Tik Tok! Waktu Penyelamatan Bumi Sisa 7 Tahun Lagi!

Masyarakat pasti tahu bahwa bumi kita sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Kenaikan suhu bukan lagi menjadi masalah “baru” yang harus dihadapi bersama.

Pun, masalah sampah plastik semakin menjadi-jadi. Contohnya saja, Tim Koordinasi Sekretariat Nasional Penanganan Sampah Laut menyebutkan bahwa di tahun 2019 terdapat sekitar setengah juta ton sampah plastik yang ditemukan di laut.

Tentu saja melihat hal ini, sudah banyak orang ikut mengambil bagian dalam menyelamatkan bumi dengan caranya masing-masing, seperti yang dilakukan oleh Gan Golan dan Andrew Byod.

Gan Golan dan Andrew Boyd adalah dua seniman yang juga aktivis iklim. Mereka berhasil membuat sebuah penunjuk waktu yang dikenal dengan “Climate Clock”.

“Climate Clock” si Penghitung Mundur Usia Bumi

Climate clock. / Foto: climateclockworld.com

“Climate Clock” adalah sebuah jam penghitung mundur yang merepresentasikan waktu krusial yang dimiliki bumi sebelum bumi kolaps akibat kerusakan yang ada.

Bekerja sama dengan para peneliti, angka mundur pada “Climate Clock” didapatkan berdasarkan perhitungan emisi karbon yang menyumbang kenaikan temperatur bumi.

Per tanggal 24 April 2022, “Climate Clock” menunjukkan bahwa kita tinggal punya waktu 7 tahun untuk menyelamatkan bumi dari kenaikan suhu sebesar 1.5°C.

Tidak hanya itu, “Climate Clock” juga menunjukkan persentase ketersediaan energi terbarukan. Terinsipirasi dari konsep “Doomsday Clock” (jam kiamat), “Climate Clock” diharapkan dapat mendesak para pembuat kebijakan untuk serius dalam upaya memukul mundur krisis iklim.

Penyelamatan Laut Menjadi Kunci Untuk Menyelamatkan Bumi

Penyelamatan laut menjadi kunci untuk menyelamatkan bumi. / Foto: Steve De Neef / Greenpeace

Terbentang luas dengan potensi yang luar biasa, laut juga memegang peranan penting untuk memukul krisis iklim. Hal ini karena laut mempunyai kemampuan menyerap karbon dengan jumlah besar dan menyimpannya dengan waktu yang lama bahkan hingga ribuan tahun.

Penyerapan karbon yang dikenal sebagai siklus karbon biru ini tentu saja dibantu oleh ekosistem laut, seperti mangrove, padang lamun, dan organisme-organisme laut lainnya.

Sayangnya, potensi laut Indonesia sendiri pun masih jauh dari apa yang diharapkan. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove menyatakan bahwa ekosistem mangrove Indonesia dalam kondisi yang “tidak baik-baik saja” dimana 637.000 hektar ekosistem mangrove dalam kondisi darurat setidaknya hingga akhir 2020.

Jika masalah laut terus-menerus dibiarkan begitu saja, kira-kira berapa lama lagi bumi akan bertahan?***

Baca juga: Hari Laut Sedunia 2022: Rangkuman Peristiwa yang Mengancam Kesehatan Laut

Editor: J. F. Sofyan

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Overfishing dan Kekeringan Laut

Peningkatan suhu global menyebabkan peningkatan penguapan air dari permukaan laut, yang pada gilirannya meningkatkan konsentrasi garam dalam air laut. Kekeringan laut terjadi ketika air laut menguap lebih cepat daripada yang dapat digantikan oleh aliran air segar, seperti dari sungai-sungai atau curah hujan. Akibatnya, air laut menjadi lebih asin dan volume air laut berkurang.

Tanggapan