Menjaga Laut Sehat, Menyehatkan Mental Kita

Sebagai orang yang tinggal di daerah pesisir, sangat dekat dengan kawasan Spermonde – kawasan dengan 121 pulau yang membentang dari Takalar, Makassar, Maros, Pangkep dan Barru – saya hanya bisa menikmati pesisir kota Makassar saja.

Biasanya, berkunjung ke pesisir seperti tempat rekreasi di Makassar paling untuk mandi, menikmati sunset, hingga sekadar jalan-jalan di pinggir pantai. Pengalaman menyusuri berbagai pulau kecil sangatlah telat yang saya rasakan.

Tahun 2017 menjadi awal perjumpaan terhubung dengan pulau kecil. Berawal dari kegiatan pengabdian, saya bersama teman-teman dari kampus yang sama melakukan sebuah ekspedisi untuk mengabdi di pulau kecil.

Pulau Jampea, sebuah pulau kecil dengan luas sekitar 172 km2 merupakan gugusan pulau-pulau kecil di Kabupaten Selayar menjadi awal saya jatuh cinta dengan kehidupan masyarakat pulau kecil.

Dari Makassar, perjalanan harus ditempuh dengan menggunakan kapal sabuk nusantara untuk sampai ke Benteng, ibukota Kabupaten Selayar.

Dari situ harus menempuh perjalanan yang normalnya 8 jam dengan menggunakan kapal kayu, lantaran ada masalah pada mesin, harus ditempuh hingga 12 jam lamanya untuk sampai di Pulau Jampea. Kurang lebih selama 10 hari saya tinggal dan melakukan berbagai kegiatan.

Pemandangan Pulau Jampea, Kabupaten Selayar saat melakukan kegiatan di sana tahun 2017. / Foto: Muhammad Riszky/Tim ENJ UNM

Untuk pertama kalinya, saya merasakan menaiki berbagai jenis kendaraan laut selama perjalanan baik pulang dan pergi. Menaiki kapal besi Sabuk Nusantara, kapal kayu berdampingan dengan 3 ekor sapi, keseruan menaiki bagang dengan duduk di pinggirnya hingga menaiki perahu kecil berkeliling di sekitaran pulau.

Menjalani kehidupan di pulau kecil dengan segala keterbatasan, berjumpa dengan keramahan warga hingga menikmati sunset di dermaga, ditemani dengan segelas kopi sambil mendengar alunan musik fourtwnty, sungguh! Itu sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan.

Kondisi Laut Hari Ini

Berawal dari pengalaman di Pulau Jampea, saya kemudian beberapa kali melakukan perjalanan di pulau kecil hingga pengalaman itu juga yang sampai sekarang mengantarkan bekerja pada isu laut.

Namun cerita di atas tidak melulu soal keindahan dan segala hal yang positifnya saja. Saat ini kondisi laut sedang tidak baik-baik saja!

Persoalan krisis iklim, sampah plastik di laut, penangkapan ikan secara destruktif hingga kebijakan yang tidak berpihak terhadap laut terhadap nelayan, perempuan, dan anak di pesisir dan pulau kecil.

Industri ekstraktif di laut dan pulau kecil menjadi ancaman nyata keberlanjutan ekosistem laut dan kehidupan masyarakat. Di Spermonde, ancaman seperti tambang pasir laut dan proyek Makassar New Port telah memberikan dampak buruk bagi nelayan pulau kecil dan pesisir kota Makassar.

Di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara ancaman dampak buruk terus menghantui dengan keberadaan tambang emas PT TMS. Begitupun di pesisir Luwu Timur, pulau-pulau kecil di Sulawesi Tenggara, hingga Maluku Utara yang dikepung industri nikel dan akan terus terjadi di tengah industrialisasi nikel di Indonesia.

Terancamnya eksistensi pulau kecil akibat kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim, abrasi yang semakin parah, cuaca yang tidak menentu menyulitkan nelayan melaut hingga kondisi terumbu karang yang semakin menurun.

Data dari LIPI tahun 2017 menunjukkan jika kondisi karang yang masuk kategori yang sangat baik hanya sekitar 6,39%. Sebesar 35,15% masuk kategori kondisi buruk. Belum lagi misal data dari berbagai penelitian di beberapa daerah mengenai miris terumbu karang.

Jika melihat dari sektor kebijakan, beberapa aturan yang dikeluarkan dirasa tidak secara penuh mendukung keberlanjutan ekosistem laut dan kehidupan masyarakat di pesisir dan pulau kecil.

Bersama Aliansi Save Sangihe Island pada Sidang Pemeriksaan Setempat, Maret 2022. / Foto: Jaring Nusa KTI

Perppu Cipta Kerja yang menyasar sektor kelautan seperti UU PWP3K berdasarkan Publikasi Jaring Nusa KTI dapat mengancam perubahan status alokasi ruang laut, belum lagi masalah Penamanan Modal Asing (PMA) yang dapat mempertajam konflik pemanfaatan pesisir dan laut.

Belum lagi RUU Daerah Kepulauan yang dalam beberapa diskusi belum mengakomodir mengenai konservasi. Selain itu RUU KSDAHE yang dalam pembahasan NGO dengan Komisi IV DPR RI mengkritik jika isi naskahnya masih bias darat, hanya sedikit yang menyentuh mengenai isu pesisir, laut dan pulau kecil.

Berbagai persoalan tersebut tentu menjadikan pesisir, laut dan pulau kecil Indonesia sangat rentan terhadap degradasi lingkungan hidup yang tentu mengarah terhadap eksistensi masyarakat di pulau kecil.

Jaga Laut Sehat, Sehatkan Mental

Sadar atau tidak, ternyata memiliki keterhubungan dengan alam ternyata dapat meningkatkan kondisi mental kita. White bersama 16 peneliti lainnya melakukan sebuah penelitian untuk mengungkap hubungan keterhubungan dengan alam dan kesehatan mental di 18 negara.

Penelitian yang dipublikasikan tahun 2021 itu menunjukkan jika terhubung dengan laut secara positif diasosiasikan dengan kesejahteraan psikologis dan diasosiasikan secara negatif dengan tekanan mental.

Bagi masyarakat kota, yang memiliki tingkat tekanan mental yang lebih tinggi, terhubung dengan pesisir dan laut dapat menjadi salah cara untuk mengurangi tekanan mental.

Berdasarkan penelitian dari Bosch dan Meyer-Lindenberg tahun 2019 mengungkap jika masyarakat perkotaan mengalami masalah kesehatan mental 34% lebih besar dibandingkan masyarakat yang tinggal di pedesaan.

Michele, professor psikologi dari Vassar College menyarankan kita untuk meluangkan waktu terhubung dengan alam di tengah penggunaan teknologi yang tinggi karena memiliki peran penting dalam peningkatan kesehatan mental kita. Pengalaman emosi positif terhubung dengan alam berdampak terhadap kesehatan dan kesejahteraan psikologis.

Menghabiskan waktu di alam akan meningkatkan pemulihan dari stres, membantu kita mengembangkan harga diri, kompetensi, dan kepercayaan diri. Studi lain juga menunjukkan jika menikmati alam dapat meningkatkan fokus dan mempertajam keterampilan kognitif.

Mengambil Peran, Suarakan!

Dibalik kondisi laut kita yang sedang tidak baik-baik saja, ternyata dalam beberapa tempat dapat dijumpai praktik-praktik baik pengelolaan sumber daya laut yang dilakukan oleh masyarakat di pesisir dan pulau kecil.

Bagi masyarakat adat, ada banyak tradisi seperti Sasi di Maluku dan Papua, Muro di Nusa Tenggara Timur, Egek di Sorong. Nelayan tradisional juga punya cara tersendiri seperti Awig-awig di Nusa Tenggara Barat, sistem buka tutup yang diterapkan di banyak daerah di Sulawesi.

Hasil tangkapan dari pembukaan Egek di Malaumkarta pada tahun 2022, Sorong. / Foto: David Herman Jaya/Econusa

Kesemuanya punya cara tersendiri untuk mengelola sumber daya lautnya secara berkelanjutan. Menjaga terumbu karang, menangkap dengan menggunakan alat tangkap yang sama lingkungan. Tanpa mengorbankan alam, namun tetap dapat mensejahterakan masyarakat.

Peran kita juga harus sesuai dengan porsi dan kemampuan masing-masing. Menyuarakan kondisi miris laut melalui berbagai kegiatan perlu dilakukan.

Namun kita juga perlu menyuarakan optimisme pengelolaan ruang laut di berbagai daerah yang dapat juga diimplementasikan. Lebih dekat dengan isunya, akan semakin membuat kita lebih peka dan dorongan untuk bersuara akan semakin besar.

Bagi beberapa orang, lantaran memang berada dalam pekerjaan isu laut makanya sudah menjadi hal yang wajib dilakukan. Namun tak perlu bergelut di isu laut untuk bisa bersuara, setiap dari kita punya hak untuk bersuara dan melakukan tindakan sekecil apapun itu!

Bentuknya? Kita semua punya cara tersendiri.

Jangan sampai ke depan jika snorkeling hanya melihat terumbu karang yang mulai memutih, menikmati sunset di pesisir yang dipenuhi sampah plastik, atau mau nyantai di lokasi pantai reklamasi tapi mencium aroma yang menyengat akibat sirkulasi air yang tidak bagus.***

Baca juga: Scuba Diving: Melihat Dunia yang Tersembunyi dari Keseharian

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan