Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

nelayan

Setiap hari, eksploitasi ikan secara besar-besaran terus terjadi bahkan melebihi batas maksimum. Terjadi persaingan penangkapan ikan antara perusahaan dengan komunitas (kelompok) nelayan. Tentu saja ini merupakan persaingan yang tidak seimbang yang merugikan nelayan kecil.

Nelayan di negara berkembang bahkan seringkali tidak memiliki kepemilikan atas rumah mereka yang tidak layak, yang rusak akibat badai dan tsunami, begitu juga dengan perahu dan peralatan melaut mereka yang tradisional dan serba terbatas.

Di Indonesia misalnya, kebanyakan kaum nelayan adalah kaum yang berada dalam garis kemiskinan yang kronis. Sementara itu, perusahaan perikanan telah mencuri mata pencaharian mereka dengan mengeksplotasi ikan yang berlebihan.

Nelayan di Larantuka, Flores Timur. / Foto: Paul Hilton / Greenpeace

Secara global, menurut Couper, Smith, dan Ciceri dalam artikel yang ditulis oleh Aggriani Mahdianingsih terdapat 16,5 juta nelayan kecil yang erstatus ekonomi redah.

Hal ini bertentangan dengan ketentuan yang dibuat oleh United Nations Convention of the Law of the Sea (UNCLOS) mengenai pemanfaatan sumber daya laut.

Seharusnya, menurut ketentuan tersebut, masyarakat pesisir lah yang seharusnya memanfaatkan sumber daya perairan sekitar tempat tinggalnya, termasuk nelayan. Namun apa daya, ketentuan tersebut belum terlihat dengan nyata di lapangan, nelayan kecil masih harus bersaing dengan perusahaan raksasa perikanan.

Hal tersebut juga mendorong nelayan-nelayan kecil atau masyarakat lainnya tergiur untuk bekerja dan menjadi ABK di perusahaan-perusahaan perikanan tersebut dengan harapan untuk bisa memperbaiki nasib. Tapi faktanya, nasib yang diterima oleh nelayan – nelayan yang bekerja tadi tidak semuanya mulus sesuai harapan mereka.

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

tuna kaleng
Bumble Bee tuna. / Foto: Greenpeace

Sebanyak 10.925 anak buah kapal (ABK) asal Indonesia bekerja di kapal-kapal Taiwan tersebut. Ribuan pekerja tersebut diantaranya berlatar belakang nelayan dan masyarakat kecil. Dalam laporan tersebut ditemukan diduga banyak di antaranya yang  bekerja di bawah ancaman kerja paksa.

Banyak kasus yang terungkap soal kondisi praktik kerja yang tidak manusiawi dalam industri perikanan global ini seperti minimnya istirahat dan makanan, hingga gaji yang tidak cukup pantas merupakan hal yang biasa terjadi.

Kondisi ini dilengkapi oleh kesepian dan isolasi dari keluarga dan teman, bahkan seringkali selama berbulan-bulan. Tekanan yang dihadapi nelayan tidak hanya terjadi dan berhenti di atas kapal. Dalam kasus terburuk, kondisi nelayan mirip dengan perbudakan.

Nelayan diperlakukan layaknya budak dengan kekerasan ketika tidak bekerja dengan benar. Mereka harus bekerja siang dan malam dengan upah
yang sedikit atau tidak mendapatkan upah sama sekali.

Sesekali pemberontakan terjadi di atas kapal oleh para nelayan. Namun nelayan yang berusaha membela hak- hak mereka tidak sedikit yang berakhir dibunuh dan mayat mereka dibuang di laut.

Industri perikanan juga sangat dipengaruhi oleh kejahatan yang terorganisir, sehingga menciptakan lingkungan yang membuat nelayan terjerat dalam kriminalitas karena ketidaktahuan dan terdesak kebutuhan ekonomi.

Couper, Smith, dan Ciceri dalam artikel yang ditulis oleh Aggriani Mahdianingsih melampirkan kasus terkait yang terdokumentasikan sejak tahun 2000 hingga 2014. Salah satunnya adalah pada 2004 terdapat aksi mogok bersama yang dilakukan 196 nelayan Filipina dalam delapan kapal saat berada di laut lepas pantai Papua Nugini.

Para nelayan memprotes mengenai tingkat upah kerja yang di bawah upah minimum International Labour Organization (ILO). Mereka juga mengklaim bahwa peralatan keselamatan kapal tidak memadai dan kurangnya kompensasi untuk cedera dan kematian saat bekerja. Namun, kasus tersebut berujung dengan tuduhan pemberontakan dan sepuluh pemimpin kelompok nelayan ditangkap.

Tidak hanya itu, pengawasan lautan lepas yang lemah memberi kemudahan untuk melakukan transaksi obat-obatan terlarang (narkoba). Pemahaman mengenai laut, keterampilan navigasi, dan pengetahuan lokal yang dimiliki nelayan kecil, dianggap sebagai aset untuk kemudian dimanfaatkan oleh mafia dan kartel perdagangan narkoba.

Tak jarang barang-barang terlarang itu diselundupkan ke dalam kapal tanpa sepengetahuan nelayan. Meskipun nelayan menolak, mafia dan kartel perdagangan narkoba melakukan paksaan yang disertai dengan tindakan kekerasan.

Selain itu, nelayan yang tergiur dengan hasil menjanjikan dari bisnis tersebut menjadikan hal ini sebagai alternatif pencarian nafkah. Konsekuensi dari fenomena ini menjadikan nelayan partisipan sekaligus korban dalam perdagangan narkoba lintas negara.

Kapal perikanan di Kaohsiung. / Foto: Greenpeace

Greenpeace menilai program Trace My Catch hanya formalitas dan telah memalsukan transparansi. Perlu penegakan hukum yang jelas di seluruh negara yang terlibat dalam rantai industri perikanan global.

Seperti AS sebagai salah satu importir makanan laut terbesar di dunia, Taiwan sebagai salah satu pedagang tuna terbanyak di dunia, dan Indonesia yang banyak mengirimkan ABK migran untuk bekerja di kapal-kapal penangkap ikan.

Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia mengatakan laporan yang dirilis pada 1 September tersebut menegaskan peliknya persoalan dalam tata kelola bisnis perikanan global.

“Laporan ini mengkonfirmasi bahwa masih banyak persoalan dalam praktik bisnis perikanan global, banyaknya pelanggaran terutama praktik IUU fishing dan perbudakan terhadap pekerja kapal. Ini sangat mengecewakan, karena ternyata traceability atau ketertelusuran ikan dan transparansi kapal-kapal penangkap ikan yang memasok perusahaan sebesar Bumble Bee sampai saat ini masih tidak jelas,” kata Afdillah.

Laporan yang dirilis juga menegaskan masih banyak ABK asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan yang tidak menjalankan aturan sesuai standar kerja yang diatur Konvensi ILO 188.

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang berkampanye bersama Greenpeace Indonesia untuk menghentikan perbudakan modern di laut menyebut, laporan ini harus menjadi perhatian juga bagi pemerintah Indonesia.***

Baca juga: Potret Muram ABK Perikanan di Indonesia

Sumber:

  • Siaran Pers Greenpeace Indonesia
  • Anggriani Mahdianingsih. 2020. Kerentanan Nelayan dalam Industri Perikanan Global. BALAIRUNG: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Indonesia. Vol. 2 No. 1

 

Artikel Terkait

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan