Restorasi Mangrove Desa Ampekale

Restorasi Mangrove oleh Masyarakat Pesisir

Kawan-kawan, saat ini saya berada di Kota Makassar dan akan melakukan perjalanan ke Kabupaten Maros. Perjalanan ini sangat spesial karena saya bersama dengan Bang Amin (Muhammad Al Amin). Beliau adalah Direktur Walhi Sulawesi Selatan (Sulsel).

Tujuan perjalanan kami adalah ke Desa Ampekale, Kecamatan Bantoa, Kabupaten Maros. Desa Ampekale berjarak kurang lebih 40 km dari Kota Makassar dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam saja.

Di sepanjang perjalanan kita disuguhi pemandangan tambak ikan bandeng yang luasnya ribuan hektar. Kami melewati perkampungan masyarakat bugis dengan rumah adat tradisional diantara tambak-tambak. Di kejauhan terbentang hutan mangrove yang membatasi antara tambak dengan pantai barat Sulawesi selatan, yaitu wilayah Kepulauan Spermonde.

Sepanjang perjalanan, Bang Amin bercerita bahwa kami akan menemui dengan seorang yang sangat spesial dan inspiratif dalam melaksanakan restorasi mangrove berbasis masyarakat, namanya Bapak Abdul Mutholib.

Bapak Abdul Mutholib adalah salah seorang mitra Walhi Sulsel dalam upaya merestorasi hutan mangrove di pesisir barat Maros, tepatnya di Desa Ampekale. Dia adalah seorang pejuang yang mencoba untuk membuat perubahan karena kampung Ampekale sering dihantam bajir rob semenjak mereka kehilangan hutan mangrove akibat ditebang dan dialihfungsikan menjadi tambak ikan.

Kawan-kawan!

Ekosistem mangrove telah menjadi penunjang kehidupan dan penghidupan masyarakat pesisir. Mangrove memiliki peranan yang sangat penting dalam menopang ekonomi, sosial dan bahkan ekologi karena mangrove adalah penjaga kehidupan ekologi pesisir.

Salah satunya adalah di pesisir pantai barat Sulawesi Delatan yang menghadap langsung ke Kepulauan Spermonde yaitu di Desa Ampekale. Desa ini memiliki penduduk sebanyak hampir 3000 jiwa dengan sumber perekonomian utama berasal dari laut dan tambak.

Sayangnya kondisi mangrove di kampung ini sudah sangat mengkhawatirkan dan ini merupakan sampel dari kondisi hutan mangrove di Sulawesi Selatan yang luasnya mencapai 28.945,3 Ha. Sementara itu, hutan mangrove yang kondisinya baik hanya 5.238 Ha, atau sekitar 18% saja, sedangkan 82% lebih masuk dalam kategori rusak.

Restorasi Mangrove Desa Ampekale

Tetapi teman-teman, Alhamdulilah masih ada sebagian masyarakat yang menyadari situasi ini sehingga mau berbuat sesuatu sebelum terlambat, dengan melakukan restorasi mangrove, salah satunya Bapak Abdul Mutholib.

Teman-teman, memasuki Desa Ampekale, kami melewati jalan yang diaspal beton yang yang hanya bisa dilewati satu mobil dan dipinggir kiri dan kanan langsung tambak ikan bandeng. Kami berhenti di sebuah ruma panggung sederhana dengan bangunan khas rumah masyarakat Bugis.

Bang Amin memperkenalkan saya sebagai Juru Kampanye Laut Greenpeace dan menjelaskan maksud tujuan kedatangan untuk berbagi pengalaman dengan beliau sebagai pelaku langsung dari restorasi mangrove di Ampekale.

Setelah berbincang sejenak dan disuguhi teh hangat, Bapak Tholib (sapaan akrab beliau) mengajak kami untuk berkeliling kampung untuk melihat hutan mangrove yang ada di kampungnya.

Sambil berjalan di pematang di antara tambak dan selanjutnya menyebarang jembatan membelah hutan mangrove sepanjang kurang lebih 50 meter. Jembatan tersebut menghubungkan antara tambak terakhir dengan sebuah pondok di sisi luar hutan mangrove dengan pemandangan langsung ke laut lepas.

Ya teman-teman, panjang jembatan kayu tersebut hanya kurang lebih 50 meter saja, artinya luasan hutan mangrove yang menjadi pelindung tambak dan perkampungan penduduk hanya tingggal 50 meter saja dari pantai.

Restorasi Mangrove Desa Ampekale

“Dulu hutan mangrove ini sangat luas dan sampai ke pinggir jalan, tetapi karena ditebang oleh masyarakat untuk dijadikan tambak, sekarang luasnya tinggal segini saja. Semenjak saat itu, ketika angin barat datang dan air laut sering masuk ke kampung kami. Saya menyadari bahwa penyebabnya adalah karena mangrove ini semakin menipis dan saya harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkan kampung ini,” ungkap Pak Tholib sambil menceritakan kondisi mangrove di desanya.

Teman-teman, semenjak 3 tahun yang lalu teman-teman Walhi Sulawesi Selatan telah melakukan upaya untuk menyelamatkan kampung Ampekale dari bencana abrasi dengan dukungan sejumlah dana CSR pihak swasta.

‘Sekarang ini’, kami berada di depan tumbuhan yang masih muda dengan tinggi mangrove yang cukup bervariasi, ada yang setinggi 1 meter hingga 2 meter.

Restorasi Mangrove Desa Ampekale

“Semenjak mangrove ini kami tanam kembali, Alhamdulillah ketika angin barat datang dan ombak besar, banjir rob sudah tidak terlalu besar. Disamping itu sekarang ini bebagai biota laut seperti kepiting mulai datang kembali” ucap Pak Tholib.

Bang Amin, juga menjelaskan bahwa restorasi mangrove ini adalah bagian dari upaya untuk meningkatkan perlindungan terhadap masyarakat di pesisir Maros dari ancaman abrasi dan krisis iklim yang sedang terjadi.

Restorasi Mangrove Desa Ampekale

Disela-sela aktivitasnya yang sedang membersihkan sampah plastik yang tersangkut di anak tumbuhan mangrove yang baru setinggi 1 meter pak tholib berujar:

“Mimpi besar saya, saya ingin mengembalikan keadaan mangrove saya seperti dulu lagi, agar kampung saya terhindar dari bencana yang merugikan warga desa saya.”

Ya kawan-kawan, ini adalah sebuah perjalanan yang menyenangkan bisa bertemu dengan orang-orang yang menginspirasi dan berjuang tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk visi dan misi yang jauh lebih luas dan lebih besar tentang masa depan Desa Ampekale.

Restorasi Mangrove Desa Ampekale

Semoga upaya restorasi mangrove yang dilakukan oleh Bapak Abdul Mutholib dan teman-teman Walhi Sulsel dapat menyelamatkan masyarakat pesisir di wilayah Kepualaun spermonde dari bencana abrasi dan krisis iklim.

Semoga upaya ini juga bisa menginspirasi banyak masyarakat pesisir untuk menjaga hutan mangrove mereka yang telah melindungi dan memberikan kehidupan selama ini.

Salam hormat, #SaveSpermonde, Save laut Indonesia!

Editor: AN.

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan