Pulau Tunda, Pulau Indah Korban Struktural Pengelolaan Kawasan dan Produsen Sampah Plastik

pulau tunda

“Ditengah dinamika pariwisata dan keseharian warga, sampah plastik menjadi jejak nyata dari aktivitas manusia di Pulau Tunda.”

Sebagai pulau kecil dengan luas 289,79 Ha, ekosistem pesisir dan perairan di kawasan Pulau Tunda bagai surga kecil bagi mereka yang membutuhkannya.

Dengan keberadaan kawasan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun sebagai satu kesatuan, kawasan ini terdiri dari rangkaian ekosistem yang penting bagi kelestarian kawasan pesisir. Namun dengan kondisi pengelolaan yang belum ideal, kelestarian menghadapi ancaman dari jejak aktivitas manusia tertinggal begitu saja.

Dengan jumlah masyarakat sebanyak 1.115 orang penduduk, sebanyak 80% warga di Pulau Tunda berprofesi sebagai nelayan tradisional skala kecil. Selain menjadi nelayan, sebagian lagi berprofesi sebagai buruh tani, pedagang, dan juga penggiat pariwisata.

Spot sonorkeling di Pulau Tunda. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Sebagian warga yang merupakan pemuda lokal, memanfaatkan keindahan pulau dan kawasan perairan di Pulau Tunda sebagai destinasi wisata pantai dan bawah laut.

Pulau Tunda biasanya dikunjungi oleh para wisatawan yang berasal dari Jakarta, Lampung, dan tentu saja Banten di saat akhir pekan dan musim pancing.

Meski dikenal sebagai negara maritim, hampir seluruh provinsi yang telah ditetapkan oleh negara Indonesia memiliki kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil  yang berpotensi untuk menjamin hajat bagi warganya.

Namun di sisi lain, Indonesia juga menjuarai peringkat ke 2 sebagai  penyumbang sampah plastik ke laut lepas setelah China dengan jumlah 0,48-1,29 MM/tahun  dengan perbandingan 1 MMT (million metric ton) = 1 miliar kg.

Dengan minimnya penanganan sampah dan infrastruktur di Pulau Tunda, hal tersebut nampaknya menjadikan pulau ini bisa saja ikut menambah jumlah sampah yang akhirnya terbawa hingga laut lepas.

Berdasarkan pada hasil dari kegiatan ‘Ekspedisi Pembela Lautan 2022’, kondisi bawah laut di perairan Pulau Tunda pun tak luput dari jejak aktivitas manusia di sekitarnya.

Sampah plastik di bawah laut Pulau Tunda. / Foto: Alvi Apriayandi / Greenpeace

Jejak-jejak kebutuhan rumah tangga hingga pariwisata banyak terlihat di sana sini dengan jelas sejak kita masih berada di bibir pantai dimana keberadaan botol plastik, kemasan makanan, kemasan minuman, bumbu dapur instan, minyak goreng, hingga popok dan pakaian bekas tergeletak atau terbawa arus hingga akhirnya tiba di pulau ini.

Dan tentu saja, kami juga menemukan jenis-jenis sampah plastik di bawah laut serupa dengan yang kami temukan di daratan.

Penyelam menunjukan sampah plastik yang ada di bawah laut. / Foto: Alvi Apriayandi / Greenpeace

Berbicara tentang penanganan sampah di lautan, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2018 sebenarnya telah memuat adanya urgensi mengenai penanganan sampah yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup pada ekosistem perairan.

Bukan hanya membahayakan kesehatan manusia, namun juga pada fakta bahwa kondisi sampah plastik kini telah sampai pada kenyataan bahwa telah ditemukan kandungan plastik dalam bentuk partikel berukuran makro dan nano di kawasan perairan yang menjadi sumber air minum bagi masyarakat, sehingga bukan hanya berbahaya bagi ekosistem namun juga bagi kesehatan bagi manusia itu sendiri.

Beberapa tahun belakangan, kita tentu mulai menyadari bahwa ada banyak gerakan lingkungan yang melakukan aktivitas bersih-bersih sungai dan pantai sebagai aktivitas publik, sebagai upaya penyadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan sampah plastik.

Namun, apakah cara tersebut benar-benar efektif untuk mengurangi permasalahan sampah yang terus berkembang? Apalagi dengan jumlah populasi manusia yang terus bertambah dengan segala gaya hidupnya.

Sampel sampah plastik yang diangkat ke permukaan dari bawah laut. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Dalam PERPRES RI No.83 Tahun 2018, kita bisa melihat bahwa permasalahan sampah sebenarnya adalah permasalahan struktural yang membutuhkan penanganan secara komperhensif, terpadu, dan tentunya dilakukan sesegera mungkin.

Selain penguatan pada perencanaan, penganggaran dan pengorganisiran dalam mengelola kebutuhan, keberadaan infrastruktur pengelolaan sampah juga dibutuhkan untuk menjadi bagian dalam rencana pembangunan daerah atau kawasan.

Karena berasal dari kebutuhan pasar dan industri dalam skala besar dengan jaringan luas, tentu saja, masalah penanganan sampah membutuhkan kerjasama yang baik dari semua pihak. Baik itu pemerintah, perusahaan sebagai produsen, dan tentu saja masyarakat sebagai konsumen.

Sebagai pulau kecil dengan keterbatasan akses, penanganan sampah di Pulau Tunda sebenarnya bisa dimulai dengan mengadakan fasilitas untuk pengolahan sampah.

Mulai dari keberadaan TPS, bank sampah terpadu yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat, hingga bantuan akses jaringan oleh pemerintah setempat untuk bisa memindahkan atau mengelola sampah di tempat lain di daratan.

Sayangnya ketiga hal tersebut bukanlah apa yang kami temukan di Pulau Tunda, melainkan keluhan para warga dan  para pemuda yang kecewa atas peran pemerintah daerah dalam mengelola permasalahan disana.***

Baca juga: Melihat Kondisi Pulau Tunda dari Sudut Pandang Internasional, Seperti Apa Ya?

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan