Pandemi dan Wajah Pantai Kuta Kini

Pandemi covid-19 membawa banyak dampak di tengah masyarakat. Bukan hanya dampak ekonomi yang paling terlihat jelas, namun juga berdampak terhadap sebagian besar kehidupan masyarakat.

Dampak yang diakibatkan pandemi covid-19 tidak hanya dirasakan oleh masyarakat, namun juga lingkungan. Jika masyarakat merasa pandemi covid-19 membawa kesengsaraan bagi mereka, lain halnya dengan dampak yang terjadi pada lingkungan.

KLHK (2021) menyebutkan bahwa selama kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat diberlakukan, kualitas udara di hampir sebagian besar kota-kota di Indonesia meningkat hingga mencapai kualitas udara yang baik.

Peningkatan kualitas udara ini terjadi karena adanya pengurangan aktivitas masyarakat yang menggunakan mesin berbahan bakar minyak, yang notabene mesin-mesin berbahan bakar minyak akan menghasilkan polusi udara. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama pandemi kondisi lingkungan di sekitar mulai membaik.

Perubahan kondisi menjadi lebih baik itu pun juga dirasakan di beberapa lingkungan pesisir, salah satunya adalah wilayah Pantai Kuta di Bali.

Pantai Kuta
Pantai Kuta, Bali. / Foto: ekonomi.bisnis.com

Sebagai salah satu destinasi paling diburu oleh wisatawan, Pantai Kuta selalu menjadi primadona wisatawan yang berkunjung ke Bali. Angin segar, pasir putih dan ombak yang tidak begitu besar menjadikan Pantai Kuta sebagai tempat favorit untuk berlibur.

Banyaknya wisatawan yang datang berkunjung terkadang membawa banyak dampak sama halnya dengan situasi pandemi covid-19 yang juga membawa dampak bagi kehidupan masyarakat.

Beberapa dampak dirasakan positif dan beberapa lagi dirasa berdampak negatif baik bagi masyarakat keseluruhan maupun bagi lingkungan.

Dampak positif yang ditimbulkan dari banyaknya wisatawan yang datang adalah berjalannya roda perekonomian masyarakat yang sangat bergantung dengan sektor pariwisata. Jumlah wisatawan yang bertambah untuk berkunjung akan meningkatkan konsumsi produk lokal sehingga pendapatan masyarakat akan semakin bertambah.

Sedangkan dampak negatif yang muncul dapat dilihat dari jumlah produksi sampah yang bertambah setiap harinya. Sampah-sampah tersebut berasal dari barang-barang yang dibawa wisatawan yang datang berkunjung.

Semakin banyak jumlah wisatawan yang datang berkunjung akan semakin banyak pula sampah yang menumpuk. Tidak akan terlalu bermasalah jika sampah tersebut terkumpul di dalam tempat sampah yang telah disediakan, sayangnya sampah-sampah tersebut berserakan di sekitar wilayah pantai bahkan ikut hanyut dibawa air.

Kondisi tersebut dalam 2 tahun terakhir sudah jarang bahkan tidak ditemui di sekitar wilayah Pantai Kuta. Pembatasan kegiatan masyarakat yang diberlakukan oleh pemerintah membuat masyarakat tak berani bepergian jauh ke tempat wisata.

Pantai Kuta ketika sepi pengunjung. / Foto: Detik.com)

Situasi ini membuat Pantai Kuta sebagai destinasi populer sepi pengunjung. Sepinya pengunjung yang datang ke Pantai Kuta membuat tak banyak orang berjualan di sana. Tidak adanya orang yang datang ke pantai membuat produksi sampah di Pantai Kuta menurun drastis.

Penurunan produksi sampah membuat wilayah Pantai Kuta terlihat bersih dari sampah. Perubahan kondisi ini membuat wajah Pantai Kuta kembali asri. Tidak ada sampah yang terdampar di pinggir pantai atau tertumpuk di pasir.

Jika saja kondisi asri ini bisa terus dijaga hingga masyarakat boleh berkunjung kembali ke tempat wisata, maka nilai jual Pantai Kuta akan kembali naik. Wisatawan akan nyaman berkunjung dan menikmati Pantai Kuta.

Hal tersebut dapat terus dijaga apabila ada komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat setempat dan pemilik tempat usaha untuk bersama-sama menjaga lingkungan serta mau dan mampu mengedukasi wisatawan yang datang untuk turut menjaga kebersihan serta keasrian lingkungan Pantai Kuta. Karena menjaga lingkungan adalah tanggung jawab kita bersama.***

Baca juga: Tips Wisata Laut Agar Tidak Memperburuk Keadaan Laut

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Tanggapan