Mengapa Perbudakan Modern di Laut Terus Terjadi? Ini Penyebabnya!

Siapa bilang perbudakan sudah berakhir? Sampai saat ini, perbudakan masih terus berlangsung. Salah satu bukti konkret adanya perbudakan modern terlihat dari kehidupan para pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan. Dalam laporan berjudul “Seabound: The Journey to Modern Slavery on the High Seas”, Greenpeace Asia Tenggara menyebutkan bahwa ada banyak nelayan migran yang mendapat perlakuan tidak manusiawi selama bekerja di kapal perikanan jarak jauh (distant water fishing).

Bukan hanya pemotongan gaji akibat berutang kepada para perantara dan agen tenaga kerja yang curang, para nelayan ini juga harus terisolasi di laut selama berbulan-bulan dengan jam kerja yang berlebihan, makanan yang tidak layak, sampai penganiayaan fisik yang sebagian berakibat pada kematian.

Menurut Badan Perikanan Taiwan, per Juni 2019, sekitar 21.994 nelayan migran dari Indonesia dan 7.730 dari Filipina dilaporkan bekerja di kapal penangkap ikan perairan jauh Taiwan. Laporan tersebut menyebutkan bahwa ada 34 nelayan migran Indonesia dari 13 kapal penangkap ikan asing yang melaporkan kondisi kerja paksa.

Empat keluhan utama berupa penipuan yang melibatkan 11 kapal penangkap ikan asing; pemotongan gaji yang melibatkan 9 kapal penangkap ikan asing; lembur berlebihan yang melibatkan 8 kapal penangkap ikan asing; serta penganiayaan fisik dan seksual yang melibatkan 7 kapal penangkap ikan asing.

Berikut ini adalah kesaksian salah satu nelayan migran atas kondisi yang dialami para nelayan migran selama bekerja di kapal ikan berbendera asing.

Lantas, apa yang mengakibatkan perbudakan modern di laut masih terus terjadi? Berikut alasannya:

  • Banyak nelayan tergiur janji palsu para penyalur atau agen tenaga kerja

Dalam Liputan Buruh Migran Indonesia, disebutkan bahwa rata-rata para nelayan migran memutuskan untuk bekerja sebagai anak buah kapal karena tuntutan ekonomi dan lowongan kerja yang sulit di dalam negeri. Berbekal pengalaman yang minim, mereka pun mendaftar ke berbagai agen penyalur tenaga kerja yang menjanjikan pekerjaan yang layak dengan gaji yang dirasa cukup banyak. 

Sayangnya, banyak dari mereka yang malah terjebak dalam tindak pidana perdagangan orang dan kerja paksa di kapal-kapal berbendera asing. Dalam beberapa kasus, para pekerja bahkan diminta untuk menandatangani kontrak yang ditulis dalam bahasa lain, yang tidak dapat dipahami, sehingga mereka sama sekali tidak tahu isi perjanjian tersebut.

  • Penurunan populasi ikan yang sangat cepat

Berkurangnya populasi ikan di pesisir menuntut kapal untuk mencari ikan lebih jauh ke tengah laut sehingga luput dari pemantauan tim pengawas. Kegiatan ini memungkinkan perusahaan pencari ikan untuk menghasilkan biaya operasional yang lebih tinggi sehingga berusaha menekan biaya tersebut dengan cara mengeksploitasi para nelayan migran.

  • Alih muat di tengah laut

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia menjelaskan bahwa praktik perbudakan modern di laut tidak bisa dipisahkan dari kejahatan perikanan ilegal. Hasil investigasi menunjukkan kalau sebagian besar kapal ikan yang terkait praktik kerja paksa juga sering mematikan sistem pemantauan kapal, menargetkan hiu untuk diambil siripnya, dan melakukan alih muat di tengah laut.

Alih muat di tengah laut (transshipment at seas) merupakan kegiatan memindahkan tangkapan ikan, bahan bakar, dan sumber daya lainnya dari satu kapal ke kapal lain yang dilakukan di tengah laut. Kegiatan ini memungkinkan para nelayan bekerja lebih lama dari biasanya.

Isolasi di laut yang terjadi selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun inilah yang membuat para nelayan tidak mungkin melarikan diri sehingga mereka tetap bekerja dalam kondisi sesulit apa pun. Apalagi, kapal-kapal yang beroperasi di tengah laut juga berada jauh dari jangkauan hukum sehingga kerja paksa sangat mungkin terjadi.

Berdasarkan analisis pengaduan kasus, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat sejak 2015 sampai saat ini ada sedikitnya 11 ABK asal Indonesia yang menjadi korban kerja paksa dan meninggal dunia di atas kapal ikan berbendera asing.

  • Kurangnya pengawasan atau dukungan pemerintah

Pemerintah seyogianya bertanggung jawab melindungi rakyatnya, meskipun para nelayan ini tengah bekerja di luar wilayah teritorial laut Indonesia. Greenpeace Asia Tenggara menilai bahwa perbudakan modern yang terjadi di laut ini membuktikan bahwa pemerintah Indonesia gagal mengelola proses migrasi pekerja secara efektif sehingga hak-hak nelayan migran tidak terpenuhi.

Merujuk pada laporan investigasi SBMI dan Greenpeace pada Maret 2020 yang berjudul “Jeratan Bisnis Kotor Perbudakan Modern di Laut”, anak buah kapal asal Indonesia sangat rentan mengalami sebelas jenis pelanggaran Konvensi ILO terkait kerja paksa.

Padahal, Pemerintah Indonesia sudah memiliki undang-undang yang lebih maju untuk melindungi mereka, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), pengganti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Pelindungan TKI di Luar Negeri.

Bagaimana Upaya Pemerintah dalam Mengatasi Perbudakan Modern di Laut?

Menurut Tashryn Mohd Shahrin, peneliti ASEAN Human Rights Policy Researcher for Greenpeace Southeast Asia, Asia merupakan rumah bagi 68 persen kapal penangkap ikan aktif dunia. Sayangnya, baik nelayan migran maupun pemerintah masih melihat kekerasan yang terjadi di kapal ikan berbendera asing tersebut sebagai kejahatan biasa, bukan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. 

Oleh karena itu, Greenpeace Asia Tenggara menilai pentingnya peran ASEAN dalam menangani isu hak asasi manusia di industri perikanan sehingga negara-negara anggota ASEAN, khususnya Indonesia dan Filipina, perlu menerapkan kebijakan konkret untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan dan lingkungan, serta mengambil langkah yang tepat untuk menangani diskriminasi tingkat tinggi yang terjadi di kapal perikanan jarak jauh.

Inilah yang melandasi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Greenpeace Indonesia untuk secara tegas mendesak pemerintah agar segera bertanggung jawab menyelesaikan dan memenuhi seluruh hak para nelayan migran beserta keluarga mereka, bersikap lebih tegas kepada seluruh kapal ikan asing yang mempekerjakan nelayan migran asal Indonesia.

Penting melakukan pengawasan kapal perikanan jarak jauh secara global dan segera mengefektifkan kerja-kerja Timwas Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk mengawasi implementasi UU No. 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Jika upaya-upaya tersebut dilakukan, bukan tidak mungkin jika perbudakan modern di laut bisa dihapuskan!

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan