PLTU Cirebon di Mata Warga Terdampak: Kisah dari Tapak Ring 1

Wacananya, kesejahteraan masyarakat dapat terwujud seiring dengan masifnya pertumbuhan industri. Tetapi dalam kenyataannya, datangnya pabrik merupakan “pengusiran pribumi secara halus”.

SALAM Institute menangkap cerita pilu dalam kegiatan riset yang dilakukan secara konsisten di desa-desa ring 1 terdampak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon 1.

Di bawah ini merupakan cerita keluh kesah warga yang tak berani disampaikan. Mereka adalah warga nelayan dari desa ring 1 terdampak PLTU yang disamarkan namanya dalam tulisan ini.

Awal Mula Berdiri

PLTU Cirebon 1 berdiri di atas lahan yang secara administratif di bawah Desa Kanci. Industri listrik ini berdiri di atas lahan seluas 150 ha yang berstatus lahan penggaraman, warga biasa menyebut lahan ini dengan istilah “gareman”.

Sebelum pembangkit listrik berdiri, lahan ini dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai sumber penghidupan dengan pertambakan. Lahan ini digunakan untuk memproduksi garam, ikan, dan udang.

Pada tempat yang sama dalam satu tahun warga dapat menghasilkan garam, ikan dan udang secara bergantian disesuaikan dengan musim yang sedang berlangsung. Pada musim penghujan lahan dikelola untuk menanam ikan dan udang, sementara pada musim kemarau lahan digunakan untuk memproduksi garam.

Pada lahan tersebut, umumnya warga hanya berstatus penggarap, sehingga proses pelepasan lahan berjalan dengan mudah. Aksi perlawanan justru hadir dari pemilik lahan dengan tujuan untuk mendapatkan sebesar-besarnya ganti rugi atas tanahnya.

Sementara, para petani penggarap gigit jari, bingung harus berbuat apa. Mengutip hasil penelitian Pouw (2013) menyebutkan bahwa sedikitnya 520 orang petani dari dua desa yakni Kanci Kulon dan Kanci Wetan mengandalkan lahan tersebut sebagai sumber penghidupan utama.

Tetapi sejak 2006, warga mulai kebingungan dalam memandang masa depan mereka. Pasalnya di tahun ini proyek pembangkit listrik mulai melakukan proses pembebasan lahan.

Salah satu petani penggarap, Herman warga Kanci Wetan menuturkan: “sebenarnya sih kita masih pingin menggarap lahan gareman, tapi gimana lagi? Saya tidak bisa memaksakan kehendak yang punya tanah untuk tidak menjual tanah ke PLTU. Saya bingung mau kerja apa lagi, tanahnya udah dijual ke PLTU. Kita mau bikin garam dimana? Padahal dari gareman itu saya bisa mencukupi kebutuhan keluarga saya.”

Proses Konstruksi

Dermaga (Jetty) pengangkut batubara PLTU Cirebon. / Foto: Fathurrahman

Seusai proses pembebasan lahan, proyek konstruksi pembangkit listrik dimulai tahun 2008. Proses pengerjaan konstruksi dimulai dengan pengurugan lahan dan pembangunan jetty. Pada tahap ini, tak sedikit warga mengeluhkan berbagai dampak, mulai dari debu, suara bising, sampah material, dan terbatasnya akses nelayan menuju laut.

Sedikitnya dua desa ring 1 terdampak PLTU adalah desa yang didominasi oleh nelayan. Sabar, salah satu nelayan dari desa Citemu menuturkan banyak kerambah kerang hijau milik warga yang terpaksa dicabut.

Pasalnya area perairan yang digunakan nelayan untuk menanam kerang hijau akan dijadikan demaga bagi bersandarnya tongkang pengangkut batu bara. Sabar menyayangkan aktivitas pembangunan ini.

Dalam penuturannya, kerambah kerang hijau diibaratkan sebagai mesin ATM bagi nelayan. Kerang yang tumbuh di atas bambu dan tali tambang ini dapat dipanen 2 hingga 3 kali dalam setahun, atau dapat diambil sesuai jika ada keperluan.

Kehilangan dan kesulitan akibat proyek PLTU tidak hanya dirasakan oleh nelayan yang memiliki tambak kerang hijau, nelayan tangkap juga mengeluhkan hal yang serupa. Lokasi pembangunan jetty merupakan area tangkap bagi nelayan kejer dan bubu.

Area yang sama dengan kerambah kerang hijau merupakan tempat biota laut berkembang biak. Kerambah kerang hijau diibaratkan sebagai media konservasi laut. Dari kerang hijau, terumbu karang di bawahnya berkembang, yang artinya ekosistem laut berkembang dengan baik.

Area tangkap ini jarak aksesnya cukup dekat dengan pemukiman warga. Tetapi kini, area tangkap ikan dan rajungan mereka berubah menjadi demaga untuk tongkang pengangkut batu bara.

Kadman sedikit membagikan keluhannya, “sejak ada PLTU nelayan makin sulit, tempat kita nyari rajungan kan dibangun jetty, otomatis kita tidak boleh nyari rajungan dekat-dekat situ. Jadinya kita nyari rajungannya muter, ngelewatin jetty terus ke tengah. Jadinya ya tambah jauh, mending dapet, kalo enggak kita kan bingung. Solarnya nambah, bekalnya nambah sementara hasilnya? Engga nentu”.

Masa Produksi

Sampai pada tahap produksi listrik warga semakin merasakan dampak buruk masalah lingkungan yang disebabkan aktivitas PLTU. Pada masa ini warga mengalami banyak perubahan dan kerusakan lingkungan semakin menyulitkan bagi mereka.

Kerusakan lingkungan terjadi akibat limbah yang dibuang langsung ke laut. Menurut penuturan nelayan, limbah PLTU keluar dari pipa yang dipasang pada sisi-sisi jetty. Mereka mencirikan limbah PLTU adalah cairan berwarna coklat dan berbusa, ketika air itu keluar dari pipa, air laut menjadi keruh dan terlihat seperti ada minyak yang ditumpahkan ke dalam air.

Limbah ini membuat ekosistem laut menjadi rusak, ikan dan rajungan menjauh. Akibat dari kerusakan ekosistem laut ini berbagai hasil laut seperti ukon, bukur, mbet, ingser, laksa, mbot, giyobong, gayaman, dan keong menghilang.

Biota laut tersebut merupakan penghuni ekosistem laut yang hidup di bibir pantai. Dahulu menurut warga, jenis-jenis kerang dan keong tersebut dapat dicari dengan mudah, bahkan anak-anak dapat mengambilnya sambil bermain di bibir pantai. Hilangnya jenis biota pantai ini membuat warga kesulitan untuk bekerja.

Dalam posisi kehilangan tersebut warga tidak putus asa. Mereka masih berharap bahwa alam masih bermurah hati memberikan penghidupan bagi mereka. Sebagian dari mereka yang tak lagi mencari jenis biota pantai beralih menjadi nelayan rajungan.

Artinya mereka memberanikan diri untuk menangkap ikan dan rajungan ke perairan yang lebih dalam. Di sini, warga juga masih menemukan hambatan. Selain menghilangkan biota bibir pantai, limbah yang dibuang ke laut juga membunuh biota laut perairan tengah.

Menurut warga, ketika limbah PLTU sedang keluar rajungan dan ikan mati, jumlahnya semakin berkurang karena airnya semakin kotor. Warga mengibaratkan air laut sebagai rumah bagi ikan dan rajungan.

Menurutnya, ikan dan rajungan sama seperti makhluk lainnya, jika teracuni mereka akan mati atau jika rumahnya kotor dan tidak layak untuk dihuni dan mereka akan pergi. Sebagian nelayan lain menuturkan selain mati, ikan dan rajungan semakin sedikit karena tersedot oleh pipa yang juga terpasang di sisi-sisi jetty tersebut.

Lebih lanjut warga menjelaskan bahwa, di sisi jetty batu bara tersebut, terdapat dua pipa. Kedua pipa ini berfungsi untuk menyedot air dan membuang limbah.

Pipa yang berfungsi untuk menyedot air adalah pipa yang digunakan untuk mengambil air laut. Air yang tersedot ini disalurkan pada pipa pembakaran untuk menghasilkan uap. Bersamaan dengan aktivitas penyedotan air ini ikan dan rajungan turut terhisap. Akhirnya jumlah ikan dan rajungan semakin sedikit.

Selain karena limbah cair dan tersedot oleh pipa, penurunan hasil tangkap juga terjadi akibat jatuhan batu bara. Proses pemindahan batu bara ke dermaga ini dilakukan dengan menggunakan mesin. Tetapi warga menuturkan bahwa batu bara juga turut jatuh ke dalam air.

Jatuhan batu bara ini dinilai oleh warga menimbulkan air laut mengandung zat kimia yang mematikan bagi ikan dan rajungan. Dalam keadaan ini warga terpaksa menangkap ikan dan rajungan ke area yang lebih jauh. Kondisi ini membuat warga terpaksa menambah pengeluaran solar dan kebutuhan lain. Di samping itu, hasil tangkapan tetap tidak menentu.

Wilayah yang berdampingan dengan PLTU Cirebon. / Foto: Fathurrahman

Hal serupa juga dirasakan oleh nelayan yang memiliki kerang hijau. Keadaan ini dituturkan langsung oleh Kasiran, seorang nelayan yang telah mengelola kerang hijau selama 10 tahun. Pengalaman panjangnya dalam mengelola kerang hijau membuat ia sangat memahami betul keadaan yang sedang menimpanya.

Perubahan tersebut dirasakannya sejak adanya PLTU, padahal dahulu hasil panen kerambah kerang hijau miliknya seminim-minimnya mencapai 1 ton. Saat ini ia mengabarkan bahwa hasil panennya hanya sebanyak 3 kwintal.

Perubahan hasil panen ini menurutnya disebabkan oleh kerang hijau yang gagal tumbuh. Kegagalan ini terjadi akibat air laut yang terkontaminasi limbah. Selain itu, getaran mesin PLTU terasa saampai ke air. Getaran ini mengakibatkan kerang hijau rontok dari bambu dan tambang sebagai tempat berkembang biaknya. Alhasil, hasil panen yang didapatkan oleh nelayan semakin sedikit.

Selain merusak lingkungan dan menyebabkan hasil laut semakin berkurang, aktivitas PLTU juga menyebabkan keresahan lain bagi warga. Hal yang paling sederhana mereka sampaikan ialah udara semakin panas.

Perubahan suhu ini dirasakan semakin meningkat sejak PLTU beroperasi, selain itu warga juga merasa kaget dan ketakutan saat pertama kali mesin dihidupkan. Suara mesin yang dinyalakan terdengar sangat keras sehingga mengganggu aktivitas warga.

Belakangan, selain mengeluhkan hasil laut yang semakain menurun, warga juga mengeluh pada kesehatan mereka. Ketakutan dan kegentingan juga mereka rasakan pada saat pipa boiler PLTU Cirebon 1 meledak pada tahun 2014.

Akibat ledakan tersebut, rumah warga menjadi retak-retak, bahkan juga banyak yang pingsan serta mengalami ketakutan yang dahsyat. Pasalnya suara ledakan ini sangat keras bahkan terdengar hingga jarak 15 kilo meter dari titik asal.***

Baca juga: Nelayan: Lara Ku kau Hancur Bara

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan