Masyarakat Adat Pesisir, Aktor Penting dalam Mitigasi Perubahan Iklim

Dunia saat ini sedang berhadapan dengan dua krisis global, yaitu krisis kesehatan global dan krisis iklim. Bukan berarti karena saat ini kita sedang fokus menangani pandemi, krisis iklim dapat kita abaikan.

Perubahan iklim sangat dekat dengan kehidupan kita sebagai manusia, salah satu makhluk Bumi yang sepenuhnya bergantung pada sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan, baik primer (pangan, sandang, dan papan) maupun sekunder.

Saat ini, kenaikan suhu bumi telah mencapai sekitar 1,1/1,2 ̊ C dari batas toleransi 1,5 ̊ C sesuai kesepakatan global pada Perjanjian Paris 2015.

Namun, kita menyadari bahwa upaya global masih minim dalam menangani hal tersebut. Para ahli mengingatkan bahwa jika dunia tidak melakukan perubahan yang progresif dan serius, di akhir abad 2030 dunia diperkirakan mengalami kenaikan suhu 2,4 Derajat Celcius.

Maka dari itu, arah kebijakan yang harus dituju adalah Net Zero di tahun 2050. Dekade ini (2021 – 2030) merupakan abad terpenting untuk umat manusia dan seluruh negara diwajibkan untuk meningkatkan target Nationally Determined Contributions (NDCs) dan mengumumkan target Net Zero nasional masing-masing pada COP-27 mendatang di Mesir.

Kita juga melihat bahwa masih lemahnya kesadaran akan dampak dan urgensi perubahan iklim di Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat terutama para pemuda Indonesia mendorong pemerintah Indonesia untuk lebih progresif dan ambisius dalam menentukan dan mensahkan RUU Masyarakat Adat.

Dalam menangani perubahan iklim harus kolaborasi aktif antara pemerintah dan masyarakat melalui pendekatan preventif dan adaptif. Masyarakat adat pesisir adalah salah satu aktor penting menjaga dan melestarikan lingkungan di tengah perubahan iklim di wilayah pesisir saat ini.

Kearifan lokal masyarakat Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut menangkap ikan secara tradisional

Masyarakat adat di wilayah pesisir sangat terikat dengan lingkungan pesisir. Karena perubahan iklim berdampak langsung pada keberadaan dan kelangsungan hidup mereka, bersama dengan kerugian politik, pendapatam ekonomi, hilangnya tanah dan sumber daya, pengangguran serta diskriminasi lainnya.

Masyarakat adat pesisir sangat rentan terhadap perubahan iklim pesisir karena mereka tinggal di sekitar wilayah tersebut. Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Sampai saat ini, BRWA telah meregistrasi 1.091 peta wilayah adat dengan luas mencapai sekitar 17,6 juta hektar.

Peta wilayah adat tersebut tersebar di 29 provinsi dan 141 kabupaten/kota dimana banyak wilayah pesisir yang termasuk ke dalam wilayah adat tersebut.

Keberadaan masyarakat adat mulai berkurang keberadaannya, berkurang karena hukum adat dicap sudah tidak lagi cocok untuk dilaksanakan di saat ini karena sudah ada negara yang mengatur hukum.

Masyarakat Indonesia harus mengambil perhatian mengenai ini karena hukum adat dan kearifan lokal adalah kekayaan budaya yang kita miliki.

Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 18B ayat 2 menyatakan bahwa “ Negara mengakui dan Menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional nya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Keberadaan masyarakat adat pesisir sejatinya telah diakui sejak tahun 2004 yang mana tertuang dalam Pasal 6 UU 31 tahun 2004 tentang Perikanan yaitu, pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.

Undang-undang No. 27 Tahun 2007 juga menjelaskan tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada Pasal 1 dijelaskan bahwa masyarakat adat merupakan bagian dari masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dalam UU tersebut dijelaskan definisi, hak pemanfaatan perairan dalam bentuk pemanfaatan perairan pesisir, serta hak dalam melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya alam sesuai hukum adat. Namun nyatanya sampai saat ini banyak terjadi perampasan dan penggusuran wilayah masyarakat adat untuk kegunaan kegiatan industri dan keberadaan masyarakat adat pun belum mendapatkan pengakuan secara mutlak.

Rancangan Undang Undang (RUU) Masyarakat Adat sangat dibutuhkan sebagai landasan hukum yang mengikat Negara, investasi dan masyarakat adat untuk interaksi dan pemanfaatan di wilayah masyarakat adat yang berdasarkan berbagai kajian hukum.

RUU Masyarakat Adat sudah disetujui oleh rapat pleno Badan Legislasi DPR pada tanggal 4 September 2020. Namun RUU Masyarakat Adat tidak pernah disahkan dalam rapat paripurna DPR.

Sederhananya sampai saat ini masyarakat adat yang ada di Indonesia masih menunggu pengesahan RUU ini untuk menjamin keberadaan dan kehidupan mereka.

Masyarakat adat pesisir Indonesia merupakan bagian dari solusi aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pesisir karena masyarakat adat pesisir melihat manusia sebagai bagian dari alam dan harus saling melindungi dan menjaga.

Masyarakat adat pesisir tahu bagaimana melestarikan dan memanfaatkan sumber daya alam pesisir di lingkungan hidup mereka, masyarakat adat pesisir juga memiliki hukum adat dan lembaga adat terkait masalah ini.

Kearifan lokal yang dimiliki oleh berbagai masyarakat adat pesisir merupakan langkah tepat dalam mitigasi iklim karena mereka lebih paham dengan lingkungan mereka juga setiap daerah memiliki karakterisitik geografis.

Beberapa praktik pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat adat, antara lain panglima laot, malombo, romping, seke, pele-karang, lamba, kelongsasi dan awig-awig.

Dalam mitigasi iklim keberadaan mayarakat adat sangat dibutuhkan untuk mempertahankan dan mengelola lingkungan dan tempat tinggal mereka.

Kearifan lokal, hukum adat dan lembaga adat yang dimiliki oleh masyarakat adat adalah kekayaan identitas Negara Indonesia, namun sampai saat ini diskriminasi masih dirasakan oleh masyarakat adat.

Pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah urgensi bangsa Indonesia saat ini untuk menjamin keberaan mereka. RUU Masyarakat Adat menyatukan keberagaman, melindungi hak-hak masyarakat adat, dan memperkuat prinsip-prinsip kebangsaan.***

Baca juga: Seberapa Penting Penyu Bagi Ekosistem Laut?

Editor: J. F. Sofyan

Sumber:

Zakaria, Y. (1999). Kembalikan Kedaulatan Ulayat Masyarakat Adat. Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif No. II, 124-150.

Kurniawan, I. D. (2022). Rencana Undang-Undang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Program Legislasi Nasional. Jurnal Pendidikan Politik, Hukum Dan Kewarganegaraan, 12(1).

Situs Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan