Audy Sumendap Buktikan Cinta Laut dengan Hadirkan Taman Koral di Malalayang, Manado

Bagi Audy Sumendap, laut adalah bagian indah dari aktivitas hariannya, sebagai seorang peneliti perikanan dan kelautan di Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar, yang ada di Manado.

Pria kelahiran Minahasa, lulusan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado ini, hampir setiap hari, selalu turun ke laut melakukan pemeliharaan dan penanaman bibit koral baru di area kawasan laut yang menjadi lokasi pemecahan rekor dunia selam tahun 2009 lalu di Malalayang Manado.

Audy saat melakukan pengecekan pada koral di Taman Koral buatannya.
Audy saat melakukan pengecekan di Taman Koral buatannya. / Foto: Gracey Wakary

Dia tidak sendirian, karena selalu didampingi beberapa penyelam muda baik itu dari Komunitas lingkungan laut, pegawai BPSPL Makassar di Manado atau para atlet dan penyelam dari Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) Sulut.

Selain dalam dunia penyelaman memang melarang keras para penyelam melakukan penyelaman mandiri tanpa teman alias Never Dive Alone, Audy juga tidak turun tanpa peralatan cek koralnya, mulai dari gunting, tang, pisau, pengikat plastik, hingga keranjang, untuk hal ini dia membutuhkan asisten dan teman.

Tidak heran, melalui aksinya yang telah dimulai sejak tahun 2016 lalu, kini area laut Malalayang di kedalaman 10 meter hingga 20 meter yang dulunya kosong, telah memiliki coral garden buatan atau Taman Koral, dengan luasan yang mencapai 4 kali ukuran lapangan sepak bola atau sekitar 4.090 m2, dan dihuni oleh aneka biota laut yang sehat.

Awalnya, untuk menjadikan kawasan Laut Malalayang sebagai area stok karang di Manado, BPSPL Makassar di Manado sempat kewalahan melakukan sosialisasi. Pasalnya, masih banyak warga sekitar yang menjadikan area laut sebagai kawasan pembuangan sampah rumah tangga mereka, ungkap pemilik sertifikat selam sebagai master dive.

Namun, dengan dukungan para koleganya yaitu para dosen dari FPIK Unsrat, Politeknik Negeri dan para penyelam yang tergabung di POSSI Sulut, yang rutin ikut serta dalam kegiatannya, kini kawasan ini malah makin ramai sebagai area wisata unggulan di Kota Manado yang terjangkau dan mudah untuk dikunjungi.

“Saya akan menyesal, jika cucu cucu saya, tidak lagi bisa menikmati pesona, karena laut telah kehilangan keindahannya. Taman koral ini, menjadi bukti bahwa kita manusia juga adalah aktor utama untuk mendukung kelangsungan hidup laut. Laut perlu dijaga, walau dengan aksi kecil tapi itu bisa berdampak,” kata penyelam ramah ini, sembari menyebut, semua yang dilakukannya adalah salah satu dari program utama BPSPL Makassar di Manado yang merupakan bagian dari Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.

Sementara itu, dari data POSSI Sulut per 2020, kehadiran Taman Koral yang kini dikelolah oleh BPSPL Makassar di Manado, telah mendukung kehadiran 18 taman laut skala mini di Laut Malalayang yang dihadirkan oleh instansi pemerintah dan nonpemerintan seperti dari Polda Sulut, Polairud Sulut, Marinir TNI AL, Lantamal VIII, Korem 131 Santiago, Pemerintah Kota Manado, Pertamina, PLN, BRI, BNI, hingga klub selam sekelas Boboca Diving Club (BDC), dan lainnya.

Diterangkan juga oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulut Tineke Adam, Taman Koral buatan ini masuk sebagai kawasan konservasi dan penelitian untuk Kelautan dan Perikanan dan akan terus dijaga serta dilindungi.

coral garden
Taman koral Malalayang, Manado. / Foto: Gracey Wakary – Audy Sumendap

“Ini salah satu alasan yang membuat Pemerintah Provinsi Sulut mengubah tatanan kawasan wisata laut ini, menjadi lebih menarik dan lebih bersih lagi, dan mudah untuk diakses masyarakat,” terang Tine, sambil kembali mengingatkan pentingnya menjaga kebersihan laut dengan tidak menjadikannya sebagai kawasan pembuangan sampah.

Sementara itu, para fotografer underwater nasional seperti Hendra Tan, Edo Ang dan Toar Pantouw kini lebih memilih Laut Malalayang sebagai area untuk mendapatkan obyek menarik untuk lensa mereka.

“Mudah diakses, terjangkau dan teryata indah banyak obyek yang bisa kami temui dan kami abadikan. Ada ragam nudibranch yang unik bisa dengan mudah ditemukan di kawasan Taman Koral ini,” sebut Tan.

Tidak kalah menariknya adalah pernyataan nelayan tradisional di kawasan Laut Malalayang, mereka mengakui kehadiran taman koral buatan membuat mereka lebih mudah mendapatkan ikan, seperti ungkapan Kepala Nelayan Tradisional Manado Minahasa Angelfish, Ronny Mamesah yang menyebut beberapa kelompok nelayannya kini memilih melaut dekat rumah, dari pada ke kawasan di luar Malalayang.

Jadi, aksi Audy di Laut Malalayang memang menarik, dan kita yang mencintai laut bisa berbuat sepertinya, walau tidak sama yaitu berlakulah yang baik pada laut kita, jangan mengotori laut dengan sampah kita, dan jangan lupakan untuk membersihkan sampah saat kita melaut dan menyelam.***

Baca juga: Bah Iwan Sang Pelaut Pencinta Alam: Meninggalkan Laut untuk Merawat Gunung dan Hutan di Cagar Alam Kamojang, Jawa Barat

Editor: J.F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan