5 Fakta Laut dan Pesisir di Usia 77 Tahun Indonesia, Sudahkah Merdeka ?

Sebagai negara kepulauan terbesar, laut dan pesisir Indonesia selalu menjadi sorotan, tak terkecuali di momen HUT RI tahun 2022. Indonesia kini telah berumur 77 tahun.

Bagaimana pecapaian pembangunan Indonesia yang berumur 77 tahun ini? Sudahkah masyarakat Indonesia benar-benar merdeka? Atau hanya segelintir orang Indonesia saja yang merdeka? Mau dibawa kemana Indonesia di masa depan?

Menarik untuk menyimak 5 fakta laut dan pesisir di usia 77 tahun Indonesia berikut ini.

1. Presiden Jokowi Dukung Industri Ekstraktif

Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 2022 masih meyinggung beberapa hal yang masih jauh dari prinsip berkelanjutan seperti industri ekstraktif.

Presiden dengan jelas menyinggung soal industrialisasi sumber daya alam yang sudah jelas tercatat dalam sejarah kerusakan lingkungan dan menghilangkan ruang hidup masyarakat di berbagai pelosok dan pesisir Indonesia.

Model pembangunan semacam ini hanya akan mengutungkan kelas menengah atas, sementara keluarga-keluarga miskin termasuk dari kaum nelayan dan masyarakat pesisir hanya akan menerima dampak buruk yang berkepanjangan.

Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak mengingatkan sebuah kasus tentang bagaimana industri sawit Indonesia telah menyebabkan hilangnya 17 juta hektar hutan Indonesia.

Hilangnya 17 juta hektar hutan tersebut tidak lantas mensejahterakan dan mengeluarkan kaum petani sawit dari kemiskinan. Sungguh menjadi pertanyaan besar dan model pembangunan yang mesti dievaluasi.

Langgengnya industri ekstraktif dan didukung oleh pemerintah di usia 77 tahun Indonesia merupakan fakta menyedihkan yang akan merusak kemerdekaan lingkungan dan masyarakat Indonesia.

2. Krisis Iklim Mengancam Kehidupan Masyarakat Pesisir

Menurut catatan WALHI, jumlah nelayan Indonesia terus menurun. Dua hal yang menjadi faktor pendorong penurunan jumlah nelayan di Indonesia, yaitu krisis iklim dan ekspansi industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.  

Terkait dengan krisis iklim, kaum nelayan yang rentan sangat terdampak karena aktivitas menangkap ikan di laut sangat bergantung pada cuaca.

Nelayan tidak bisa pergi melaut jika cuaca di laut tidak bersahabat. Krisis iklim membuat nelayan sulit memprediksi cuaca. Cuaca akan mempegaruhi keadaan gelombang di laut. Hal ini akan memperburuk kesejahteraan nelayan yang notabene berada di bawah garis kemiskinan yang kronis.

Selain itu, menurut Leonard Simajutak, naiknya tinggi muka air laut yang semakin nyata di berbagai wilayah pesisir Indonesia, yang seringkali berkombinasi dengan turunnya permukaan tanah karena penyedotan air tanah berlebihan selama bertahun-tahun, saat ini juga dihadapi langsung oleh kaum nelayan miskin dan masyarakat miskin pesisir lainnya.

Krisis iklim sering disangka masih jauh, padahal dampaknya ternyata sudah dihadapi tiap hari oleh komunitas-komunitas pesisir di berbagai wilayah Indonesia.

Perhatian dari berbagai kalangan di dunia sudah semakin serius terkait krisis iklim, bahkan ribuan ilmuwan sudah demo besar-besaran untuk mengingatkan bahaya krisis iklim.

Akan tetapi fakta-fakta ini lagi-lagi tidak disinggung oleh pemerintah Indonesia dalam pidato kenegaraan Presiden Jokowi.

3. Kemiskinan Kronis Mewarnai Kaum Nelayan, Pemerintah Tidak Berpihak

Masalah kemiskinan kronis mewarnai kaum nelayan dan masyarakat pesisir Indonesia. Ketidakberpihakan pemerintah terhadap kaum nelayan kecil diserukan kalangan nelayan dalam dua tahun terakhir ini.

Ruang gerak nelayan kecil justru dibatasi oleh sejumlah poin dalam UU Cipta Kerja.

Pada 2020 terekam kegelisahan nelayan kecil menghadapi kemungkinan bersaing dengan pebisnis ikan besar karena pelonggaran definisi nelayan kecil dalam RUU Cipta Kerja.

Tahun ini, kegelisahan tersebut menjelma kenyataan. Sebagai contoh nyata saat ini sedang terjadi perampasan ruang terhadap kaum masyarakat pesisir di Pulau Sangihe oleh korporasi yang didukung oleh pemerintah melalui UU Cipta Kerja.

4. Sampah Plastik Tak Kunjung Usai

bioplastik

Indonesia ramai membicarakan krisis sampah plastik terutama sejak Indonesia tercatat sebagai negara penyampah plastik di lautan yang terbesar kedua di dunia setelah China.

Sampah plastik telah memenuhi badan-badan laut Indonesia akibat produksi plastik oleh korporasi, konsumsi plastik yang berlebihan di hampir seluruh lini kehidupan, dan buruknya sistem pengelolaan sampah.

Fakta ini kembali akan berdampak buruk kepada masyarakat miskin lapis terbawah yang berhadapan paling depan dengan persoalan sampah plastik ini. Plastik merusak pula terhadap alternatif sumber ekonomi masyarakat pesisir seperti pariwisata.

Masyarakat yang berhadapan langsung akan kebingungan. Plastik diproduksi oleh korporasi – korporasi besar dengan kemampuan yang besar, lalu begitu saja berakhir di lautan dan menyengsarakan.

Kemana tanggung jawab para produsen? Kemana penegakan aturan oleh pemerintah?

Menurut Leonard Simanjuntak, tidak banyak yang tahu bahwa plastik dihasilkan oleh industri petrokimia berbahan baku minyak bumi.

Energi fosil yang satu ini masih mempunyai porsi yang sangat signifikan di Indonesia, khususnya di sektor transportasi. Bila kita dapat menurunkan ketergantungan kita pada plastik, dimulai dari menghentikan penggunaan plastik sekali pakai, kita juga akan mengurangi konsumsi minyak bumi.

Artinya kita juga dapat mengurangi emisi karbon ke atmosfer yang menyebabkan pemanasan global, sekaligus mengurangi pencemaran udara.

5. Perikanan Laut Indonesia Sudah Over Eksploitasi

Saat UNOC berlangsung di Lisboa, seharusnya Pemerintah Indonesia mengevaluasi tata kelola laut di dalam negeri yang selama ini memprioritaskan kepentingan korporasi, tetapi pada saat yang sama tidak menyejahterakan masyarakat pesisir dan nelayan kecil.

Hal itu tergambar pada kebijakan perikanan terukur yang digaungkan pemerintah. Padahal, status sumber daya ikan (SDI) Indonesia dalam status over eksploitasi.

Status tersebut menjelaskan bahwa sumber daya ikan (SDI) Indonesia sudah fully exploited dan over exploited. Itu artinya, kebijakan yang didorong Pemerintah seharusnya bisa memulihkan kondisi SDI dan bukan mendorong eksploitasi apalagi untuk korporasi.

Pemerintah seakan lupa dengan janjinya untuk mengembalikan kejayaan laut indonesia. Kejayaan laut yang adil untuk masyarakat luas, sekali lagi bukan untuk korporasi atau segelintir orang di negeri ini.***

Baca juga: Bukan Lomba Tarik Tambang, Melainkan Lomba Alat Tambang Dipaksa Masuk Pulau Sangihe!

Artikel Terkait

Persaingan Nelayan Versus Perusahaan Perikanan Raksasa

Pada September 2022, laporan Greenpeace Asia Timur berjudul “Fake My Catch – the unreliable traceability in our tuna cans” menemukan bahwa kapal-kapal perikanan Taiwan yang memasok hasil tangkapan ke merek makanan laut Amerika Serikat, Bumble Bee, melalui perusahaan pengolah tuna, Fong Chun Formosa (FCF), diduga melakukan penangkapan ikan ilegal dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rantai produksinya.

Penerapan Kampung Ikan Berbasis Teknologi Hatchery dalam Optimalisasi Percepatan Kemandirian Pangan Perikanan Nasional

Salah satu kisah sukses teknologi hatchery adalah hatchery skala rumah tangga (HSRT) yang terdapat dibagian utara Bali.

Teknologi ini dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali dan dengan pesat diterapkan oleh nelayan – nelayan setempat yang awalnya ingin mengadakan diversifikasi usaha dari perikanan budidaya secara tradisional ke perikanan budidaya skala industri seperti tambak dan keramba jaring apung.

Tanggapan