Ekspedisi Pembela Lautan 2019: Sulawesi Selatan Darurat ‘Destructive Fishing’

Prestasi Polres Selayar yang menangkap pembawa bahan peledak berbobot 110 ton beberapa waktu lalu di Perairan Selayar berujung pilu di sisi lain. Bahwa, Sulawesi Selatan jadi target kegiatan pengkapan ikan dengan cara yang merusak atau destructive fishing.

Minggu ini, kita kembali dikejutkan berita dari Parepare dan Pangkep. Di Parepare, 6000-an biji detonator terduga pemicu bom ikan diamankan. Sebelumnya, Polres Pangkep menangkap tiga pelaku pembawa 1200 detonator, juga untuk maksud yang sama.

Kondisi terumbu karang di perairan gugus Pulau Kapoposang. / Foto: Ilham Mahmuda

Ada ancaman yang hebat pada ekosistem laut dan membuat kita miris hati. Temuan-temuan tersebut memang bukan yang pertama, sejak lama telah sering diproses oleh penegak hukum.

Meski demikin, hal tersebut meneguhkan bahwa Sulsel tak hanya sebagai rumah bagi pelaut dan nelayan tangguh. Sulsel ‘surga’ bagi pelaku perikanan illegal. Mereka menyebar di pesisir daratan utama Pulau Sulawesi dan pulau-pulau di Selat Makassar, Laut Flores hingga Teluk Bone.

Sebagai provinsi dengan jumlah kabupaten pesisir laut mencapai 18 kabupaten/kota, Sulsel berkembang dari kelindan masyarakat, sumber daya pesisir dan laut dan norma-norma eksploitasi. Kelindan yang juga melahirkan bias pemanfaatan seperti bom ikan itu.

Pendeknya, sejarah kemajuan Sulawesi Selatan juga diwarnai praktik banal pada lingkungan.

Realitas tersebut sebenarnya telah diantisipasi dengan berlapis peraturan daerah hingga UU lingkungan bahkan Negara pun mengutang dari Bank Dunia dan donor lain untuk melawan praktik ini.

Sayangnya aktivitas illegal justeru semakin meningkat. Setidaknya jika membaca semakin banyaknya hasil tangkapan aparat penegak hukum pada pelaku peredaran bahan peledak bom ikan dan bius.

Tanggapan ISKINDO

Menurut Ketua Ikatan Sarjana Kelautan (ISKINDO) Dr. Abdul Gaffar, praktik destructive fishing memang tetap menjadi momok bagi pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Sulawesi Selatan.

“Sejak lama, praktik destructive fishing ini sudah coba diperangi tetapi tetap saja masih marak. Ibarat paras laut, mengalami pasang dan surut, kadang hilang sama sekali, kadang muncul lagi,” katanya saat dihubungi.

Dia mengapresiasi atas jerih payah pihak kepolisian yang jeli memeriksa dan memproses pelaku pembawa bahan pemicu bom ini. Hal yang disebutnya kemungkinan digunakan untuk bom ikan.

Menurut Gaffar, yang juga kepala Bappeda Kabupaten Pangkep ini, Destructive Fishing adalah ancaman bagi masa depan sumber daya pesisir dan laut seperti Pangkep.

Apalagi kabupaten ini menjadikan laut sebagai bagian dari pengembangan usaha pariwisata dan perikanan.

“Kebijakan Pemerintah Pusat di urusan kelautan dan perikanan sudah sangat bagus selama ini, setidaknya jika membaca penerapan kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan dalam lima tahun terakhir. Ini akan semakin mantap jika semua pihak satu kata dalam perang melawan praktik DF ini,” ucap Gaffar.

Hanya saja, lanjut Gaffar, kolaborasi antar pihak terutama dalam pengawasan sumber daya laut dan perikanan masih perlu ditingkatkan di tengah keterbatasan kapasitas dan sumber daya pengawasan oleh otoritas seperti DKP Provinsi.

Pemantauan kondisi terumbu karang niscaya untuk menilai efektivitas pengelolaan. / Foto: Ilham Mahmuda / BKKPN Kupang

“Kita juga merasakan bahwa sejak adanya pengambilalihan wewenang ruang laut kabupaten/kota ke provinsi sesuai UU 23/2014, kabupaten seperti Pangkep masih keteteran dalam pengawasan. Ini karena luasnya wilayah kita,” tambahnya.

Patut dicatat bahwa jumlah pulau Sulawesi Selatan mencapai 319 buah dimana Pangkep mempunyai tidak kurang 120 buah pulau atau terbesar di Sulsel. Tidak kurang 60% penduduknya tersebar di pesisir.

“Saya kira tetap menjadi PR ke depan, bahwa penegakan hukum, perlindungan nelayan kecil dan penciptaan lapangan kerja yang lingkungan ke masyarakat pesisir terutama pulau-pulau harus menjadi agenda Pemerintah. Bukan hanya pusat tetapi juga provinsi dan kabupaten/kota,” jelas Gaffar yang juga alumni Kelautan Unhas angkatan 94 ini.

Tensi ancaman

Ria Qorina Lubis, fotografer bawah laut Greenpeace menunjukkan video kerusakan terumbu karang di tiga pulau yaitu Kodingareng Keke, Barrang Caddi dan Pulau Barrang Lompo yang terletak di Selat Makassar. Dia memperlihatkan terumbu yang lantak oleh aktivitas yang disebutnya sebagai dampak bom.

Menurutnya, pemboman ikan masih tetap marak di Sulawesi Selatan. “Saya menyelam di perairan Pulau Barang Lompo, lalu ada bunyi bom, sampai kepala saya terkena tabung scuba.” katanya.

“Kami melihat adanya bukti-bukti karang rusak, ada serpihan dan masih baru,” kata perempuan yang mengaku melakukan penyelaman di perairan tersebut pada Sabtu, 31 Agustus 2019.

Kehancuran terumbu karang akibat bom di Pulau Kodingareng Keke. / Foto Oleh: Ria Qorina / Ocean Defender Indonesia

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, Ir. Sulkaf S. Latief, menyebut bahwa keberhasilan pengelolaan terumbu karang berkaitan erat implementasi RZWP3K atau pada UU Pemerintahan Daerah 23/2014.

Untuk Sulsel, karena RZWP3K terlambat disahkan, kemudian adanya pengambilalihan wewenang ruang laut ke provinsi berdampak pada intensitas tekanan dan pengendalian pemanfaatan ruang laut di daerah (kab/kota).

“Terkait kebijakan provinsi, ada 13% area telah kita cadangkan untuk daerah kawasan konservasi. Kebijakan sudah mendukung,” katanya.

“Bahwa sejak 2014, ada pelimpahan kewenangan dan efektif di 2017, sejak itu semua kewenangan di kabupaten/kota diambil ke provinsi. Sebelumnya di UU 27/2007, yang menuntut adanya rencana zonasi, tidak ada yang jadi satupun, walaupun sudah difasilitasi, tidak ada yang jadi Perda,” ucapnya terkait rumitnya zonasi dan perlindungan ekosistem laut.

Menurutnya, ada begitu banyak kepentingan yang bicara di situ sehingga menggangu rencana pengelolaan.

Terumbu karang yang sehat, sumber ekonomi bagi masyarakat pesisir. / Foto: K. Azis / 

Meski demikian, dari segi pelaksanaan, Dinas DKP Sulsel juga mengantisipasi dengan pembentukan Kepala Cabang Dinas Kabupaten/Kota (KCDK) dan membangun komunikasi dengan kelompok pengawas masyarakat.

“Kita ada 18 kabupaten/kota yang punya laut. CDK ada 7, mereka mengelola kegiatan konservasi dan pengawasan,” lanjutnya. Sulkaf menyadari bahwa laut Sulsel sungguh begitu luas sehingga dia tidak menampik kalau memang masih ada pemboman dan pembiusan ikan.

“Pasti ada pembom, tetapi upaya untuk pencegahan kita makin tinggi. Tidak ada lagi pembinaan, semua harus lewat hukum, kecuali kesalahan surat-surat kapal, sebab ini untuk nelayan juga dalam pelayaran,” katanya terkait penanganan aktivitas DF.

Guru Besar Ilmu Kelautan Unhas, Prof Jamaluddin Jompa menegaskan bahwa persoalan kita terkait terumbu karang karena hanya dibicarakan sedikit orang, dibanding jumlah penduduk Indonesia.

“Ini (ancaman kerusakan terumbu karang) ril threat sehingga harus ada aksi ril juga. Laju kerusakan, harus diimbangi laju pemulihan. Sayang sekali laju pemulihan terlalu lambat dan laju kerusakan lebih tinggi,” katanya saat digelar diskusi pengelolaan terumbu karang yang digelar Ocean Defender Greenpeace di Unhas beberapa waktu lalu.

“Di Great Barrier Reef Australia, selama 3 tahun setengah saya di sana, khusus mengenai penutupan karang keras hidup, sekitar 32-33% sekarang ini hanya di angka 15% lalu 12%, mengalami degradasi yang sangat parah. Karena bleachingocean acidification atau cyclon,” sebutnya.

Dengan contoh di atas, termasuk kondisi terumbu karang Indonesia, khususnya Sulsel dimana laju kerusakan terumbu karang Indonesia di antara 3-5% maka perlu langkah-langkah strategis, konkret dan operasional.

Dia juga menguak fakta bahwa para pelaku DF di beberapa pulau sangat kompak dan tidak mudah dikorek keterangannya terkait modus dan kebiasaan mereka. “Para pembom ikan bisa urunan untuk membantu para pelaku lainnya jika mengalami persoalan,” katanya.

Menurutnya, inilah yang menjadi persoalan dalam memberantas DF. Sudah lama law enforcement kita tidak berjalan bagus dan ini seperti membuka-buka kembali catatan yang hampir sama.

Dia tidak menampik bahwa pemberian kegiatan alternatif sangat penting tetapi harus juga disadari bahwa para pelaku sudah tergiur dampak ekonomi yang tinggi, nilai jual ikan hasil bom sangat tinggi sehingga cara-cara luar biasa juga dimungkinkan.

“Kegiatan alternatif dalam beberapa program diperlukan tapi jika melihat perbandingan dampak ekonomi, maka ini sangat kecil sekali,” katanya.

Ilham Mahmuda, petugas di bawah kendali BKKPN Kupang yang banyak melakukan pengawasan dan pemantauan perairan Gugus Kapoposang, Pangkep menyebut masih adanya praktif DF itu.

“Kami ada kegiatan pencatatan terkait kegiatan pemboman ini. Jumlah pencatatan kejadian sebanyak 400-an di tahun 2016. Lalu ada 200-an kali di tahun 2016, berkurang hingga 90-an di tahun 2017,” katanya. Meski demikian, dia mengakui bahwa sejauh ini upaya yang ada belum optimal dalam mengurangi kejadian destructive fishing ini.

“Saya melihat masih adanya pembiaran,” katanya. Menurutnya, upaya penyadaran masyarakat dibarengi pula upaya yang sama untuk pihak-pihak lain yang selama ini bersinggungan dengan kegiatan pengawasan di laut.

“Yang kita lakukan saat ini adalah melakukan pendataan dan pemantauan pada beberapa lokasi terumbu karang di sekitar Gugus Pulau Kapoposang, Papandangan, hingga Kondongbali,” jelas Ilham.

“Minggu ini kami melakukan reef check dan memang masih ada harapan, kita masih punya beberapa bagian yang perlu dijaga. Inilah benteng terakhir pengaman pantai sekaligus masa depan generasi,” kata sosok yang biasa disapa Glen ini.

Berkaca dari pemaparan di atas, jelas bahwa Pemerintah Pusat harusnya bisa mengurangi beban pengelolaan dengan ikut serta memaksimalkan alokasi anggaran pengawasan dan penegakan hukum anti-DF sebagaimana strategi anti IUUF yang selama ini sudah berjalan bagus.

Pemanfaatan yang bertanggung jawab pada sumber daya laut dan perikanan oleh Pemerintah Sulawesi Selatan dan 18 kabupaten/kota tidak akan berhasil jika bayang-bayang ketakutan seperti maraknya bom dan detonator tak dicegah dengan totalitas.

***

Masa depan Pemerintah Sulawesi Selatan ada di pesisir dan laut di Selat Makassar, Laut Flores, Teluk Bone, lokasi yang sesungguhnya rentan secara ekologis tetapi memberi manfaat ekonomi bagi banyak orang jika diseriusi dengan pengelolaan berkelanjutan.

Karena masing-masing lokasi berbeda karakteristiknya, ada baiknya jika individu, pemerhati selam, atau organisasi konservasi dan lingkungan laut segera menjalin kerjasama dan saling mengisi gap yang ada.

Pemeritah Pusat pun harusnya bisa lebih gesit dan bersungguh-sungguh dalam memberdayakan aparat penegak hukum kelautan dan perikanan. Mengenyahkan bayang-bayang buruk dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut tersebut.

Sementara, LSM atau perguruan tinggi, bisa melakukan kerja-kerja advokasi atau minimal riset pengecekan kondisi karang seperti yang ditempuh oleh Ilham Mahmuda dan rekan-rekannya di bawah naung KKP tersebut.***

Baca juga: Ekspedisi Pembela Lautan 2019: Pulau Kondingareng Keke Terancam “Hilang”

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan