di Indonesia sejak tahun 2010 hingga 2018 berdasarkan rilis dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Harga jual yang tinggi dan cenderung menetap membuat pendapatan nelayan lebih tinggi. Selain itu juga pertimbangan alat tangkap yang ramah lingkungan menjadikan sistem buka tutup ini merupakan sistem penangkapan yang berkelanjutan.

Produksi Gurita di Pulau Lanjukang dan Pulau Lanjukang. Sumber: Dokumen YKL Indonesia

Biodiversitas sekitar Pulau Lanjukang dan Langkai

Salah satu kunci dari keberlangsungan ekosistem laut dan penghidupan masyarakat di pulau kecil adalah tingkat biodiversitasnya. Di Pulau Langkai dan Pulau Lanjukang, survei yang dilakukan oleh Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia tahun 2021 mengungkap jika persentase tutupan karang hidup berkisar 20-55 persen.

Jika melihat standar yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup melalui Kepmen Nomor 4 tahun 2021, maka persentase tersebut berada dalam kategori rusak ringan. Kondisi tersebut umumnya dapat dijumpai di pulau-pulau spermonde lainnya.

Pakar Karang dari Universitas Hasanuddin mengungkap hasil monitoring ekosistem terumbu karang yang dilaksanakan bekerja sama dengan LIPI tahun 2015 menunjukkan tutupan karang hidup rerata 19,64 persen yang masuk kategori mulai rusak. Data lainnya yang dikeluarkan oleh MSDC Universitas Hasanuddin tahun 2018 jika kondisi tutupan karang di pulau-pulau Makassar berkisar 30 sampai 40 persen.

Kabar baiknya, proses sistem buka tutup gurita yang dilakukan di Pulau Lanjukang dan Pulau Langkai telah memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan dan kesehatan terumbu karang. Survei yang dilakukan September 2022 oleh YKL Indonesia menunjukkan persentase tutupan karang hidup rerata 65 persen.

Dampak lainnya juga terlihat dari kemunculan biota penting yang dilindungi dan terancam punah. Di pulau Lanjukang selama kurang lebih setahun terakhir penerapan sistem buka tutup gurita ditemukan 15-20 ekor Penyu Sisik dan Penyu Hijau. Perlu diketahui jika setiap ekor penyu yang bertelur mampu mencapai 100 telur.

Pelepasan tukik ke laut oleh Jaring Nusa, YKL Indonesia dan warga Pulau Lanjukang. / Foto: Wahyu Chandra / Mongabay Indonesia

Sistem buka tutup gurita memberikan kesadaran bagi masyarakat untuk melakukan upaya konservasi terhadap biota yang dilindungi. Melalui pembentukan kelompok masyarakat konservasi membuat mereka menjaga keberadaan penyu di pulaunya.

Laporan lainnya menunjukkan jika keberadaan berbagai jenis hiu seperti Hiu Mako Sirip, Hiu Sirip Hitam, hingga Hiu Paus juga ditemukan di perairan Pulau Lanjukang dan Pulau Langkai.

Sistem buka tutup gurita juga membuat masyarakat sadar dan lebih peduli untuk melakukan penangkapan secara berkelanjutan dan terbukti mampu menekan aktivitas destructive fishing seperti bius dan bom yang prakteknya masih banyak ditemukan. Lingkungan yang semakin baik dan terjaga memberikan ruang bagi nelayan untuk terus mempertahankan profesinya.***

Baca juga: Batu Siborong: Konservasi Melalui Tradisi Bahari di Spermonde

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan