Sampah: Pasang Surut Arus Kebangkitan Ekowisata Bahari

Rutinitas hiruk-pikuk perkotaan tidak diragukan lagi menjadi salah satu penyumbang peningkatan angka stress yang dirasakan masyarakat. Kemacetan, kebisingan mesin kendaraan bermotor, polusi udara hingga kelebihan populasi manusia merupakan beberapa permasalahan lumrah di wilayah perkotaan.

Tak mengherankan jika kebutuhan akan wisata pun terus meningkat seiring pergerakan zaman. Berwisata diyakini menjadi obat mujarab penawar kebosanan akan aktivitas sehari-hari. Hal ini juga didukung dengan keseriusan Pemerintah Indonesia melalui Program Nawa Cita untuk Pembangunan Kepariwisataan.

Upaya Pemerintah mengangkat kepariwisataan menjadi salah satu sumber pendapatan negara terus dilakukan. Berbagai pilihan jenis wisata ditawarkan, mulai dari wisata kebudayaan hingga wisata alam. Dari dataran tinggi (pegunungan) hingga dataran rendah (pesisir laut).

Ada hal unik yang terjadi pada minat wisata masyarakat di era digital. Jika dahulu, anak muda dengan bangga pergi ke pusat perbelanjaan (mall). Mengikuti perkembangan media sosial dan teknologi, masyarakat pada akhirnya cenderung lebih menyukai untuk melalangbuana mengunjungi lokasi wisata alam di pelosok negeri. Sehingga wisata dengan label ekowisata (ecotourism) terus bermunculan.

Melimpahnya jumlah pulau di Indonesia adalah salah satu penyebab menjamurnya wisata berbasis pantai. Siapa yang tidak tergiur untuk merasakan kenikmatan hembusan angin khas pesisir pantai hingga warna-warni terumbu karang.

Namun ada permasalahan yang perlu direnungi dibalik keindahan laut. Lingkungan pesisir pantai sangatlah rentan terhadap pengaruh fisik diantaranya abrasi, berkurangnya biodiversitas hingga yang sering ditemui, yaitu sampah.

Lautan Sampah, Salah Siapa?

Gambar: Beragam Sampah di Lokasi Ekowisata Bahari
Gambar: Beragam Sampah di Lokasi Ekowisata Bahari (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Sudah berapa kali kita melihat dan mendengar banyaknya sampah berserakan di lautan? Entah itu di bibir pantai hingga yang menjerat binatang laut (organisme akuatik). Bahkan sampah juga ditemukan pada ekosistem terumbu karang yang notabenenya hidup di dasar laut.

Ya, sampah pun juga ikut menyelami lautan. Sayangnya, sampah-sampah di lautan sebagian besar adalah imbas dari adanya pariwisata. Sehingga pernyataan bahwa Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik nomer dua tertinggi di dunia tidak perlu diragukan lagi kebenarannya.

Jika selama ini kita dengan mudahnya menemukan artikel “persampahan” laut di internet. Kali ini pembahasan akan sedikit berbeda. Mengapa sampah-sampah itu terus menggunung? Sebelumnya wajib hukumnya mengetahui makna wisata berbasis pantai (ekowisata bahari).

Ada tiga pilar dalam pengelolaan ekowisata bahari, yaitu ekonomi, sosial-budaya dan ekologi. Ekowisata mengharuskan masyarakat lokal untuk aktif berpartisipasi dalam pengelolaan lokasi wisata. Dengan harapan dapat merasakan manfaat dari segi ekonomi. Mengajak masyarakat untuk mau terlibat merupakan poin dari sosial-budaya.

Sumber: https://www.pixabay.com/

Namun, ironis karena sisi ekologi sering dikesampingkan. Bukan hal yang mengagetkan jika gelar ekowisata hanya sebatas nama. Karena permasalahan sampah di kawasan ekowisata bahari seperti tidak ada habisnya. Hal ini merupakan kegagalan implementasi konsep ekowisata. Lalu apa saja usaha yang selama ini telah dilakukan untuk menangani sampah di lautan?

Sudah berapa kali kamu mengikuti kegiatan bersih-bersih pantai? Sekali, dua kali atau sudah berkali-kali? Namun perlu kita sadari, sebenarnya kegiatan bersih-bersih pantai hanyalah sebatas seremonial belaka. Benar? Tidak bisa mengelak jika kegiatan bersih-bersih pantai hanya dilakukan pada event tertentu kan.

Jadi apa yang harus dilakukan? Pengembangan wisata perlu perencanaan dan manajemen yang baik. Mulai dari regulasi yang tepat. Hingga terkait kerja sama seluruh stakeholders yang terlibat. Keberhasilan ekowisata ditentukan oleh pemenuhan ketiga poin pilar ekowisata. Tidak boleh kurang satu saja.

Tenang dulu, tidak salah ikut kegiatan bersih-bersih pantai. Malah itu kegiatan yang sangat positif. Namun perilaku  kesadaran  diri untuk mengurangi sampah dan penanganan sampah di lautan juga penting!

Editor : Annisa Dian N

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan