Lakon Kehidupan Bawah Laut di Serial Kartun Upin & Ipin

Siapa yang tidak kenal dengan serial kartun Upin dan Ipin. Serial kartun dari Negeri Jiran Malaysia ini sudah menjadi teman bagi anak-anak di seluruh pelosok Nusantara. Serial kartun ini pertama kali rilis pada 14 September 2007.

Tujuan awal dirilisnya kartun ini adalah untuk menanamkan dan memeberikan pemahaman kepada anak-anak tentang kemuliaan bulan suci Ramadhan. Namun lambat laun serial kartun ini berkembang menjadi tontonan yang lebih atraktif dan penuh nilai.

Tahukah teman-teman semua, ternyata salah satu dari dua pencipta serial kartun ini yaitu Burhanuddin Radzi merupakan lulusan ITB lho. Iya, beliau adalah lulusan ITB yang pada awalnya bekerja pada sektor perminyakan, namun banting setir ke dunia industri kreatif.

Semua berawal pada tahun 2005 ketika pemerintah Malaysia sedang mendorong perkembangan industri animasi. Dengan berbagai keterbatasan termasuk keterbatasan finansial, lahirlah tokoh kartun Upin & Ipin dengan khas kepala pelontosnya.

Upin & Ipin terus bertransformasi menjadi salah satu serial kartun favorit bagi anak-anak dan bahkan bagi orang dewasa, termasuk saya hehehe. Berbagai petuah bijak dan nilai moral terselip dalam setiap episodenya.

Kepatuhan dan rasa kasih sayang kepada keluarga yang tercermin dari sosok Upin dan Ipin, kesungguhan berwirausaha dari sosok Mail, ketekunan dalam belajar dan membaca dari sosok Mei Mei, dan masih banyak lagi. Tidak hanya sekedar menghibur serial kartun ini juga sangat inspiratif.

Oiya ada satu lagi yang unik, tahukah teman-teman kalau Ipin tidak pernah memperkenalkan dirinya sendiri? hehehe. Dia selalu diperkenalkan oleh kakaknya, Upin. “Dan ini adik saya, Ipin”, seperti itulah kira-kira cara Upin memperkenalkan adiknya, Ipin.

Lelakon Kehidupan Bawah Laut

Dalam salah satu episodenya, Upin & Ipin and friends kembali mempertontonkan sebuah lelakon penuh makna. Penggalan episode itu telah kembali mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem laut. Alkisah, ketamakan dan keteledoran manusia telah mengganggu dan merusak keseimbangan ekosistem laut.

Dalam sebuah penggalan kisah, Upin Ipin dan kawan-kawannya yang hidup sebagai biota laut harus rela kehilangan tempat tinggal. Semua itu diakibatkan oleh semakin banyaknya sampah yang terbuang ke laut. Kondisi diperburuk dengan tumpahan minyak yang kembali membuat permasalahan kerusakan tempat tinggal mereka menjadi semakin pelik.

Tidak sampai di situ, sebuah rasa penasaran mereka dengan wujud mamalia terbesar di lautan yaitu ikan paus, membawa kawanan biota laut itu ke dasar perairan yang lebih dalam. Di tengah perjalanan, mereka menjumpai seekor penyu belimbing yang diperankan oleh Datuk Dalang Ranggi terjerat jaring pukat nelayan. Kuatnya ikatan jaring membuatnya kesulitan untuk bernafas.

Dengan kekuatan capitnya seekor kelomang yang diperankan oleh Jarjid Singh dengan sekuat tenaga berusaha untuk melepaskan jeratan jaring pukat itu. Namun semuanya sia-sia, jaring pukat terlalu kuat. Namun masalah akhirnya dapat teratasi ketika dengan kekuatan super dari tentakel listriknya seekor ubur-ubur yang diperankan oleh Mail berhasil memutus jaring pukat. Berkat pertolongan ubur-ubur, si penyu belimbing bisa kembali berenang bebas bersama dengan biota laut yang lain.

Dalam realitas dunia nyata fakta menyedihkan ini tampak begitu lebih menyayat hati. World Economic Forum mencatat bahwa pada tahun 2016 telah lebih dari 150 juta ton sampah terakumulasi di seleuruh samudera planet Bumi. Bahkan mereka memprediksikan bahwa pada tahun 2025 jumlah sampah plastik akan melampaui jumlah ikan di laut, jika ditinjau dari beratnya.

Bahkan rasionya akan mencapai 1:3. Sungguh sangat mengkhawatirkan bagi seluruh penghuni alam raya. Jikalau boleh bertanya, siapa yang sepatutnya bertanggungjawab atas berbagai realitas memilukan ini? Dengan penuh berat hati dan tanpa ada niatan untuk menjastifikasi serta mohon maaf terdalam dari relung hati, umat manusia lah yang harus bertanggungjawab atas semua ini.

“Bertanggungjawab”  bukan hanya sekedar merasa “bersalah”. Karena “bertanggungjawab” lebih berkonotasi pada subjek yang aktif, dinamis, dan sadar.

Pada bagian menuju akhir, lelakon pada episode itu kembali menggambarkan betapa manusia tidak hanya berposisi sebagai penyebab dari berbagai kerusakan di alam semesta, termasuk laut. Kak Ros yang memerankan lakon sebagai seorang peneliti pada sebuah balai konservasi sebagai contohnya.

Sebagai salah satu orang yang terlibat dalam upaya konservasi ekosistem laut, suatu hari Kak Ros memperoleh hal yang sangat menggembirakan. Upaya konservasi yang dilakukan telah membuahkan hasil. Berbagai jenis ikan perairan dalam masih dapat ditemukan dan bahkan begitu sangat beragam.

Dalam peragaan lelakon tersebut manusia dengan kebebasan berpikir dan bertindak sebenarnya mempunyai banyak sekali pilihan, termasuk pilihan untuk berbuat kebaikan. Tidak hanya kepada sesama manusia, namun juga kepada seluruh makhluk yang ada di alam semesta.

Seperti yang dilakukan oleh kak Ros dengan mengabidikan diri pada sebuah lembaga konservasi ekosistem laut. Betapa pun telah banyak manusia yang telah melakukan kerusakan di bumi, percayalah masih banyak pula manusia dengan sayap di punggung yang tak terlihat.

Terakhir, ada beberapa teman yang me-replay whatsapp story saya ketika mem-posting beberapa foto serial kartun. Salah satu pertanyaannya adalah mengapa saya suka memposting dan menonton kartun, khususnya Upin & Ipin.

Singkat saja jikalau diperkenankan untuk menjawab. Serial kartun banyak sekali memberikan berbagai nilai moral yang membangun peradaban di alam semesta menuju arah yang lebih baik dan manusiawi. Pastinya dengan sedikit dorongan untuk merefleksikan apa yang kita tonton, maka nilai moral itu akan terlihat begitu jelas terpampang.

Jika kamu penasaran untuk menonton ceritanya kamu bisa klik di bawah ini :

Salam Literasi!!!  Salam Lestari!!! dan tetap jaga laut ya !***

Baca juga: Kehidupan Paus Biru dalam Ekosistem Pelagis

Editor : Annisa Dian N

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan