Konsep Ekowisata untuk Pengembangan Wisata Laut

Sebagai negara kepulauan dengan perairan seluas 3,1 juta km² ditambah kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km², Indonesia memiliki potensi wisata bahari yang sangat menjanjikan. Pada tahun 2015, wisata laut di Indonesia bahkan menyumbang 4,88 persen produk domestik bruto (PDB) nasional.

Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan kenaikan dua kali lipat dari angka tersebut atau setara dengan kedatangan 20 juta wisatawan pada 2019. Apalagi, Indonesia juga sudah sering dijadikan destinasi wisata bahari atau laut bagi wisatawan asing. Mulai dari pelayaran, surfing, sampai wisata selam.

Sayangnya, potensi ini belum bisa memberikan kontribusi yang signifikan karena beberapa persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan sektor kelautan seperti maraknya perampasan ruang laut, pesisir, dan pulau kecil akibat pengembangan industri pariwisata yang mengabaikan masyarakat lokal, contohnya kasus di Pulau Pari, Teluk Jakarta.

Tulisan protes di Pulau Pari, Teluk Jakarta. / Foto: Dhemas Reviyanto / Greenpeace

Adanya penguasaan eksklusif pulau-pulau kecil di Indonesia oleh warga negara asing dengan dalih investasi berlabelkan adopsi pulau. Ini bermula dari kebijakan pemerintah yang menawarkan 31 pulau kecil pada pihak asing. Hasilnya 19 pulau kecil telah dikelola asing dan membatasi akses masyarakat lokal (Kiara, 2015).

Tingginya pencemaran lingkungan laut dan pesisir akibat tindakan wisatawan yang membuang sampah plastik sembarangan sehingga mengancam kehidupan fauna dan flora laut jenis mamalia seperti paus, duyung, lumba-lumba, penyu, dan ekosistem terumbu karang.

Minimnya keterlibatan masyarakat lokal sebagai pelaku industri wisata laut. Imbasnya kepentingan akumulasi kapital lebih dominan ketimbang keberlanjutan sumber daya, ekosistem, dan menjamin kearifan lokal masyarakatnya (Sumber disini).

Konsis pandemi Covid-19 juga berpotensi menyebabkan Indonesia kehilangan devisa dari sektor pariwisata senilai USD6 miliar karena adanya pembatasan untuk mencegah penularan virus covid 19 di lokasi wisata.

Volunteer dan aktivis koalisi Break Free from Plastics menyampaikan pesan di Pantai Sanur, Bali. / Foto: M. Ikhsan Fariz / Greenpeace

Oleh karena itu, diperlukan upaya dari semua stakeholder seperti pemerintah, masyarakat dan sektor swasta untuk mengembangkan pariwisata bahari di Indonesia agar bisa tetap memberikan manfaat ekonomi, baik bagi negara maupun warganya.

Apa Saja Upaya yang Bisa Dilakukan untuk Mengembangkan Sektor Pariwisata Laut yang Berkelanjutan di Indonesia?

1. Meningkatkan Kolaborasi Antar Lembaga Terkait Sektor Pariwisata Laut

Kolaborasi antara kementerian, lembaga, dan stakeholder terkait untuk mengembangkan wisata bahari bertaraf internasional di Indonesia perlu dilakukan agar seluruh program terkait sektor pariwisata, terutama pariwisata laut, dapat berjalan optimal. 

Salah satunya dengan menjalankan strategi Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Padat Karya melalui program Restorasi Terumbu Karang di 5 pantai Bali. Selain itu, Indonesia juga menjadi negara pertama yang menandatangani United Nations World Tourism Organization – Framework Convention on Tourism Ethics (UNWTO-FCTE), yaitu konvensi kerangka kerja etika pariwisata.

Dengan penandatanganan tersebut, Indonesia berkomitmen untuk menegakkan prinsip-prinsip etika tertinggi dalam mengembangkan sektor pariwisata.

2. Melibatkan Masyarakat dalam Pengembangan Wisata Laut

ekowisata
Pelatihan ekowisata dengan melibatkan masyarakat lokal. / Foto: Albertus Vembrianto / Greenpeace

Peran serta masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan merupakan hal penting yang bisa dilakukan termasuk  dalam pengembangan sektor pariwisata. Misalnya, konsep ekowisata, dimana masyarakat sebagai aktor utama pelaku usaha yang menyediakan barang maupun jasa bagi para wisatawan yang berkunjung ke daerah mereka dengan mengedepankan nilai-nilai dan prinsip keberlanjutan dan sosial serta budaya masyarakat setempat.

Saat pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mencanangkan program pengembangan wisata bahari berbasis desa pesisir. Program ini tidak hanya berpotensi mendorong kegiatan pariwisata dan memberi nilai tambah ekonomi bagi masyarakat pesisir, tapi juga menjaga ekosistem laut agar tetap lestari.

Dalam pengembangannya, masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam memanfaatkan jasa ekosistem kelautan dan perikanan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.

3. Mengembangkan Pariwisata Berbasis Konservasi

Melalui pengembangan pariwisata berbasis konservasi, kawasan yang masuk ke dalam wilayah konservasi akan terus dijaga karena pengelolaan tidak hanya dilakukan oleh satu pihak, tapi juga oleh seluruh pihak yang terlibat; mulai dari pemerintah, pihak swasta yang bekerja sama, masyarakat setempat, serta wisatawan. Dengan begitu, tata kelola, perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya laut dapat dilakukan secara optimal.

Dalam hal ini, pemerintah berkomitmen untuk menargetkan 10 persen luas perairan Indonesia sebagai kawasan konservasi dan telah menetapkan 195 kawasan konservasi laut dengan luas 22,68 juta hektar.

Itulah tiga cara yang bisa dilakukan untuk mengembangkan ekonomi pariwisata laut di Indonesia. Selain mendukung sinergitas antara pemerintah, lembaga terkait, dan masyarakat, kita juga tetap perlu menjaga kelestarian laut supaya potensi pariwisata laut Indonesia tetap berkembang secara optimal.***

Baca juga: Perahu Layar Nol Emisi di Pantai Pasir Putih Situbondo

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan