Keseruan Asian Waterbird Census Bersama Burung Indonesia di Pulau Rambut!

“Sensus burung?? Gimana sih cara melakukan sensus terhadap burung? Kan kita gak mungkin berada dalam jarak yang sangat dekat dengan mereka?”

“Bagaimana cara mengetahui jenis burung tersebut dan menghitung jumlahnya? Kan burung selalu terbang kesana-kemari?”

“Mengapa kegiatan sensus burung ini dilakukan di Pulau Rambut?”

Yap! Itulah pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dipikiranku saat mendengar “Asian Waterbird Census”. Kali ini, bukan penduduk yang di sensus, tetapi burung!

Tidak terbayang olehku sebelumnya bagaimana cara kita untuk menjalankan kegiatan sensus burung air Asia ini. Pastinya, dalam sensus burung ini berbeda dengan sensus manusia yang menanyakan umur, pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya.

Yaiyalah!  Sebagai pemula yang tidak mengetahui apapun seputar dunia burung, kegiatan ini sangat menarik bagiku karena disini aku memelajari banyak hal baru. Dan ternyata, seluruh pertanyaan yang ada di pikiranku tersebut terjawab setelah mengikuti kegiatan ini.

Yap! Disini aku banyak bertanya dengan orang-orang sekitar yang sudah “akrab” dengan aktivitas seperti ini.

PhotoGrid_1548382168594.jpg

Sabtu, 19 Januari 2019 kemarin, aku dan Priska berkesempatan mengikuti acara Birding Trip yang diselenggarakan oleh Burung Indonesia untuk melakukan Asian Waterbird Census (AWC).

Tahun 2019 ini merupakan tahun ke-30 dalam pelaksanaan Asian Waterbird Census yang bertujuan untuk memonitor keberadaan burung air.

Kegiatan AWC ini kami lakukan bersama dengan berbagai komunitas pecinta burung yang berdomisili di Jabodetabek. Kali ini, Pulau Rambut yang terletak di Kepulauan Seribu menjadi tempat kami untuk melakukan sensus burung air Asia.

Pulau Rambut sendiri merupakan kawasan suaka margasatwa yang luas keseluruhannya (termasuk lautan) mencapai 90 hektare. Berbagai jenis pepohonan menyelimuti daratan Pulau Rambut yang seluas 45 hektare tersebut. Di Pulau Rambut sendiri, terbagi menjadi tiga jenis hutan, yaitu hutan campur, hutan pantai, dan hutan mangrove.

PhotoGrid_1548382581231.jpg

Dalam perjalanan ini, terdapat pula Ibu Ani yang merupakan Guru Besar di jurusan Kehutanan IPB. Beliau sangat banyak memberikan informasi seputar Pulau Rambut, jenis-jenis burung air, dan lain sebagainya karena penelitian untuk tesis beliau dilakukan di pulau ini.

Ibu Ani menjelaskan bahwa Pulau Rambut ini tepat dipilih sebagai tempat untuk melaksanakan AWC bersama Burung Indonesia karena disini terdapat sekitar 20.000 ekor burung air yang bersarang dan berbiak di Pulau Rambut.

Walaupun kelihatannya kegiatan AWC ini dilakukan dalam skala kecil, namun perkiraan populasi burung air yang didapatkan dari Pulau Rambut ini akan berpengaruh pada populasi di dunia.

Pulau ini merupakan tempat yang sangat penting bagi burung air karena tempat lain dinilai kurang cocok untuk perbiakan mereka. Terlebih lagi, adanya reklamasi Teluk Jakarta juga menjadi salah satu faktor yang memengaruhi keberadaan burung air di kisaran Jakarta.

Selain itu, di Pulau Rambut ini terdapat dua jenis burung air yang hampir punah, yaitu Burung Cikalang dan Burung Bangau Bluwok. Bu Ani mengatakan bahwa kita sangat beruntung jika dapat melihat kedua jenis burung tersebut karena kedua jenis burung tersebut sangat jarang dan sulit ditemui.

PhotoGrid_1548382248287.jpg

Keseruan kami dan tim yang berasal dari berbagai komunitas ini dimulai dengan menaiki kapal dari Tanjung Pasir menuju Pulau Rambut. Pagi itu, cuaca kurang bersahabat sehingga menyebabkan ombak cukup tinggi.

Setelah hampir satu jam perjalanan dengan menggunakan kapal, tibalah kami di Pulau Rambut. Sesampainya disana, terdapat sedikit pengarahan dari Pak Budi selaku pengurus kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut dan juga dilakukan pembagian kelompok.

Aku dan Priska sangat beruntung karena kami berada satu kelompok dengan Pak Budi dan Pak Yus Rusila Noor (Koordinator Nasional AWC Wetlands International Indonesia).

Setelah pembagian kelompok, kami pun langsung memasuki hutan dengan diiringi suara burung kowak dan menuju ke birding hide yang merupakan tempat seperti rumah dari kayu yang berfungsi untuk mengamati burung air yang sedang berbiak.

PhotoGrid_1548382376064.jpg

Di birding hide ini, kegiatan observasi dan identifikasi burung air pun dilakukan dengan menggunakan binocular. Di sini, pertanyaan-pertanyaan yang ada dipikiranku sebelumnya terjawab. Ternyata, diperlukan keahlian, kejelian, dan jam terbang yang cukup tinggi untuk dapat melakukan sensus burung ini.

Pertama, kita harus hafal dan paham betul jenis, ciri, dan nama-nama burung air. Hal ini sangat penting dalam melakukan pengamatan (observasi) untuk mengidentifikasi burung yang terlihat melalui binocular.

Kedua, kita harus sedia kamera dengan lensa focal lenght diatas 400mm atau setara yang memiliki kemampuan zoom tinggi sehingga dapat mengabadikan keberadaan burung tersebut.

Ketiga, kita harus memiliki buku catatan kecil dan pensil untuk mencatat burung apa saja yang berhasil kita temukan dan berapa jumlahnya. Untuk menghitung jumlah burung ini pun, ternyata dilakukan secara manual.

Oleh karena itu, kejelian dan jam terbang sangat diperlukan untuk melakukan pendataan ini agar hasil yang didapatkan akurat.

PhotoGrid_1548392946769.jpg

Setelah satu jam mengamati, mendata, dan menghitung burung-burung yang ditemui melalui birding hide, selanjutnya kami berpindah tempat ke menara. Kami menaiki banyak anak tangga untuk sampai di atas menara dan melakukan pengamatan.

Dari sini, ternyata burung-burung yang terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan di birding hide. Menurut Pak Yus, hal ini dipengaruhi oleh waktu pengamatan.

Jika kita melakukan pengamatan pada sore menjelang malam hari, burung-burung yang terlihat akan lebih banyak dibandingkan dengan siang hari. Di Menara ini, terlihat lebih banyak burung Cangak Abu (Ardea cinerea) dan Bangau Bluwok (Mycteria cinerea).

Kedua jenis burung ini hampir mirip karena sama-sama dalam spesies cinerea. Setelah satu jam pengamatan melalui menara, kami pun turun dan menuju Pos Jaga Balai KSDA untuk ishoma dan melakukan audit atau pendataan hasil observasi dan identifikasi burung yang ditemukan.

PhotoGrid_1548382633449.jpg

Dari waktu pengamatan mulai pukul 12.15 WIB – 14.30 WIB, tercatat tiga jenis burung yang paling banyak ditemui, yaitu burung Cangak Merah (Ardea Purpurea) sebanyak 124 ekor, burung Cangak Abu (Ardea cinerea) sebanyak 63 ekor, dan burung Pecukular Asia (Anhinga melanogaster) sebanyak 40 ekor.

Jenis lainnya yang ditemui adalah burung Pecukpadi Hitam (Phalacrocorax Sulcirostris), Pecukular lain (Unidentified darter), Kowakmalam Abu (Nycticorax nycticorax), Cangak Besar (Casmerodius albus), Kuntul Perak (Egretta intermedia), Bangau Bluwok (Mycteria cinerea), Gajahan Penggala (Numenius phaeopus), dan Trinil Pantai (Actitis hypoleucos).

Jumlah ini dapat dikatakan masih sedikit karena pengaruh waktu pengamatan yang telah disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dan detail, terdapat beberapa orang panitia yang kembali melanjutkan pengamatan dan pendataan burung air di Pulau Rambut hingga esok hari.

Sekitar pukul 16.00 WIB, kami bersama tim lain pun kembali menaiki kapal untuk menuju Tanjung Pasir sembari melanjutkan pengamatan burung di sepanjang jalan pulang.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan

  1. Saya suka dengan tulisan ringan tapi berat seperti ini. Semoga bisa mengundang para (calon) pengamat burung lain untuk turut serta mengamati burung di alam….jangan bawa burung ke sangkar, mendingan dinikmati di alam aslinya.