Carut Marut Hukum Pertambangan di Pulau Sangihe

pulau sangihe melawan

I. IZIN TAMBANG LAHIR DARI KONTRAK KARYA YANG TIDAK DISESUAIKAN DENGAN UNDANG-UNDANG MINERBA

Jakarta, 16 November 2022. Tidaklah mudah bagi warga Pulau Sangihe memperjuangkan ruang hidupnya sesuai janji Pasal 28.H ayat (1) UUD 1945. Mereka tidak memilih jalur perang fisik tetapi melalui perang argumen hukum di Pengadilan dengan menggugat Izin Operasi Produksi PT Tambang Mas Sangihe di PTUN Jakarta.

Gugatan ini dilakukan warga karena dasar penerbitan izin operasi produksi tersebut adalah kontrak karya yang tidak disesuaikan dan melanggar ketentuan pasal 169 UU No. 4 tahun 2009 Jo. UU No. 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Akan tetapi, gugatan 37 warga Pulau Sangihe dinyatakan tidak diterima (N.O) oleh Hakim Pengadilan TUN Jakarta dengan menyatakan izin operasi produksi pertambangan emas PT TMS adalah tindakan hukum perdata dan bukan wewenang Peradilan TUN.

Merasa tuntutan mengenai keadilan substansif dan keadilan prosedur tidak diterima oleh alasan Hakim yang menghina akal sehat tersebut, maka warga Pulau Sangihe mengajukan banding, dan hasilnya Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi TUN Jakarta membatalkan putusan PTUN Jakarta tersebut, Gugatan Warga Pulau Sangihe tersebut dikabulkan seluruhnya, disertai penetapan (putusan sela) dengan perintah penundaan pelaksanaan Izin Operasi Produksi pertambangan emas PT TMS di Pulau Sangihe hingga putusan perkara berkekuatan hukum tetap.

Di sisi lainnya, 56 Perempuan Pulau Sangihe mengajukan gugatan Izin Lingkungan di PTUN Manado yang dikabulkan seluruhnya oleh Hakim PTUN Manado, disertai penetapan dengan perintah penundaan pelaksanaan seluruh kegiatan pertambangan emas PT TMS di Pulau Sangihe hingga putusan perkara berkekuatan hukum tetap.

Akan tetapi pada tingkat banding sengketa izin lingkungan tersebut, oleh Hakim Pengadilan Tinggi TUN Makassar menolak gugatan tersebut melalui pertimbangan hukum yang dituding menggunakan ‘kacamata-kuda’ prosedur-instan, namun mengabaikan fakta-fakta pelanggaran substansi dan bukti hukum materiil seperti bukti penyelundupan Wakil Palsu Masyarakat Terkena Dampak dalam Komisi Penilai Amdal, seluruhnya melahirkan dugaan tentang Majelis Hakiim Tinggi pada Pengadilan Tinggi TUN Makasar sedang melakukan pagelaran akrobat perilaku tidak adil, bahkan patut diduga putusan tersebut adalah bagian dari praktek jual beli putusan yang saat ini jadi perhatian masyarakat!

Sekarang, kedua perkara tersebut (perkara Izin Operasi Produksi dan perkara Izin Lingkungan) secara bersamaan memasuki tahap kasasi di Mahkamah Agung. Ke-Agung-an dan kemuliaan lembaga ini menjadi tumpuan dari harapan terakhir Warga Pulau Sangihe sebagai Pencari Keadilan.

Untuk tujuan tersebut, Perwakilan Warga Pulau Kecil Sangihe kembali mendatangi Ibukota, dengan harapan yang tidak muluk-muluk, memohon agar kedua perkara tersebut diadili Mahkamah Agung sesuai norma-norma peradilan yang baik dan benar, dan tidak terjebak nafsu jual beli putusan yang akhir-akhir ini dipertontonkan oleh 2 oknum Hakim Agung yang ditetapkan sebagai Tersangka oleh KPK.

II. SEMBILAN NAGA DAN PENAMBANGAN TANPA IZIN DI PULAU SANGIHE

Namun, sementara warga Sangihe berjuang melawan Izin-Izin Pertambangan yang lahir dari Kontrak Karya yang tidak disesuaikan dengan Undang-Undang Minerba, pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang dilakukan cukong-cukong yang dikenal dengan nama 9 (sembilan) Naga berlangsung terang-terangan memamerkan kekebalan hukumnya dalam merusak lingkungan hidup Pulau Sangihe. Belasan alat berat excavator beroperasi mengobrak-abrik Pulau Kecil Sangihe yang letaknya persis berbatasan langsung dengan Negara Filipina. Lebih buruk lagi terlihat jelas adanya oknum aparat penegak hukum mengawal dan menfasilitasi kegiatan melanggar hukum tersebut yang mengorbankan banyak rakyat tidak berdosa.

III. PELANGGAR HUKUM DIBIARKAN, WARGA YANG PROTES DITANGKAP DAN DIPENJARAKAN

Pada kenyataannya, pasca putusan yang mengabulkan penundaan Izin Lingkungan dan Penundaan Izin Operasi Produksi, pihak perusahaan (PT TMS) bukannya mentaati perintah pengadilan untuk penundaan seluruh izin (penghentian kegiatan), justru malah tetap melakukan kegiatan operasi pertambangannya dengan pekerjaan konstruksi dan mobilisasi alat-alat berat, dan tidak dicegah atau dilarang oleh aparat penegak hukum.

Jalan panjang warga memperjuangkan keselamatan dan kelangsungan layanan fungsi alam pulau Kecil Sangihe dari caplokan PT TMS tak hanya dihambat dalam proses hukumnya serta pembangkangan yang sungguh-sungguh terhadap perintah pengadilan, namun Para Pejuang Penyelamatan Pulau Sangihe yang menghalang-halangi aktivitas perusahan yang melawan perintah perngadilan, mengalami intimidasi dan pemaksaan pidana.

Pada 14 Juni 2022, salah satu Pejuang Penyelamatan Sangihe, Robison Saul, dikriminalisasi menggunakan UU Darurat yang telah berdasar legitimasi lagi karena dalam konsideran adalah pasal 96, 102 dan 142 Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) yang sesungguhnya telah dicabut seluruhnya dalam ketatanegaraan RI.

Seolah-olah negara dalam keadaan darurat dan fungsi pemerintahan sedang terancam sehingga UU Darurat No. 12 Tahun 1951 perlu dibangkitkan dari kuburannya, Robison Saul ditangkap oleh Polres Sangihe, ditahan dan diproses hukum, hanya karena ditemukan adanya pisau dibalik jaketnya, persis seperti adanya keris di badan Presiden Jokowi ketika perayaan 17 agustus tahun ini di Istana Negara. Fakta ini nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 UUD 1945.

Indonesia adalah negara hukum. Setiap orang sama di hadapan hukum. Pelanggar hukum (PT TMS dan 9 Naga) tidak ditindak tetapi rakyat yang protes ditangkap ditahan sebagai pelaku kriminal padahal perbuatan tersebut tidak ada ketentuan pidananya dalam KUHP.

Kesialan tidak berhenti di situ bagi Robison Saul. Ketika dipindah dari rutan Polres Sangihe untuk proses penuntutan, selama berhari-hari ia dalam keadaan diborgol diduga dianiaya oleh beberapa oknum Sipir Lapas Tahuna, Penasihat Hukum dilarang bertemu dengan Robison Saul baik dalam status sebagai Tersangka maupun sebagai Terdakwa, pun untuk kepentingan pembelaan. Diduga kuat Oknum-Oknum Lapas Tahuna tersebut bertindak berdasarkan pesanan pihak ketiga.

Merespon hal-hal ini, kami dari Koalisi Save Sangihe Island (SSI):

  1. Menyerukan dan memohon Mahkamah Agung untuk memeriksa dan memutuskan secara sungguh-sungguh sesuai dengan aturan kaidah dan norma hukum yang baik dan benar dengan mengedepankan rasa keadilan masyarakat, mengingat lebih dari separuh Pulau Sangihe dipertaruhkan dalam dua putusan kasasi tersebut yang mengancam sekitar 150.000 jiwa (rakyat perbatasan) yang tidak berdosa.
  2. Mendesak Kepolisian RI untuk menindak menurut hukum tanpa memandang bulu seluruh pelaku beserta cukong-cukong dan oknum-oknum aparat yang terlibat penambangan emas tanpa izin (PETI) di Pulau Sangihe.
  3. Mendesak Kepolisian RI untuk menindak sesuai hukum Oknum-Oknum Sipir Lapas Tahuna yang melakukan penganiayaan terhadap Robison Saul dalam tahanan serta menghentikan kriminalisasi warga Pejuang Penyelamatan Pulau Sangihe yang telah / sedang berjuang di koridor hukum.
  4. Menyerukan kepada seluruh jaringan masyarakat sipil untuk terlibat memantau dan mengawal proses sidang kasasi sengketa pertambangan Pulau Sangihe di Mahkamah Agung RI, serta penegakan hukum oleh Kepolisian dan institusi terkait terhadap penambangan tanpa izin di Pulau Sangihe.

Narahubung:
Jull Takaliuang (Save Sangihe Island (SSI) ) +62 811-4357-722

Muh. Jamil (JATAM) +62 821-5647-0477

Adhitiya (Trend Asia) +62 857 6793 6665

Tautan informasi:

Mahkamah Agung RI Harus Mengadili Perkara Warga Pulau Kecil Sangihe Sesuai Norma Peradilan Yang Baik Dan Benar

https://www.jatam.org/lagi-gugatan-warga-pulau-sangihe-menang

https://www.jatam.org/warga-sangihe-penolak-tambang-emas-dianiaya-dalam-penjara/

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan