Cerita Ekspedisi Pembela Lautan – Bagaimana Nasib Pulau Kecil di Indonesia ?

pulau tunda

Halo Pembela Lautan!

Pada bulan Juli lalu kami telah melakukan perjalanan Ekspedisi Pembela Lautan, program ini merupakan kegiatan tahunan yang dirancang oleh para relawan dan aktivis Ocean Defender Greenpeace Indonesia untuk mengeksplorasi masalah yang terjadi di wilayah pesisir dan lautan kita.

Tahun ini kami melakukan perjalanan ke Pulau Tunda, pulau kecil ini tidak jauh dari Ibukota Jakarta. Pulau Tunda pada dasarnya memiliki berbagai potensi pengembangan yang prospektif yang dapat menyumbangkan pendapatan bagi daerah dan membantu dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dermaga utama di Pulau Tunda. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Terkait hal tersebut, juga banyak terungkap berbagai permasalahan yang ada, ancaman tersebut terdiri dari kerusakan ekosistem laut secara signifikan, mulai dari pesisir, mangrove, lamun dan terumbu karang. Tidak hanya itu masalah sosial dan kesejahteraan juga menjadi masalah yang tidak luput dari perhatian. 

Secara geografis, Indonesia memiliki pulau-pulau kecil yang begitu banyak. Kita ambil contoh satu di Pulau Tunda, bagaimana nasib di pulau kecil ini : 

1. Ekosistem Laut yang Terancam

Salah satu potret kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Tunda. / Foto: Alvi Apriayandi / Greenpeace

Pulau Tunda memiliki ekosistem laut yang cukup lengkap dan masyarakat juga menggantungkan sebagian besar pendapatan pada sektor pariwisata dan perikanan. 

Secara keseluruhan kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Tunda termasuk dalam kategori sedang sampai buruk hingga menyebabkan terganggunya proses alami dari ikan-ikan penghuninya. Diduga karena aktivitas pariwisata dan penambangan pasir menyebabkan kondisi kematian pada karang. Selain itu, krisis iklim juga mempengaruhi kondisi kimia air laut yang juga berhubungan dengan kesehatan ekosistem terumbu.

Mangrove di sisi selatan Pulau Tunda. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Sama halnya dengan kondisi pada pesisir pantai yang mulai terkikis oleh abrasi dan kenaikan muka air laut, beberapa kondisi pantai dengan wilayah mangrove yang masih lebat masih tergolong baik . 

Selain itu kondisi ekosistem lamun juga memprihatinkan, di sisi selatan Pulau Tunda lamun memiliki substrat pasir berlumpur dan perairan yang cenderung keruh ditutupi oleh banyak sampah plastik .

2. Akses Pelayanan Dasar Masih Minim

Seorang ibu menggendong bayi di area pemukiman di Pulau Tunda. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Pulau Tunda merupakan pulau kecil yang masuk pada daerah administratif Kabupaten Serang. Kabupaten Serang merupakan kawasan pelabuhan dan juga diperuntukan menjadi kawasan industri. 

Bagaimana bisa sebuah pulau kecil ini masih memiliki akses listrik yang terbatas. Listrik masih bersumber dari genset, mesin diesel yang berbahan dasar solar ini hanya bisa digunakan untuk memberikan energi listrik di jam 6 pagi dan jam 6 malam saja. 

Sisi barat Pulau Tunda. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Tidak hanya itu akses internet juga sangat terbatas, hanya beberapa provider saja yang terjangkau. Disusul dengan layanan kesehatan yang hanya ada puskesmas dengan tenaga medis yang terbatas.

Sarana pendidikan di Pulau Tunda juga masih menjadi masalah, dimana fasilitas dan prasarana sekolah yang terbatas dan juga kurangnya tenaga pengajar di sekolah. Hal ini memberikan definisi bahwa pulau ini relatif kurang berkembang dan sejahtera. 

3. Masalah Pengelolaan Sampah 

Sampah terlihat berserakan di permukaan air di dermaga Pulau Tunda. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Masalah sampah dan limbah merupakan hal yang sangat rumit di jumpai di setiap pulau-pulau kecil. Di Pulau Tunda sendiri. Pengelolaan sampah di Pulau Tunda masih bersifat tradisional dimana sampah hanya dikumpulkan di satu tempat penampungan sampah kemudian dibakar.

Lingkungan sekitar pulau juga tergolong kotor karena pengelolaan sampah dan kesejahteraan masih sangat minim. Hal ini juga tercermin dari kondisi ekosistem laut mulai dari mangrove, lamun dan terumbu karang di temukan banyak sampah plastik yang tersangkut.

Sampah terlihat berserakan di salah satu pantai Pulau Tunda. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Pada rangkaian kegiatan ekspedisi pembela lautan ini, kami juga melakukan pembersihan pantai dan di bawah laut sambil audit merk. Kami menemukan sejumlah brand besar seperti Mayora, Wingsfood, Nestle dan Unilever masih mendominasi. 

Ditengah perkembangan pembangunan dan aktivitas pariwisata, ragam persoalan pesisir seperti kerusakan ekosistem, pencemaran lingkungan, degradasi habitat, ekploitasi sumber daya alam, erosi pantai, perubahan peruntukan pembangunan kawasan konservasi lindung merupakan realitas krisis ekologi yang terjadi di Pulau Tunda. 

Kewenangan pengelolaan daerah perlindungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daratan dan perairan harus di perhatikan lebih oleh pemerintah daerah kabupaten/kota sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 ayat (1) Permen KP No 17 Th 2008. ***

Baca juga: Tokoh Pendidikan Pulau Tunda: “Anak-anak Harus Semangat Seperti Saya!”

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan