Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Kita Tidak Melanggengkan Perbudakan Modern di Laut

tujuan pembangunan berkelanjutan

Apa yang dimaksud dengan tujuan pembangunan berkelanjutan? Mengapa pembangunan yang kita lakukan harus berkelanjutan? Bagaimana tujuan pembangunan berkelanjutan memandang isu perbudakan modern di laut?

Tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) adalah sebuah rencana aksi yang diadopsi oleh seluruh negara anggota Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di tahun 2015 dan berlaku sejak 2016 hingga 2030 guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.

tujuan pembangunan berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan itu sendiri bersifat penting agar manusia dapat hidup lebih sejahtera dan bahagia, dan juga pada dasarnya supaya anak-cucu kita di masa depan masih bisa menikmati kehidupan di bumi sebagaimana kita menikmatinya sekarang.

Banyak yang tidak tahu bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan jelas-jelas menentang praktik kerja paksa dan perbudakan modern yang terus-menerus terjadi.

ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing seringkali mendapat perlakuan yang tidak pantas secara berulang seperti penipuan, kekerasan secara fisik dan verbal, waktu kerja berlebih, penahanan gaji, hingga jeratan hutang. Tidak sedikit dari mereka akhirnya meninggal dunia dan dibuang ke laut.

Dalam tujuan pembangunan berkelanjutan, tujuan 8 membahas mengenai pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, dan target 8.7 secara khusus menyebut soal pentingnya negara-negara anggota mengambil langkah-langkah segera dan efektif untuk mengentaskan kerja paksa, mengakhiri perbudakan modern dan perdagangan manusia.

Target 8.5 bahkan menyatakan pada tahun 2030, harapannya kita dapat mencapai ketenagakerjaan secara penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak bagi seluruh perempuan dan laki-laki. Berkaitan dengan itu, target 8.8 bicara soal pentingnya perlindungan hak-hak pekerja dan mendukung lingkungan kerja yang aman bagi seluruh pekerja, khususnya bagi perempuan buruh migran, dan juga pekerja dalam situasi genting.

Sungguh miris untuk membandingkan target-target tersebut dengan kenyataan lantaran cerita-cerita memilukan yang datang dari ABK yang bekerja di kapal penangkapan ikan asing maupun keluarganya tidak kunjung berakhir.

Dinyatakan dalam tujuan lain yakni tujuan 10 dengan tema mengurangi ketimpangan, target 10.7 mengharuskan negara-negara memfasilitasi migrasi dan mobilitas manusia yang tertata, aman, teratur dan bertanggung jawab, termasuk melalui implementasi kebijakan migrasi yang terencana dan terkelola dengan baik.

Namun pada faktanya, pengaturan mengenai migrasi warga negara Indonesia sebagai ABK perikanan ke luar negeri sejak dulu bersifat tumpang tindih antara Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Perhubungan.

Adapun dalam tujuan 14 mengenai menjaga ekosistem laut, target 14.4-nya menetapkan bahwa pada tahun 2020, negara-negara dapat secara efektif meregulasi penangkapan ikan secara berlebihan, penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU fishing), juga praktik-praktik penangkapan ikan yang destruktif.

Di samping itu, tujuan 16 soal perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang kuat, target 16.1-nya secara gamblang mengarah pada pengurangan segala macam bentuk kekerasan dan angka kematian terkait dimanapun.

Para ABK perikanan yang dipekerjakan secara paksa dan diperbudak kerap disuruh melakukan praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur oleh kapten mereka di atas kapal. Hal tersebut masih sering terjadi hingga saat ini.

Meskipun demikian, beberapa tujuan pembangunan berkelanjutan seperti tujuan 12 dan tujuan 16 melalui target-targetnya dapat menjadi solusi perbudakan modern di laut.

Tujuan 12 tentang produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab melalui target 12.6 mendorong perusahaan, terutama perusahaan skala besar dan transnasional untuk mengadopsi praktik-praktik yang berkelanjutan dan untuk memasukkan informasi yang berkelanjutan di dalam siklus laporan mereka.

Sedangkan tujuan 16 tentang perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang kuat melalui target 16.3 mendukung perangkat hukum di tingkat nasional dan internasional dan akses keadilan yang sama untuk semua.

Dengan demikian, negara dan masyarakat sipil dapat mendorong perusahaan-perusahaan pengalengan ikan di dalam industri perikanan untuk mengadopsi praktik perikanan yang berkelanjutan tanpa IUU fishing maupun kerja paksa dan perbudakan modern di dalamnya.

Kita juga dapat terus mendorong negara untuk menerbitkan instrumen nasional seperti PP Perlindungan ABK Perikanan serta meratifikasi instrumen internasional seperti Konvensi ILO 188 soal Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Dapat kita simpulkan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan yang telah kita adopsi sejak 2015 tidak melanggengkan perbudakan modern di laut. Negara juga seharusnya tidak.

Baca juga: Permasalahan Pekerja Migran, Permasalahan Laut Kita 

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan