Aku dan Kisah Pencemaranku

Aku sampah plastik, tempatku bukan disini. Arus ombak yang deras menggiringku ke salah satu pesisir pantai di salah satu pulau surga Indonesia, Labuan Bajo.

Ini ceritaku, bagaimana aku bisa terdampar di pesisir pantai, yang mungkin tidak ternama, namun berada di pulau yang terkenal akan keindahannya.

Terombang-ambing di dalam laut, aku berpindah dari satu area ke area lainnya. Aku sering kali bertemu berbagai jenis binatang, namun tanpa kusadari, aku menjadi toxic untuk mereka. Aku memberikan rasa sakit saat tidak sengaja terkunyah oleh Piu si penyu.

“Arghh, sakit, aku jadi tidak bisa mencerna makananku dengan baik,” kata si penyu, dengan sedikit tangisan yang menetes dari mata kecilnya.

pencemaran laut
Fakta penyu mati di pantai, Bali. / Foto: Made Nagi / Greenpeace

Aku hanya bisa merasa bersalah, karena akupun tidak bisa bergerak, si Piu berusaha kuat untuk mengeluarkan aku dari mulutnya, karena bentukku yang pipih, kali ini aku bisa keluar dari mulut Piu.

“Maafkan aku Piu! Aku pun tidak meminta berada di dalam lautan, semua ini ulah manusia yang tidak membuangku pada tempatnya”

Piu, dengan luka di tenggorokannya, berusaha memberikan respon. Namun, apadaya, hanya anggukan kepala yang bisa ia berikan.

Arus yang deras karena hujan, membuatku terus terombang-ambing didalam lautan yang cukup keruh.

“Kenapa laut menjadi sangat keruh?” keluhku dalam hati.

Kulewati suatu area dan kulihat bocoran minyak dari kapal di atas air, lalu kusadar ternyata air laut menjadi keruh karena aktivitas padat, banyaknya para wisatawan yang datang untuk melihat keindahan alam, membuatku berpikir keras.

“Mengapa mereka tak sedikit berterima kasih kepada alam dengan mengurangi pencemaran air laut, setidaknya menciptakan sistem agar minyak tidak mengotori lautan yang indah ini?”

Tiba-tiba arus deras berhenti, aku terdampar di atas terumbu karang, bernama Kora. Aku menutupi nafas kehidupan Kora, sinar matahari. Karena cuaca yang terik dan arus yang tak lagi kencang, aku terdampar cukup lama, dan Kora pun sekarat.

“Bagaimana nasib ikan-ikan dan biota laut lainnya yang berlindung padaku? Bagaimana nasib teman-temanku yang dapat terinfeksi jika aku mati?”

Aku tercengang, hanya bisa diam, aku harap aku dapat berpindah, tak terdampar diatas terumbu karang dan menghancurkan kehidupan laut. Apa daya, Kora pun mati.

Air laut dan ombak akhirnya kembali deras, kali ini aku berhasil menepi ke daratan, ternyata aku terdampar di pesisir pantai yang berada di depan salah satu hotel di Labuan Bajo.

Aku terdiam, karena aku tak bisa bergerak lagi. Ternyata aku tak sendiri, di sebelahku ada banyak sampah plastik lain, kami semua sedih karena rumah kami bukan disini.

pencemaran plastik
Plastik berserakan di pantai di Labuan Bajo. / Foto: Tarin

Kami seharusnya dibuang pada tempat sampah, dipisahkan, didaur ulang. Mengapa kami menjadi jahat karena ulah manusia? Mengapa kami menjadi mencemari alam karena egoisme manusia?

Ini kisahku, dan pencemaran yang aku tak ingin lakukan.***

Baca juga: Stop Makan Plastik di Momen Lebaran

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan