Kapal Penumpang: Pembawa Potensi Sampah Laut dan Jarang Diperhatikan

Saya tak begitu akrab dengan laut. Sekalipun kota asal saya punya identitas sebagai tempat sungai terpanjang di Indonesia (Sungai Kapuas, Kota Pontianak), waktu yang saya habiskan untuk bermain di sungai masih sangat minim. Saya bahkan bisa mengakui bahwa pengalaman saya dengan laut ataupun sungai tidak begitu kaya.

Lalu tiba lah pengalaman berharga itu. Saya kembali ke Malang menggunakan kapal laut, alih-alih menggunakan pesawat. Harga tiketnya jelas jauh di bawah harga tiket pesawat yang paling bersahabat sekalipun. Perjalanannya memang waktu yang lama. Namun tidak apa, pikir saya. Lagipula saya tidak terlalu terburu-buru untuk segera ke Malang.

KM Bukit Raya namanya, kapal penumpang berbobot 6000 ton. Kapal dengan rute Pontianak-Surabaya yang termasuk sangat langka. Jika beruntung, setidaknya ada dua kali pelayaran dalam sebulan.

Kinii transportasi laut menjadi moda transportasi alternatif yang di pilih karena harga yang terjangkau dengan banyak pilihan layanan sehingga jauh lebih effisien dan effektif.

source : pinterest

Sedikitpun, tidak ada ekspektasi yang terbesit ketika saya menaiki kapal laut. Apalagi hal ini adalah pengalaman pertama saya sejak 20 tahun terakhir. Lagipula, apa yang mau saya harap? Dari satu omongan ke omongan lainnya, saya setidaknya sedikit tahu bahwa kapal laut jelas tak semewah dan seekslusif pesawat dengan kelas ekonomi.

Minim pengalaman berlaut dan minim ekspektasi ketika mencobanya, membuat saya hanya bisa jadi orang normal seutuhnya ketika melangkahkan kaki ke kapal: menempati kasur sesuai dengan nomor yang tertera di tiket, berusaha ramah dengan penumpang lain, tidak membuat masalah, mengikuti peraturan yang ada di kapal, serta yang penting adalah tidak membuang sampah ke laut.

Keadaan normal yang saya coba pertahankan hanya bertahan sementara. Paginya atau pagi pertama saya di atas kapal, saya menyusuri dek bagian samping. Para penumpang lain sudah berkumpul di sana.

Lengkap dengan rokok yang tersulut dan mi wadah yang masih panas. Saya yang barusan sarapan memilih duduk di bangku yang disediakan, mencoba larut dalam lantunan musik yang saya dengarkan melalui headset.

Saya ingat, tak berselang lama saat itu, orang-orang dengan rokok dan mi wadah tadi selesai dengan urusannya masing-masing. Dalam sekejap mata, putung rokok dilempar begitu saja ke arah laut. Tidak cukup seorang penumpang saja, ada penumpang lain yang juga ikut-ikut.

Kali ini tak hanya putung rokok, sterefoam tempat mi wadah tadi juga melayang jatuh ke atas air. Pelakunya bukan hanya anak kecil, remaja dan orang tua juga melakukannya. Saya tersentak. Mata saya menerawang di sepanjang dek kapal.

Ada tempat sampah yang sudah disediakan di sana dan papan peringatan untuk tidak membuang sampah ke laut juga sudah terpasang. Saat itu kebetulan memang tidak ada ABK yang berjaga di sekitar dek. Apa mungkin karena tanpa pengawasan dan penjagaan akhirnya para penumpang itu dengan entengnya membuang sampah ke laut?

Perilaku membuang sampah ke laut adalah hal yang membahayakan. Pada tahun 2018 saja, ada total 3,2 juta ton sampah plastik dibuang ke laut Indonesia. Namanya juga total, berarti sampah sebanyak itu tidak dibuang dalam sekali waktu, namun hasil dari akumulasi selama satu tahun. Akumulasi tadi didapatkan salah satunya dari perilaku penumpang kapal yang membuang sampah ke laut.

Kondisi itu sangat miris, bagi saya. Kapal penumpang yang memuat sampai 1000 penumpang dan berlayar selama beberapa hari di perairan Indonesia, ternyata bisa menyisakan duka bagi lingkungan dan biota laut.

Bayangkan saja, itu baru satu jam pertama saya berada di dek kapal. Sampah melayang bebas ke arah laut tanpa rasa bersalah sedikit pun. Kondisi ini tentu bisa berkali lipat mencengangkan jika : dijumlah dengan penumpang yang membawa makanan dan minuman ke dek dan membuangnya ke laut, lalu dikali dengan lama pelayaran, lalu dikali lagi dengan total lalu lintas laut yang terjadi selama satu tahun. Saya tak sanggup membayangkannya.

Kapal penumpang, yang besar dan pasti selalu berpenumpang itu, harusnya menjadi tempat yang mengampanyekan kebersihan laut. Penumpangnya harus diberikan edukasi secara serius. Para awaknya harus berjaga secara ketat. Peraturannya juga harus dibuat ketat.

Kapal penumpang dengan dek yang luas merupakan tempat paling rawan munculnya sampah-sampah laut baru. Para penumpang bisa berkerumun di sana, membuang sampah semau mereka. Jumlahnya mungkin hanya sekian gram putung rokok, sekian buah wadah mi, satu-dua botol plastik, namun lambat laun jumlah ini membesar dan membahayakan.

Mirisnya, perilaku membuang sampah ke laut ini bukan hanya dilakukan para penumpang. Beberapa kali, dalam waktu dua tahun terakhir, setidaknya kita bisa menemukan informasi mengenai ABK yang membuang sampah ke laut. Padahal, mereka adalah orang yang harusnya paling paham tentang apa saja yang tidak boleh dilakukan terhadap laut.

Kapal penumpang ini saya lihat dapat menjelma menjadi potensi ancaman terhadap kebersihan laut. Bentuknya yang besar dan sibuk dengan aktivitas di dalamnya, seringkali luput dari pengawasan dan luput untuk mengawasi pula.

“Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat

Tampaknya jadi pepatah yang tepat menggambarkan kondisi ini. Namun, tanpa bermaksud mengindahkan ‘para semut’ yang terkait dengan kebersihan laut, ‘gajah’ juga seharusnya bisa dikawal sebaik mungkin. Kapal penumpang adalah gajah itu. Sebagai transportasi umum, mobilitas yang jauh dan lama menciptakan peluang bagi para pembuang sampah tak bertanggungjawab.

Untuk itu, pemerintah harus mulai melihat kapal penumpang sebagai tempat strategis mengampanyekan kebersihan laut. Tempatnya yang selalu ramai akan orang-orang akan jadi sarana komunikasi paling tepat untuk mengedukasi. Namanya juga edukasi dan sarana komunikasi, maka baik itu pihak penyedia layanan kapal dan pemerintah harus bisa merumuskan program yang tepat.

Seperti yang saya sebutkan di atas, sekadar menyediakan fasilitas tempat membuang sampah dan papan peringatan ternyata tidak cukup. Harus ada upaya lebih dari itu. Selanjutnya, para pemangku kepentingan bisa mendiskusikan hal ini lebih lanjut.

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan