Pakaian Bekas, Tren Fashion yang Mampu Mengurai Sampah Global

Apa yang kita nilai bila ada seseorang terlihat cuek bahkan bangga memakai pakaian bekas dalam kesehariannya. Walau kebanyakan orang pasti merasa risih, namun tidak bagi segelintir orang yang lebih memilih pakaian bekas sebagai alternatif fashion-nya.

Secara sederhana ada beberapa alasan orang lebih memilih memakai pakaian bekas yang layak pakai, seperti untuk kebutuhan sekali pakai, sayang dengan barang bagus yang murah serta barang kualitas original dengan harga yang sangat terjangkau.

Suasan kawasan penjualan pakaian bekas di Kota Banda Aceh. / Foto: Ratno Sugito

Mereka menyukai belanja baju bekas karena bisa mendapatkan barang bagus dengan harga yang lebih murah. Sebagaian orang memilih lebih baik pakaian bekas tapi asli, daripada pakaian baru tapi tiruan alias KW dan untuk bergaya itu tak perlu dengan biaya mahal.

Aktivitas berburu barang bekas semakin populer dalam beberapa tahun terakhir. Pakaian impor menawarkan harga murah, kualitas yang bagus, serta membantu mengurangi limbah tekstil. Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan di balik fenomena yang digandrungi anak muda saat ini.

Pada awalanya, alasan finansial yan melatarbelakangi orang untuk berburu pakaian bekas, namun seiring waktu banyak orang memburu pakaian bekas dengan alasan lain, seperti nilai sejarah dan usia dari pakaian itu sendiri.

Dulu mungkin membeli baju bekas karena alasan ekonomi. Membeli baju bekas sering disebabkan karena ketidakmampuan membeli baju baru yang tentu harganya lebih tinggi. Namun zaman telah berubah, membeli baju bekas menjadi sebuah tren dan pilihan gaya hidup.

Secara umum ada dua istilah dalam perburuan pakaian bekas ini, yang pertama adalah thrifting sebuah istilah berasal dari kata thrift yang berarti penghematan. Dan “preloved” yaitu baju bekas yang dijual secara personal dan biasanya baju yang dijual pun kondisinya masih bagus karena hanya sekali atau beberapa kali pakai saja.

Istilah thrift shop dengan preloved sering kali dianggap sama. Memang keduanya sama-sama menjual barang atau baju bekas. Tetapi, pemaknaan yang sesungguhnya memiliki perbedaan, terkadang baju “preloved” bahkan ada yang bernilai lebih tinggi dari harga aslinya karena memiliki sejarah atau keunikan tertentu.

Pakaian bekas yang layak pakai di pajang depan toko di kawasan pasar gampong Baru Kota Banda Aceh. / Foto: Ratno Sugito

Sejarah awal penjualan barang bekas, tren berburu barang bekas kini sudah ada sejak lama, dikutip dari ussfeed.com, aktivitas ini dimulai sejak abad ke-18. Pada saat revolusi industri, pakaian memungkinkan untuk diproduksi secara massal, sehingga  masyarakat saat itu mengunakan pakaian hanya untuk satu kali pakai dan langsung buang (disposable).

Lalu krisis ekonomi yang terjadi di Amerika pada tahun 1920, berdampak pada awal perkembangan budaya thrifting, banyak orang yang kehilangan pekerjaan, hingga tidak mampu membeli pakaian baru dan mereka memilih belanja baju bekas di thrift store sebagai alternatifnya.

Tahun 90-an menjadi awal masyarakat menjadikan pakaian bekas menjadi tren fesyen. Dimana seorang vokalis band Grunge, Kurt Cobain mengombinasikan ripped jeans, kemeja flanel dan sering memakai baju secara bertumpuk. Pakaian tersebut merupakan hasil thrifting. Karena itulah, para pengikut vokalis tersebut menjiplak gaya berpakaian sang idola.

Dan hingga saat ini, banyak orang di seluruh penjuru dunia meluai membeli pakaian-pakaian bekas layak pakai ini sebagai salah satu alternative dalam fesyen nya. Dan semoga saja langkah kecil dalam berbusana ini dapat menekan jumlah sampah tekstil di seluruh dunia.***

Baca juga: Hari Pantang Melaut, Kearifan Lokal Masyarakat Aceh untuk Kelestarian Ekosistem Laut

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan