Tokoh Pendidikan Pulau Tunda: “Anak-anak Harus Semangat Seperti Saya!”

pulau tunda

Sahroni adalah Kepala SDN/SMPN Satu Atap Pulau Tunda. Ia merupakan putra asli Pulau Tunda pertama yang menjadi seorang sarjana. Setelah menamatkan studi dan menjadi pegawai negeri sipil, ia kembali ke Pulau Tunda dan mengabdikan diri bagi kemajuan pendidikan tanah kelahirannya.

Serial tulisan ini merupakan hasil kegiatan Ekspedisi Pembela Lautan di Pulau Tunda yang dilakukan oleh tim Ocean Defender pada 28 Juli hingga 1 Agustus 2022. Lindungi laut, lindungi masa depan!

Tanya: Bolehkah bapak ceritakan tentang diri bapak dan apa yang bapak lakukan untuk pendidikan di Pulau Tunda?

Jawab: Nama saya Sahroni. Saya terlahir di Pulau Tunda ini. Pada saat saya muda, Pulau Tunda belum punya SMP. Saya tahun 1984 sekolah di Kepulauan Seribu di Pulau Tidung. Lalu saya melanjutkan ke sekolah pendidikan. Saya ingin jadi guru.

Saya kuliah di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, S2 di Universitas Mercu Buana. Lalu saya kembali dan mengabdikan diri ke Pulau Tunda. Tahun 2002 saya mulai tugas di SD di Pulau Tunda, sampai sekarang.

Waktu itu saya bertekad belum mau pulang ke Tunda sebelum saya menjadi PNS (pegawai negeri sipil), supaya saya sudah bisa dianggap berhasil. Sehingga saat saya bicara dengan masyarakat Tunda, mereka bisa percaya bahwa pendidikan itu berharga.

Dalam menjalankan profesi ini, saya berpegang pada amanat UUD 1945 Pasal 31: “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.” Maka saya berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan stakeholder lain untuk kemajuan pendidikan di Pulau Tunda. Dimulai dengan pendirian SMP yang dirintis dari kelompok belajar Paket B, kemudian jadi SMP Terbuka, dan akhirnya jadi SMP Satu Atap (Satap). 

SMP Satap ini jadi satu dengan SD, sehingga kepala SD sudah pasti merangkap sebagai kepala SMP. Resmi berdiri di tahun 2005. Alhamdulillah sudah banyak alumninya. Mudah-mudahan melalui banyak kolaborasi dengan berbagai stakeholder dari luar akan membuka cakrawala wawasan masyarakat – bahwa dunia begitu luas. 

Tanya: Bisakah bapak ceritakan salah satu kolaborasi yang bapak maksud?

Jawab: Saat ini sekolah kami bekerja sama dengan UNIBA (Universitas Bina Bangsa) untuk memfasilitasi lulusan dari keluarga tidak mampu untuk bisa kuliah. Jadi kami carikan orang tua angkat agar mereka bisa sekolah hingga SMA, lalu kuliahnya di UNIBA.

Sudah beberapa calon mahasiswa dari Tunda yang dapat beasiswa dari UNIBA. Saya menghubungi para orang tua yang tidak mampu menguliahkan, lalu saya hubungkan dengan UNIBA. 

Sahroni, Kepala SDN/SMPN Satu Atap Pulau Tunda. / Foto: Alvi Apriayandi / Greenpeace

Kita manfaatkan itu, semoga setelah lulus kuliah mereka bisa mengabdikan diri di Pulau Tunda. Sehingga bisa menjadi solusi untuk masalah kekurangan guru di pulau ini.

Tanya: Saat ini ada berapa tenaga pengajar di SDN/SMPN Satu Atap Pulau Tunda?

Jawab: Saat ini, di area sekolah ini ada PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), SD dan SMP. Untuk PAUD ada dua orang guru, satu pengelola dan satu operator. Untuk SD total ada 10 orang, enam guru kelas dari kelas 1-6, satu guru Agama Islam, satu guru olahraga, ditambah pengelola dan operator. Nah, untuk SMP saat ini guru SD juga merangkap guru SMP Satap. 

Jadi kalau ditinjau, kami masih kekurangan guru, terutama guru SMP. Idealnya untuk SMP, setiap mata pelajaran pokok ada satu guru. Kami masih butuh sekitar 11 orang guru. 

Barangkali seiring berjalannya waktu, pemerintah daerah (Serang atau Banten) bisa memeratakan keberadaan guru.

Sebenarnya sekarang sudah ada guru-guru dengan status P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak), ini sejenis ASN (Aparatur Sipil Negara) cuma kerjanya berdasarkan kontrak. Kontrak per 2 tahun. Tentu situasinya akan lebih baik jika guru di sekolah ini berstatus tetap.

Tanya: Selain kurang jumlah tenaga pengajar, apa saja tantangan lain yang bapak hadapi?

Jawab: Di samping kekurangan guru SD dan SMP, tantangan lainnya adalah saat ada undangan rapat yang dilakukan oleh pihak dinas (pendidikan). Karena untuk menghadiri rapat ini saya dan para guru harus ke kota (Serang).

Kadang ada undangan rapat di tanggal sekian, tapi sayangnya angkutan ferry (kapal komersial) yang ada reguler antara pelabuhan di Serang dengan Pulau Tunda ini hanya beroperasi 3 kali dalam seminggu, yakni hari Senin, Rabu, dan Sabtu. Jika rapat itu tidak dilakukan di hari-hari itu, maka kami tidak bisa hadir. 

Kepala sekolah beserta para guru SDN/SMPN Satu Atap Pulau Tunda berfoto bersama. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Kedua, masalah listrik. Saat ini, orang-orang di kota sudah mengembangkan pembelajaran dengan literasi digital. Pulau Tunda tentu ingin juga, tapi kami bingung karena tidak ada akses listrik di siang hari.

Di pulau ini, listrik menggunakan diesel dan hanya untuk malam hari. Jadi jangan bayangkan kami bisa belajar dan mengajar menggunakan alat-alat elektronik seperti laptop. Padahal di luar sana pendidikan sudah berkembang sangat pesat.

Mudah-mudahan pemerintah bisa pikirkan perbaikan akses energi listrik di Pulau Tunda sehingga KBM (kegiatan belajar mengajar) bisa dilakukan dengan digital.

Jujur saat ini kami masih termarjinalkan dalam hal literasi digital dan jumlah guru. Karena letak geografis pulau yang jauh dari kota, 18 mil dari Tunda ke pelabuhan Karangantu (Serang). 

Tanya: Sejauh ini bagaimana menurut bapak perhatian dari Pemda Serang maupun Banten untuk pendidikan di Pulau Tunda?

Jawab: Sebenarnya kepedulian Dinas Pendidikan (Serang dan Banten) cukup baik. Setiap ada program, mereka menyampaikan ke kami. Salah satunya program DAK (Dana Alokasi Khusus) yang kami gunakan untuk menambah ruangan kelas untuk KBM. 

Tanya: Kalau dalam hal alat ajar, apakah yang dimiliki sekolah ini dalam kondisi baik?

Jawab: Ada. Salah satunya bahkan bagian dari bantuan yang diberikan oleh pemerintah, yaitu satu unit laptop. Di samping juga dianggarkan dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), seperti printer dan buku. Jadi sebenarnya cukup banyak. Hanya saja, itu tadi, penggunaannya belum optimal karena tantangan-tantangan yang saya sebutkan tadi. 

Bangunan perpustakaan SDN/SMPN Satu Atap Pulau Tunda. / Foto: Greenpeace / Jibriel Firman

Jadi sebenarnya ini bukan tanggung jawab pemerintah saja. Kita bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak, misalnya untuk memperbaiki akses listrik. Sebab Pulau Tunda tanpa penerangan sepertinya tidak mungkin bisa maju. Listrik sudah jadi kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup kita.

Tanya: Hampir dua dekade mengabdi di Tunda, bagaimana menurut bapak karakter anak-anak Pulau Tunda?

Jawab: Karakter anak-anak Tunda menurut saya sedikit berbeda dengan anak-anak di daerah perkotaan, terutama karena segi geografis – pengaruh dari angin, ombak, dan kondisi alam lain di pulau. 

Saat ini, anak-anak Pulau Tunda sangat terbuka menerima kehadiran para pendatang. Misalnya ada lembaga atau perusahaan yang membuat kegiatan di sekolah. Itu mereka sangat antusias. Mereka senang berinteraksi dengan pendatang, mungkin karena merasa ada pembaharu.

Inilah yang saya maksud dengan kolaborasi. Setiap ada kegiatan di sekolah, kami sambut dengan terbuka, anak-anak menerima dengan baik, sehingga alhamdulillah sukses.

Tanya: Apa harapan bapak untuk masa depan generasi muda di Pulau Tunda?

Jawab: Harapan saya mudah-mudahan siswa-siswa saya semangatnya seperti saya. Semangat belajar, keluar dari Pulau Tunda untuk menuntut ilmu, lalu kembali ke Pulau Tunda. Sehingga guru-guru kita akan lebih banyak putra daerah. Tidak lebih banyak guru pendatang. Karena guru pendatang biasanya tidak kuat karena lokasi yang jauh, keterbatasan listrik, apalagi mereka harus terpisah dari keluarga. Nah, ini bisa mengganggu KBM. 

Kalau putra daerah, saya rasa justru bisa membangkitkan semangat anak-anak asli Pulau Tunda untuk semakin maju. Guru Pulau Tunda adalah agen perubahan sosial.***

Baca juga: Pulau Tunda, Pulau Indah Korban Struktural Pengelolaan Kawasan dan Produsen Sampah Plastik

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan