Young Explorer 2019 #2 – Menjaga Laut di Tanah Manise

Jumat, 15 Maret 2019

Hari ini di jadwalkan untuk mengelilingi kota Ambon sambil berkampanye di ruang publik. Kami berangkat jam 8.30 dengan tujuan pertama ke Museum Siwalima.

Disana bercerita mengenai sejarah suku di Maluku dengan berbagai kerajaan. Sebelum masuknya agama, dulunya mereka adalah animisme. Mengenal agama Katolik dari bangsa Portugis dan mengenal agama Islam dari bangsa Gujarati melalui jalur perdagangan rempah-rempah.

Di museum ini menyimpan banyak koleksi budaya dan adat istiadat suku Maluku. Mulai dari baju adat, senjata khas, alat berburu, alat bertani, mata uang, guci, keramik, seni rupa antik dan perlengkapan upacara adat.

Lepas dari museum Siwalima kami mengunjungi Masjid Raya Al Fatah, mesjid terbesar di kota Ambon. Mesjid ini sangat megah dengan aksen lantai marmer yang mewah dan fasilitas yang cukup lengkap.

Sembari menunggu solat Jumat, para putri menikmati santap makan siang. Tidak lepas pandanganku megagumi mesjid yang gagah ini dengan pilar yang tinggi serta dan kubah bernuansa warna emas melambangkan keagungan Islam dan kebesaran Allah SWT.

Misi selanjutnya, anak-anak mulai ditugaskan sebagai Public Campaigner di lapangan Patimura sambil membagikan sedotan stainles, tas kain, dan pin.

Panas, terik, logat yang terdengar berbeda dan bahasa lokal yang kadang terdengar asing menjadi tantangan tersendiri. Tapi tidak membuat surut semangat kami.

Bermacam reaksi diterima, tapi adik-adik punya trik sendiri untuk menjawab dan membalikkanya.

“Ah, sedotan kan cuma sekali saja.”

Tapi jika sehari satu kali pakai dikalikan 7,5 Miliar populasi manusia di dunia ini, apakah tidak menjadi masalah yang serius seperti sekarang?

Mereka banyak bercerita tentang lautan kita yang sudah krisis akan pencemaran sampah plastik sekali pakai dan terumbu karang di laut yang sudah terancam rusak akibat banyak hal dari kesalahan manusia.

Lapangan Patimura sore ini terbilang ramai, banyak kalangan muda berolahraga dan menikmati sore di sana.

Selepas dari sana kami mengunjungi Gong Perdamaian. Gong ini berada di taman kota, tidak jauh dari Lapangan Patimura. Monumen ini melambangkan perdamaian penuh toleransi dan saling menghormati.

Tentunya tidak ada kisah yang selalu berjalan baik, Ambon pun punya kisah pilu di masa lampau. Kejadian di tahun 1999 tidak akan pernah di lupakan bangsa Indonesia.

Kami yang terkenal penuh dengan toleransi pun pernah mengalami krisis perdamaian yang menyangkut SARA, tapi kini kami bangkit dari keterpurukan.

Hari ini ditutup dengan dengan mengunjungi patung Martha Christina Tiahahu. Patung megah simbol dari keberanian dan perjuangan wanita Maluku pada saat mengusir bangsa Belanda.

Sambil menikmati senja dengan pemandangan Teluk Ambon yang indah kami bersantai dan berswafoto ria.

Matahari sudah terbenam tapi aku tidak melihat ada wajah lelah dari adik-adik Sekolah Alam, mereka masih sangat bersemangat.

Oh! Ini masih hari pertama, masih jauh perjalanan kami di tanah manise!

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan