Penerapan Sistem Hukum Adat Sasi Sebagai Upaya Pelestarian Laut

Maluku merupakan provinsi kepulauan dengan luas wilayah 712.479,65 km2 yang terdiri dari 92,4% luas perairan (658.331,20 km2) dan 7,6 % luas daratan (54.148,45 km2), sedangkan panjang garis pantainya adalah 11.098,34 km (Bappeda Provinsi Maluku, 2009).

Luasnya wilayah perairan dengan panjang pantai tersebut tentu memiliki kandungan sumberdaya hayati laut yang sangat besar. Salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yaitu perlindungan terhadap ikan, molusca ( lola, kima ), crustacea ( udang, kepiting ) dan echinodermata ( teripang ) yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan sumber penelitian .

Potensi biota – biota laut ini banyak terdapat di sekitar pulau – pulau di provinsi Maluku dan menjadi kekayaan sumberdaya hayati laut yang bisa menjadi lumbung biota laut secara nasional. Melihat fakta perairan Maluku yang memiliki kandungan sumberdaya hayati laut yang sangat besar maka perlu adanya suatu sistem yang dapat menjamin dan menjaga keberlangsungannya ekosistem laut yaitu dengam sistem Marine Protect Area berbasis hukum adat sasi.

Upaya pelestarian lingkungan hidup bagi masyarakat Maluku, salah satunya seperti penerapan sistem Marine Protect Area berbasis kearifan lokal ini, sudah diterapkan sejak zaman dulu. Hal ini akan dibuktikan dengan salah satu budaya masyarakat Maluku yang melarang pengambilan hasil-hasil potensi tertentu dengan atau tanpa merusak lingkungan.

Kegiatan larangan pengambilan hasil-hasil potensi ini oleh masyarakat Maluku di kenal dengan sebutan ”Sasi”. Marine Protect Area berbasis hukum adat sasi merupakan salah satu bentuk proses pelibatan masyarakat dalam pembangunan laut di Provinsi Maluku yang telah ditunjang dengan adanya perubahan Sistem Pemerintahan Desa (UU No. 5 tahun 1979) menjadi Sistem Pemerintahan Daerah (UU No. 32 tahun 2004).

Pemerintah kota Ambon telah menetapkan Perda tentang “Negeri di Kota Ambon” (Perda kota Ambon No. 3 tahun 2008), hal ini sangat menunjang karakteristik masyarakat adat di kota Ambon dan sekitarnya. Regulasi tersebut seharusnya dapat menunjang kelembagaan atau pranata adat seperti “Saniri Negeri” (Kerapatan adat) serta “Kewang” (polisi laut dan hutan) dengan ciri kearifan lokal yang dimiliki masyarakat seperti “Masohi” (gotong royong), “Badati” (saling membantu) “Sasi” dan lain-lain dapat dilestarikan.

Sasi merupakan suatu tradisi masyarakat negeri di Maluku, untuk menjaga hasil-hasil potensi tertentu. Bila sasi laut dilaksanakan, maka masyarakat dilarang untuk mengngambil hasil tertentu dari laut selama jangka waktu yang di tetapkan oleh pemerintah desa (Frank L. Cooley, 1987).

Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga populasi sumberdaya alam tersebut. Karena peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut.

Maka sasi pada hakekatnya, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh penduduk setempat.

Sasi ditandai dengan upacara tutup sasi yakni pernyataan bahwa larangan itu mulai berlaku dengan memberikan tanda sasi yaitu berupa kayu yang diikat dengan pucuk daun kelapa muda dan tanaman pada batas areal terlarang, dan pada akhirnya diadakan upacara buka sasi dengan mengangkat tanda sasi tadi dengan upacara adat sebagai tanda larangan itu tidak berlaku lagi.

Upacara tutup dan buka sasi laut menurut adat. Pelaksanaan upacara tutup sasi laut dapat dikemukakan sebagai berikut, biasanya 1 atau 2 hari menjelang upacara, telah ada pemberitahuan yang dilakukan oleh kepala kewang dan anak-anak kewang kepada seluruh masyarakat.

Dengan demikian, masing-masing keluarga telah mempersiapkan kebutuhannya selama masa tutup sasi laut. Upacara tutup sasi laut. Pada malam yang telah ditentukan maka kepala kewang atau kewang besar yang dibantu oleh anak – anak kewang berpencar keseluruh pelosok desa.

Mula-mula teon atau nama asli negeri di tabaos (diteriaki). Anak-anak kewang langsung membunyikan tahuri atau meniup kerang memperdengarkan suatu suara yang syahdu namun mengandung mistis. Kepala kewang berteriak si lo ooo artinya sasi… kemudian anak-anak kewang menjawab mese eee ooo yang artinya tetap.

Sejak malam itu sasi atas dusun – dusun dimulai dimana seluruh sumberdaya laut yang ada di dalam dusun dinyatakan dilarang di ambil. Saat itu pula kewang dan anak – anak kewang mulai menjalankan tugas sebagai pengawas laut. Biasanya sasi berlangsung selama 3 (tiga) bulan.

Selama sasi laut suasana disekitar pantai dan labuhan (laut) harus dijaga agar tetap hening. Penduduk boleh pergi ketempat tempat tersebut tetapi semuanya harus berjalan dengan tenang dan sumberdaya alam yang diambil harus tidak berlebihan.

Untuk menangkap ikan, alat tangkap yang dipakai harus sederhana misalnya kail sehingga tangkapan tidaklah banyak. Menangkap ikan dengan jaring sama sekali tidak diperkenankan. Jika masa tutup sasi masih berlangsung dan karena keadaan mendesak misalnya ada keluarga yang terpaksa harus mengambil sesuatu kebutuhan pangan di laut maka yang bersangkutan harus datang minta izin dari kepala kewang.  Bila di setujui, ketika pemilik hendak mengambil hasil laut tersebut harus diawasi oleh anak kewang.

Upacara buka sasi laut. Upacara buka sasi laut dilaksanakan dalam rumah baileu atau rumah adat dengan melantunkan kapata-kapata (nyanyian adat) yang semuanya bermuara pada pemujaan kepada penguasa langit dan bumi (upu lanite).

Menjelang masa buka sasi maka pada malam hari menjelang pagi kewang, anak-anak kewang dan perangkat pejabat negeri mengadakan pertemuan. Setelah hari yang disepakati tiba, maka kewang dan anak-anak kewang berjalan mengelilingi negeri sambil berteriak memanggil nama teon atau nama asli negeri.

Tahuri ditiup kembali dan kewang meneriaki kata pua silo teas toto mullalo amun hutum yang artinya sasi laut kini terbuka. Ketika masyarakat mendengar teriakan itu bagi mereka adalah tanda suka cita karena besok mulai penen hasil sasi.

Sebagai tanda ucapan terima kasih kepada pemerintah dan tokoh agama maka biasanya masing-masing keluarga akan membawa sedikit hasil terbaiknya untuk diberikan kepada raja dan tokoh agama.

Manfaat sasi laut yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari secara makro dapat dikatakan adalah agar semua sumberdaya laut contohnya seperti siput lola, kima, teripang, udang, kepiting dan ikan diambil pada waktunya yaitu ketika biota – biota laut telah mencapai ukuran siap tangkap supaya tanah-tanah negeri dan labuhan (laut) dapat terpelihara dengan baik.

Sama halnya dengan adat yang lain, maka sanksi-sanksi atas pelanggaran adat sasi laut dilaksanakan oleh penguasa negeri dan arwah leluhur. Sanksi yang paling berat dan sangat ditakuti di waktu dahulu adalah sanksi yang diberikan oleh arwah leluhur.

Oleh karena itu orang sangat takut melanggar sasi. Bilamana ada orang yang melanggar sasi laut yaitu melakukan pengambilan hasil-hasil laut pada masa tutup sasi maka hukuman yang diberikan oleh pemerintah negeri yaitu raja dan perangkat negeri kepada si pelanggar adalah ditangkap, dipertontokan dihadapan masyarakat umum dan mendapat hukuman fisik lainnya seperti: cambuk,dikenakan denda,kerja paksa dan dikucilkan dari tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Hukuman itu tidak terlalu berat seperti hukuman yang akan diberikan oleh arwah atau roh-roh tete nene moyang (leluhur) antara lain: anak sakit-sakitan secara terus menerus dan akhirnya meninggal dunia sehingga keluarga itu tidak memiliki seorang keturunanpun.

Upaya pelestarian lingkungan hidup bagi masyarakat Maluku, salah satunya seperti penerapan sistem Marine Protect Area berbasis adat hukum sasi sudah di diterapkan sejak dulu. Hal ini membuktikan bahwa sistem adat dan kearifan lokal Maluku memberikan pengaruh besar terhadap peningkatan bodiversitas dan konsevasi laut secara berkelanjutan .

Editor : Annisa Dian Ndari

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan