Menjelajah Pulau Tunda, Serpihan Mutiara di Utara Pulau Jawa

“Pulau Tunda adalah serpihan mutiara.”

Kalimat tersebut dituturkan oleh seorang pemuda di sebuah pulau kecil yang berjarak dua jam dengan perahu dari Pelabuhan Karangantu, Kabupaten Serang, Banten. Nama Pulau Tunda boleh jadi tidak sepopuler pulau-pulau kecil lain di perairan utara Jakarta, namun di sana kita dapat menyaksikan bagaimana manusia dan ekosistem laut saling menghidupi.

Ocean Defender Indonesia, sebagai wadah bagi relawan Greenpeace Indonesia yang memiliki perhatian khusus bagi kelestarian laut, baru saja menjalankan Ekspedisi Pembela Lautan di Pulau Tunda. Laut, dengan segala ancaman krisis iklim dan perilaku buruk manusia, layak mendapatkan sorotan. Tak terkecuali laut di mana Pulau Tunda berada.

Tim Ocean Defender menjelajah mengelilingi Pulau Tunda. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Dari rangkaian kegiatan dalam Ekspedisi Pembela lautan ini, tim Ocean Defender Indonesia mengeksplor dan mendokumentasikan kondisi Pulau Tunda. Beragam fakta unik terungkap, di antaranya bagaimana sekitar 500 keluarga di sana hidup dengan listrik dan air bersih yang hanya bisa diakses pada malam hari. Hal ini menjadi terasa miris mengingat lokasi Pulau Tunda yang tak jauh dari Ibu Kota. Fakta tersebut dan beragam kisah lainnya akan dipublikasikan agar dapat menjadi perhatian bagi pemangku kepentingan. 

Anggota tim Ocean Defender berkumpul di Pelabuhan Karangantu, Serang
Anggota tim Ocean Defender berkumpul di Pelabuhan Karangantu, Serang. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Sebanyak 22 orang dari Ocean Defender Indonesia menjelajah ke Pulau Tunda selama 5 hari, sejak 28 Juli hingga 1 Agustus 2022. Tim ekspedisi terdiri atas tim penyelam (Unit Diving), tim rescue (Unit Boat), dan tim penelusuran di daratan pulau. 

Meninggalkan Jakarta pada pukul 9 pagi, tim menempuh 1,5 jam perjalanan darat menuju Pelabuhan Karangantu di Serang. Dari sana, tim menggunakan perahu menuju Pulau Tunda selama 2 jam.

Tim Ocean Defender mewawancarai salah satu pelaku wisata bahari di Pulau Tunda
Tim Ocean Defender mewawancarai salah satu pelaku wisata bahari di Pulau Tunda. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Di Pulau Tunda, tim mewawancarai sejumlah warga untuk mendapat cerita bagaimana masyarakat hidup di pulau kecil dan berdampingan dengan laut. Masyarakat Pulau Tunda diketahui mayoritas bermata pecaharian sebagai nelayan pancing. Akhir – akhir ini masyarakat lokal juga mulai merambah sebagai pelaku wisata bahari (pemandu, operator selam rekreasional, operator sorkeling, penyedia homestay, wisata memancing).

Tim Ocean Defender mengajar di Sekolah Dasar Satu Atap Pulau Tunda.
Tim Ocean Defender mengajar di Sekolah Dasar Satu Atap Pulau Tunda. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Tim juga mengadakan Kelas Laut yang tujuannya mengajak siswa-siswa sekolah dasar mengenali laut lebih jauh. Menjelaskan pengetahuan dasar tentang 3 ekosistem penting laut dan pentingnya membiasakan untuk tidak membuang sampah sembarangan juga ke laut.

Suasana nonton bersama film "Before You Eat" di Pulau Tunda
Suasana nonton bersama film “Before You Eat” di Pulau Tunda. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Ada pula pemutaran film “Before You Eat” – sebuah film dokumenter produksi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) tentang perbudakan pekerja kapal di balik industri perikanan global. Setelah menonton, tim berdiskusi bersama warga dan menyerukan pentingnya mendukung nelayan lokal sebagaimana kebanyakan yang dilakukan warga Pulau Tunda. 

Pengumpulan sampah plastik dan audit brand di Pantai Cemara Barat, Pulau Tunda.
Pengumpulan sampah plastik dan audit brand di Pantai Cemara Barat, Pulau Tunda. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Yang paling seru, tim Ocean Defender Indonesia berkolaborasi dengan puluhan warga, siswa sekolah, dan mahasiswa dari Universitas Bina Bangsa (UNIBA) melakukan pengumpulan sampah plastik di pantai dan di bawah laut lalu mengaudit brand atau merek-merek pemilik sampah plastik tersebut.

Ikan batfish di Pulau Tunda
Bat fish di salah satu spot penyelaman Pulau Tunda. / Foto: Syatiri Ahmad / Greenpeace

Di antara keriangan anak-anak dan segarnya hasil tangkapan laut para nelayan, tim ekspedisi mengakui bahwa Pulau Tunda merupakan pulau yang indah dan eksotis. Mulai dari kondisi alamnya yang berada di atas pulau begitu pula di bawah lautnya yang masih cukup terjaga.

Pulau ini dikelilingi oleh pantai berpasir putih. Sumber mata air tawar dalam kondisi baik dan sekitar 70-80% pulau ini ditumbuhi hijaunya pepohonan dan mangrove pada bagian pesisirnya.

Salah satu potret kondisi terumbu karang di Pulau Tunda. / Foto: Alvi Apriayandi / Greenpeace

Air laut di sekitarnya tampak jernih. Padang lamun masih subur, ekosistem terumbu karang pun masih hidup. Bahkan, tim penyelam mengaku beberapa kali berjumpa dengan spesies penyu sisik di bawah laut.

Kapal tongkang batu bara melintas di selatan Pulau Tunda.
Kapal tongkang batu bara melintas di selatan Pulau Tunda. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Selain keindahan-keindahan tersebut, fakta lainnya adalah bahwa bagian selatan pulau ini merupakan jalur kapal tongkang yang menyuplai batubara ke PLTU Cilegon. Sampah plastik banyak berserakan di pantai dan di atas permukaan air, khususnya di bagian dermaga Pulau Tunda dan di area pantai yang biasa menjadi destinasi wisata atau adanya aktivitas manusia.

Sampah-sampah terapung di dermaga Pulau Tunda
Sampah-sampah terapung di area dermaga Pulau Tunda. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Sampah plastik bahkan ditemukan pula di bawah laut. Plastik ini bisa berasal dari kegiatan manusia di pulau itu sendiri maupun yang terbawa oleh arus dari daratan Pulau Jawa.

Penasaran ada kisah menarik apa saja di Pulau Tunda yang ditemukan tim ekspedisi Ocean Defender Greenpeace Indonesia? Nantikan artikel-artikel berikutnya!***

Baca juga: Pulau Tunda dan Ancaman Limbah Industri Minyak


Mari bersama, kita dukung dan wujudkan perlindungan laut sebagai Marine Protected Area sebesar 30% di tahun 2030. Kamu bisa tanda tangani petisi di sini.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan