Menengok Kembali Lagu Nenek Moyangku Orang Pelaut

pelaut

Tentunya pernah mendengar dong lagu Nenek Moyangku Orang Pelaut. Lagu tersebut selalu terngiang dari masa ke masa loh.

Karena pada waktu kecil selain lagu bintang kecil yang kerap dibunyikan, atau naik-naik ke puncak gunun, nah pasti lagu nenek moyangku seorang pelaut ini juga kerap dibunyikan. Jadi ketika dewasa, ya masih terngiang di memori kita.

Lagu tersebut diciptakan oleh Ibu Soed pada tahun 1940. Nama aslinya adalah Saridjah Niung, beliau lahir di Sukabumi, pada tanggal 26 Maret 1908.

Sosok Ibu Soed dikenal sebagai pencipta lagu anak-anak yang mengandung pesan-pesan moral sangat tinggi. Karena pada saat itu walau pun lagu anak-anak, ada pesan-pesan yang bersifat menumbuhkan semangat perjuangan dan kepahlawanan untuk dapat menjunjung harkat martabat dan jatidiri bangsa.

Nah pada lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut tersebut, pencipta ingin memberitahu dan mengekspresikan bahwa bangsa kita ini adalah bangsa yang memiliki pengetahuan kemaritiman yang begitu luas. “Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarungi luas samudera, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa” begitulah penggelan dari lagu tersebut.

Membicarakan negeri kita, negeri maritim yang tidak bisa dipungkiri lagi dari Sabang sampai Merauke dengan berjejernya pulau dan hamparan lautan. Usut punya usut, negeri kita juga negeri agraris loh! Lalu tentang lagu Nenek Moyang Kita Seorang Pelaut tersebut?

Sebetulnya hal itu tidak perlu kita debatkan sih, tentang negeri maritim atau negeri agraris. Jika kita telisik lebih dalam lagi tentang kita negeri maritim, apakah kita sudah mampu untuk mengelola lautan dan ekosistemnya secara maksimal?

Hal paling dekat adalah mengelola laut dari sampahnya. Pada waktu Ibu Susi menjabat sebagai Menteri kelautan, dari situlah kelautan mulai menunjukan taringnya. Tentunya masih ingatkan “tenggelamkan!”

Menanggapi dari negeri maritim dan agraris di atas, bagaimana caranya kita mengembalikan masa kejayaan nenek moyang kita. Bangsa yang mampu mengarungi samudera nan luas mengokupasi ribuan pulau-pulau yang tersebar di Samudera Pasifik, dan menguasai perniagaan laut, seperti pada ribuan tahun yang lalu hingga munculnya kerajaan-kerajan besar seperti Majapahit.

Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 M, walaupun banyak menggantungkan hidup dari sumber daya alam daratan, namun tercatat memiliki armada laut yang kuat untuk melindungi jalur perdagangan dan kekuasaannya.

Jauh sebelum pada Kerajaan Majapahit, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya relief berupa kapal bercadik yang terukir ribuan tahun di dinding candi Borobdur. Terdapat 10 relief perahu di candi Borobudur. Enam perahu besar dan 4 perahu kecil. Perahu besar berlayarkan cadik. Dan perahu kecil menggunakan dayung.

pelaut
Relief pada candi Borobudur. / Foto: Wikimedia via lacultureindo

Pada tahun 1982 Philip Bale dari Inggris berkunjung ke Borobudur dan mempelajari cara membuat kapal tradisional Indonesia dan bahari Indonesia. Philip kagum dengan relif perahu bercadik yang terdapat di Candi Borobudur.

Sejak saat itu dia berencana untuk membuat kapal Borobudur dan napak tilas perjalanan bahari purba dari Jakarta (Indonesia) menuju Madagascar (Afrika) sampai ke Pantai barat Afrika. Kapal tersebut diresmikan pada bulan Juli 2013 dan diberi nama Samudera Raksa.

Setelah diuji coba, Samudra Raksa kemudian dilayarkan menapak tilas Jalur Kayu Manis; Indonesia -Maladewa – Madagaskar – Cape Town hingga Ghana.

Mengusung nama Ekspedisi Borobudur, perahu berkekuatan layar dan dayung itu menempuh pelayaran sejauh 12.210 mil melintasi Samudera Hindia dan perjumpaan Samudera Atlantik.

Perahu yang diawaki belasan orang Indonesia dan orang asing itu, dilepas Presiden Megawati di Ancol, Jakarta, pada 15 Agustus 2003. Setelah berlayar selama 8 bulan, Senin, 23 Februari 2004 sore, perahu bercadik itu lempar sauh di perairan lepas pantai pesisir barat daya Afrika.

pelaut
Kapal Borobudur. / Foto: maritimnews.com Via lacultureindo

Di Pelabuhan Tema, Accra, ibu kota Ghana. Keberhasilan pelayaran ini sekaligus membuktikan bahwa sebelum Vasco da Gama berlayar ke Timur Jauh pada abad ke-15, pelaut kita sudah berlayar ke Afrika dengan perahu bercadik sebagaimana tertoreh di relief Candi Borobudur.

Jika menelisik lebih dalam lagi perihal siapa nenek moyang bangsa Indonesia, ada beberapa temuan Fosil Homo Wajakensis ditemukan oleh von Reitschoten pada 1889 di daerah Wajak, dekat Campurdarat, Tulung Agung, Jawa Timur.

Temuan tersebut diselidiki kali pertama oleh Eugene Dubois yang berupa ruas leher dan tengkorak yang memiliki volume otak kurang lebih 1.630 cc. Selain itu, Eugene Dubois pada 1890 menemukan fosil di daerah Wajak yang terdiri atas fragmen tengkorak, rahang atas dan bawah, tulang kering, serta tulang paha.

Nah, begitu teman-teman. Nanti kita akan bahas lagi nih tentang nenek moyang kita orang pelaut ulung. Dengan mengarungi samudera lepas. Masih banyak sih jika kita mengupas tentang nenek moyang bangsa kita ini dengan kemaritiman.

Baca juga: Kota Tegal dalam Lingkaran Perusak Ekosistem Laut

Editor: J. F. Sofyan

Thumbnail: Ulet Ifansasti / Greenpeace

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan