Sekitar 44 Ribu Penyu Masih Dieksploitasi Setiap Tahun selama Dekade Terakhir, Kemana Fungsi Pengawasan?

penyu

Sebuah studi baru yang diterbitkan oleh para peneliti Arizona State University di Global Change Biology memperkirakan bahwa lebih dari 1,1 juta penyu telah dibunuh secara ilegal dan dalam beberapa kasus juga diperdagangkan antara tahun 1990 dan 2020.

Bahkan dengan adanya undang-undang yang melarang penangkapan dan penggunaannya, setidaknya 44 ribu penyu masih dieksploitasi setiap tahun selama dekade terakhir di 65 negara atau wilayah.

Perburuan, pembunuhan, dan perdagangan hewan dan tumbuhan secara ilegal merupakan salah satu ancaman paling serius terhadap keanekaragaman hayati satwa liar selain krisis iklim.

Meskipun banyak undang-undang yang melarang perdagangan satwa liar di pasar gelap, tetapi industri ini dianggap sebagai salah satu industri gelap yang paling menguntungkan di dunia sehingga keberadaannya masih marak ditemukan.

Penyu tertangkap jaring. / Foto: Paul Hilton / Greenpeace

Hewan terutama spesies yang terancam punah sering dieksploitasi dan dijual untuk diambil kulitnya atau digunakan sebagai obat, afrodisiak, barang antik, makanan, dan artefak spiritual.

Terlepas dari jumlah penyu yang diburu, penelitian ini menunjukkan bahwa eksploitasi ilegal penyu yang dilaporkan menurun sekitar 28% selama dekade terakhir.

Laporan yang menunjukan bahwa eksploitasi ilegal penyu menurun pada dekade terakhir merupakan dampak dari peingkatan aturan perlindungan seperti UU, peningkatan upaya konservasi dan ditambah dengan peningkatan kesadaran bahkan perubahan tradisi lokal.

“Penurunan selama dekade terakhir dapat disebabkan oleh peningkatan undang-undang perlindungan dan peningkatan upaya konservasi, ditambah dengan peningkatan kesadaran akan masalah atau perubahan norma dan tradisi lokal,” kata Kayla Burgher, salah satu penulis studi sebagaimana dilansir dari Science Daily.

Selain sedikit penurunan, para peneliti menemukan bahwa sebagian besar eksploitasi ilegal yang dilaporkan selama dekade terakhir terjadi pada populasi penyu yang besar, stabil, dan beragam secara genetik.

Penyu hijau di Pulau Heron. / Foto: Dean Sewell / Greenpeace

Jesse Senko, salah satu penulis utama studi ini mengatakan, penemuan ini mungkin merupakan hikmah dari tingginya jumlah penyu yang dieksploitasi secara ilegal. Artinya, sebagian besar penyu ini berasal dari populasi yang sehat dan berisiko rendah, yang menunjukkan bahwa, dengan beberapa pengecualian, tingkat eksploitasi ilegal saat ini kemungkinan besar tidak memiliki dampak merugikan yang besar pada sebagian besar populasi penyu di seluruh lautan di dunia.

“Bagaimanapun hasilnya harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Menilai setiap aktivitas ilegal itu sulit, terutama ketika itu menjadi terorganisir atau terkait dengan sindikat kejahatan. Penilaian kami juga tidak mencakup telur atau produk penyu, seperti gelang atau anting-anting yang terbuat dari hewan atau tumbuhan laut. Cangkang penyu yang tidak dapat dengan mudah dikaitkan dengan individu penyu,” kata Senko.

Dalam studi tersebut, para peneliti meninjau data dari artikel jurnal peer-review, laporan media yang diarsipkan, laporan LSM, dan kuesioner online untuk menentukan pandangan komprehensif pada informasi yang ada tentang penyu yang dieksploitasi.

Studi tersebut mengungkapkan pola dan tren tambahan yang dapat membantu dalam menentukan prioritas pengelolaan konservasi. Misalnya, Vietnam adalah negara asal paling umum untuk perdagangan penyu ilegal, sementara China dan Jepang menjadi tujuan hampir semua produk penyu yang diperdagangkan. Demikian pula, Vietnam ke Cina adalah rute perdagangan paling umum selama tiga dekade.

Selama periode studi 30 tahun, 95% penyu yang diburu berasal dari dua spesies yakni penyu hijau dan penyu sisik yang keduanya terdaftar di bawah U.S. Endangered Species Act. Juga, Asia Tenggara dan Madagaskar muncul sebagai hotspot utama untuk pengambilan dan perdagangan penyu ilegal, terutama untuk penyu sisik yang terancam punah, yang dihargai dalam perdagangan satwa liar karena cangkangnya yang indah.

“Penilaian kami merupakan landasan penting untuk penelitian dan upaya penjangkauan di masa depan mengenai eksploitasi penyu ilegal. Kami percaya penelitian ini dapat membantu praktisi konservasi dan pembuat keibijakan memprioritaskan upaya konservasi dan mengalokasikan sumber daya mereka untuk membantu melindungi populasi penyu dari tingkat eksploitasi berbahaya di seluruh dunia, ” ujar Burger.

Tim peneliti mengatakan masih banyak yang harus dilakukan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati global.

“Peningkatan dukungan kepada pemerintah yang kekurangan sumber daya untuk melindungi penyu diperlukan, bersama dengan dukungan bagi masyarakat untuk mempertahankan kesejahteraan manusia dalam menghadapi pembatasan atau larangan eksploitasi penyu. Kita harus mengembangkan strategi konservasi yang bermanfaat bagi manusia dan penyu, ” ucap Senko.***

Baca juga: Seberapa Penting Penyu Bagi Ekosistem Laut?

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan