Sampah Plastik dan Dampaknya bagi Kehidupan Laut

Indonesia merupakan negara bahari yang dimanfaatkan untuk sektor pariwisata. Salah satunya ialah kawasan pantai yang biasanya dijadikan sebagai objek pariwisata.

Biasanya, area yang digunakan untuk sektor tersebut rentan terhadap ancaman pencemaran baik dari aktivitas domestik, industri, tumpahan minyak dari transportasi laut, hingga sampah dari bekas makanan maupun minuman.

Kemudian limbah-limbah tersebut bermuara dari sungai dan berakhir di laut akan bercampur dan mengendap di dasar lautan. Pembuangan limbah ke laut secara berlebihan dapat menjadi masalah besar untuk lingkungan, salah satunya untuk lingkungan laut. Karena mereka menganggap bahwa laut dapat dijadikan pembuangan akhir karena volume air lebih banyak dan dapat mendegradasi benda asing, dengan arti lain laut dapat memulihkan dirinya sendiri (Santosa, 2013 dalam Wardana dan Azzahra, 2022).

Sampah merupakan sisa atau hasil buangan dari suatu produk atau barang yang sudah tidak digunakan atau diperlukan lagi. Sedangkan pengertian sampah laut menurut Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2016 ialah sampah yang berasal dari daratan, badan air, dan pesisir yang mengalir ke laut.

Sampah juga merupakan masalah yang harus dihadapi oleh semua negara, tidak hanya di Indonesia. Pasalnya, di era modern ini hampir semua kemasan dari suatu produk berbahan dasar plastik karena dianggap ringan dan praktis.

Apalagi limbah plastik membutuhkan waktu yang cukup lama agar dapat terurai. Untuk membuat limbah plastik terurai memerlukan waktu puluhan hingga ratusan tahun tergantung ketebalan dan bahannya.

Akibatnya, seiring dengan berjalannya waktu limbah-limbah tersebut menumpuk baik di darat maupun di lautan dapat mengakibatkan pencemaran laut.

Menurut penelitian, sampah laut yang dominan ialah sampah plastik. Hal ini diperkuat dengan penelitian (Browne et al., 2011 dalam Cordova, 2017) bahwa limbah plastik pada habitat laut yang berasal dari kutub khatulistiwa dan garis pantai ke laut dalam.

Pencemaran laut adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam lingkungan laut akibat kegiatan manusia sehingga jumlahnya menurun sampai pada tingkat tertentu yang mengakibatkan lingkungan laut tidak lagi memenuhi baku mutu atau fungsi (PPRI 19/1999 Cordova, 2017). Penyebab pencemaran sampah plastik di laut yaitu pengelolaan pembuangan akhir limbah kurang baik di wilayah pesisir.

Masalah lingkungan ini mengancam ekosistem laut dan dapat menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati laut. Banyak hewan laut mengonsumsi plastik, hal ini terjadi dikarenakan biota laut tidak bisa membedakan antara plastik dengan makanannya, karena menurut mereka plastik merupakan benda asing, sehingga mereka penasaran untuk mencobanya.

Setelah dikonsumsi oleh biota laut, sampah plastik juga dapat mengancam kesehatan fisik maupun gangguan metabolisme, iritasi sistem pencernaan hingga dapat mengakibatkan kematian. Jika hal ini terjadi secara berkala, maka mengakibatkan punahnya biota laut hingga rusaknya ekosistem laut.

Saat kita mengonsumsi seperti ikan, maka kita turut memakan plastik yang sebelumnya dikonsumsi juga oleh ikan. Kandungan plastik memiliki sifat persisten, jika mengendap dalam tubuh biota laut lama-kelamaan akan pindah ke manusia melalui rantai makanan (Wright dkk., 2013; Rochman dkk., 2013; Farrell dan Nelson, 2013 dalam Kalor, dkk, 2021).

Selain itu, limbah tersebut dapat mengancam kerusakan ekosistem mangrove, padang lamun, terumbu karang, kualitas kehidupan pesisir hingga abrasi (UNEP, 2011 dalam Cordova, 2017).

Hal yang dapat kita lakukan ialah mendaur ulang plastik, mengurangi penggunaan kantong plastik dengan menggunakan kantong belanja, dan kesadaran diri sendiri. Selain itu, terdapat juga Peraturan Presiden juga mengatur Nomor 83 Tahun 2018 mengenai Penanganan Sampah Laut.***

Baca juga: Hutan Mangrove dan Padang Lamun Selamatkan Indonesia dari Pemanasan Global

Editor: J. F. Sofyan

Sumber: Situs KKP RI, Wardana, G. A. (2022). PENCEMARAN LAUT (KAJIAN ECOSOPHY DALAM PANDANGAN SEYYED HOSSEIN NASR DAN REFLEKSINYA TERHADAP STRATEGI PENANGGULANGAN PENCEMARAN LAUT DI INDONESIA). Jakarta: PROSIDING KONFERENSI INTEGRASI INTERKONEKSI ISLAM DAN SAINS Vol.4.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan