Batu Siborong: Konservasi Melalui Tradisi Bahari di Spermonde

Spermonde merupakan gugusan pulau yang membentang dari Kabupaten Takalar, Kota Makassar, Kabupaten Pangkep hingga Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Spermonde sendiri terdiri dari kurang lebih 120 pulau dan memiliki kekayaan sumber daya laut yang melimpah.

Laporan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2016 setidaknya terdapat 262 jenis karang. Nilai ekonomi terumbu karang di Spermonde sangatlah besar.

Tesis dari Haslindah tahun 2012 menunjukkan jika nilai ekonomi terumbu karang di Pulau Kapoposang sebesar Rp. 285.139.602/ha/tahun, Pulau Sarappo Lompo sebesar Rp. 583.688.686/ha/tahun, Pulau Saugi sebesar Rp. 940.772.682/ha/tahun dan Pulau Balang Lompo sebesar Rp. 482.486214/ha/tahun.

Namun semua potensi laut itu terancam oleh degradasi lingkungan yang cukup massif. Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim menjadi hal yang tidak dihindarkan di Spermonde.

Jika melihat kondisi awal 2000an, penelitian Rauf dan Yusuf tahun 2004 menunjukkan jika terjadi pengurangan luasan karang dari 7.554,44 ha menjadi 6.054,58 ha.

Hal ini diperparah dengan peningkatan luasan karang mati dari 3.284,37 menjadi 5.540,76.

Luasan masing-masing kelas penutupan dasar perairan hasil klasifikasi (Maximum Likelihood Classification) Data Landsat-TM tahun 1997 dan 2002 di Kepulauan Spermonde (Rauf dan Yusuf, 2004)

Pada tahun 2018, Marine Science Diving Club (MSDC) Universitas Hasanuddin menerbitkan hasil pemantauan karang pada beberapa pulau di perairan Spermonde yang menunjukkan terjadi penurunan karang hidup selama rentang 2009 – 2018 di pulau Barrang Lompo, Samalona dan Barrang Caddi.

Hal ini juga didukung dari dari LIPI tahun 2016 yang menunjukkan jika indeks kesehatan terumbu karang perairan Spermonde masuk kategori rendah.

Pemantauan Karang di Perairan Spermonde (MSDC UNHAS, 2018)

Rusaknya terumbu karang juga hadir dari industri ekstraktif tambang pasir laut di perairan Spermonde. Koalisi Save Spermonde dalam laporannya “Panraki Pa’boya-Boyangang: Oligarki Proyek Strategis Nasional dan Kerusakan Laut Spermonde” mengungkap jika kondisi terumbu karang di perairan Copong (wilayah tangkap nelayan Pulau Kodingareng) mengalami degradasi yang sangat parah akibat aktivitas kapal PT. Royal Boskalis Indonesia.

Dari kondisi data-data miris di atas menunjukkan kondisi perairan Spermonde yang terus mengalami degradasi lingkungan dari tahun ke tahun. Lantas, apakah kita ingin melihat data-data miris itu?

Kerusakan Terumbu Karang Spermonde

Konservasi Melalui Pendekatan Kebudayaan

Menarik jika melihat upaya pemulihan lingkungan melalui kebudayaan salah satu pulau di perairan Spermonde, Pulau Balang Lompo, Kabupaten Pangkep.

Terdapat wilayah di perairan sekitar pulau tersebut yang dikeramatkan oleh warga dikenal dengan sebutan Batu Siborong. Letaknya di wilayah timur pulau dekat dermaga kayu.

Pulau Balang Lompo sendiri memiliki luas 2.200 m2 dengan jumlah penduduk mencapai 3.542 jiwa pada tahun 2021. Akses menuju pulau ini dapat melalui Pelabuhan Paotere dengan menggunakan pappalimbang (kapal penumpang sebutan masyarakat) dengan durasi waktu kurang lebih 1 jam 15 menit.

Pulau Balang Lompo. / Foto: WALHI Sulsel

Daeng Jama, salah satu tokoh masyarakat di Pulau Balang Lompo menuturkan jika Batu Siborong dulunya adalah tempat bermukimnya sosok Karaeng yang membantu penghuni pertama tersebut pada ratusan tahun lalu.

Sebagai bentuk penghormatan, masyarakat di Pulau Balang Lompo dilarang untuk melakukan aktivitas di sekitar Batu Siborong.

Accera Liukang menjadi salah satu bentuk kebudayaan yang secara turun temurun dilakukan oleh masyarakat di Pulau Balang Lompo. Accera Liukang sebagai upacara adat yang dilakukan selama 3 hari berturut-turut di setiap awal tahun. Dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada sosok Karaeng tersebut.

Kegiatan ini dilakukan dengan memainkan berbagai alat musik tradisional yang masyarakat sebutnya berang-berang, sude-sude, bambu-bambu, hingga gendang. Orang yang memainkan music tersebut menggunakan baju bodo dan songko recca.

Alat Musik yang digunakan saat prosesi Accera Liukang. / Foto: WALHI Sulsel

Puncak dari kegiatan tersebut jatuh pada hari ketiga dengan menurunkan sesajian tepat di atas Batu Siborong yang diiringi dengan irama musik tradisional.

Isi dari sesajian terdiri dari Songkolo 4 warna yakni putih, hitam, merah dan kuning, ayam kampung yang dipilih sesuai kriteria penghormatan, telur ayam hingga berbagai macam kue tradisional.

Jika melihat sisi ekologi dari tradisi bahari Batu Siborong menjadi salah satu Langkah konservasi laut. Area yang dikeramatkan oleh warga tersebut menjadi bentuk perlindungan ekosistem laut dari ancaman kerusakan.

World Resources Institute (WRI) Indonesia mengungkap jika tradisi bahari jika dituangkan dalam kebijakan formal dapat membantu memastikan perlindungan sumber daya alam yang tentunya juga berdampak terhadap keberlangsungan mata pencaharian.

Tradisi bahari yang berbeda-beda dari setiap pulau di Spermonde harus menjadi role model dalam penyelamatan dari kerusakan laut yang terus terjadi.

Pendokumentasian dan publkasi hasil penelitian juga seyogyanya terus digalakkan agar menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk menjaga laut melalui tradisi bahari yang diterapkan.***

Baca juga: Masyarakat Adat Pesisir, Aktor Penting dalam Mitigasi Perubahan Iklim

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan